Cari Berita berita lama

KoranTempo - Waspadai Pemakaian Hak Langit Terbuka oleh Pihak Lain

Senin, 2 Agustus 2004.
�Waspadai Pemakaian Hak Langit Terbuka oleh Pihak Lain�JAKARTA�Industri penerbangan domestik mengkhawatirkan dampak negatif dari perjanjian langit terbuka (open skies) antara Indonesia dan Amerika Serikat yang diteken 26 Juli lalu.

Direktur Utama PT Merpati Nusantara Airline Hotasi Nababan mengungkapkan, salah satu hal yang perlu diwaspadai, yaitu soal kemungkinan digunakannya hak langit terbuka bagi Amerika Serikat (AS) oleh pihak lain untuk penerbangan ke Indonesia.

Misalnya, kata Hotasi, hak penerbangan AS dipakai oleh perusahaan aliansinya. �Itu bahaya, industri penerbangan regional bisa hancur� ujarnya di Jakarta Jumat lalu. �Tapi kami yakin, Departemen Perhubungan sudah melihat (bahaya) itu.�

Perjanjian langit terbuka antara Indonesia dan AS diteken pada 26 Juli lalu di sela-sela forum pertemuan menteri transportasi negara-negara anggota Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) di Nusa Dua, Bali.

Perjanjian itu merupakan revisi atas aturan hubungan udara RI-AS yang berlaku sejak 1968. Pada intinya, pernjanjian ini menghapus semua hambatan dalam jasa penerbangan di antara kedua negara, baik untuk jasa angkutan penumpang maupun jasa angkutan barang (kargo). Hingga kini, AS telah menandatangani perjanjian serupa dengan 65 negara.

Menurut Hotasi, AS sesungguhnya merupakan negara yang paling protektif terhadap pasar penerbangan domestiknya. Buktinya, pesawat Kanada yang merupakan negara tetangganya tidak bisa menerbangkan penumpang dari Los Angeles ke New York.

Ia menambahkan, sejumlah negara yang punya pasar domestik besar, seperti AS, Cina, India, dan Australia pun tidak punya dorongan kuat untuk membuka bebas jalur udaranya.

Di sisi lain, Hotasi menyatakan, sebetulnya yang lebih diuntungkan dari adanya perjanjian langit terbuka adalah negara-negara kecil atau �negara kota�, seperti Singapura, Hong Kong, Belanda, dan negara-negara lain yang tidak punya wilayah udara besar.

Karena itu, kata dia, �Negara-negara yang punya (wilayah) udara besar seharusnya yang paling jual mahal melakukan open sky.� Amerika, salah satu contohnya. Tak heran, negara adi kuasa ini pun tergolong yang paling protektif.

Lantas, kenapa Indonesia mau meneken perjanjian itu? Menurut Hotasi, ini dikarenakan perjanjian langit terbuka yang dibuat masih bersifat terbatas (limited open sky). Artinya, penerbangan AS tidak bisa menerbangkan penumpang langsung antar kota di Indonesia, misalnya dari Medan ke Jakarta.

Atas dasar itu, ia pun yakin, perjanjian ini dalam jangka pendek-menengah tidak akan langsung memukul industri penerbangan domestik. �Airline Amerika tentu saja tidak akan langsung ke Indonesia. Mereka akan kerja sama dengan airline Asia,� katanya. badriah-tnr

No comments:

Post a Comment