Cari Berita berita lama

KoranTempo - Teleconference Bisa Menjadi Yurisprudensi

Kamis, 4 Juli 2002.
Teleconference Bisa Menjadi Yurisprudensi JAKARTA- Penggunaan teleconference untuk memeriksa mantan presiden BJ Habibie sebagai saksi pada persidangan kasus dana nonbujeter Bulog Selasa (2/7) lalu bisa menjadi yurisprudensi pemeriksaan saks. Menurut Menkeh dan HAM Yusril Ihza Mahendra, keterangan saksi itu bobotnya sama dengan kesaksian tertulis (affidavit) ataupun keterangan yang diucapkan di bawah sumpah.

"Semua keterangan ini didengar dan akan menjadi alat bukti yang sah sepanjang yang bersangkutan tidak menyangkalnya," kata Yusril usai peluncuran buku tim pakar hukum Depkeh dan HaM di Graha Niaga, kemarin.

Namun menurut Yusril, teleconference yang penggunaannya sudah sepuluh tahun lalu dikenal tak bisa diterapkan dalam perkara in absentia. Ini karena terdakwa harus tetap dihadirkan secara langsung karena ia berhak mengkonfrontir keterangan saksi.

Secara tehnis pun, sulit dilakukan. Apalagi terdakwa harus divonis sehingga tak mungkin dilakukan terhadap orang yang tinggal di tempat berbeda.

Yusril sendiri mengharapkan, teleconference bisa digunakan untuk mengatasi kesulitan pengadilan HAM ad hoc menghadirkan saksi dalam kasus pelanggaran HAM Timor Timur. Tapi ini pun sulit dilakukan, karena Timor Leste tak punya fasilitas dan peralatan itu. " Masalahnya pembiayaan, karena mereka tidak mampu sehingga kita yang harus biayai," ujarnya.

Secara terpisah Kepala Humas PN Jakarta Selatan Ida Bagus Putra Madeg menegaskan, metode ini tak bisa diterapkan untuk para terdakwa. Selain terkesan memanjakan, para terdakwa akan minta diadili secara teleconference setelah sebelumnya lari ke dan beralasan sakit di luar negeri. "Saksi itu masih bagian dari alat pembuktian. Tapi terdakwa wajib hadir di ruang sidang dalam keadaaan sehat. Kalau dia sakit dan di luar negeri ya ditunggu sampai sehat dan dipulangkan," kata Madeg yang dihubungi per telepon, kemarin.

Jika para tersangka pidana seperti Bambang Sutrisno atau Syamsul Nursalim menuntut disidang teleconference, dipastikan langsung menghilang begitu vonis bersalah dijatuhkan. "Tomy yang hadir di ruang sidang saja bisa buron ketika harus melaksanakan vonis, apalagi kalau terdakwa diteleconference," kata Madeg sambil tertawa.

Karena itu, Kejaksaan Agung sendiri melalui Kapuspenkum Kejaksaan Barman Zahir tetap menyatakan ketidaksetujuannya dengan pelaksanaan teleconference terhadap saksi. Apalagi jika diterapkan pada terdakwa.

Dalam kasus teleconference Habibie Selasa (2/7) lalu, Kejaksaan sebenarnya tak mendukung upaya ini. Baik Jaksa Penuntut maupun terdakwa, mantan Kabulog Rahardi pun tak setuju dengan langkah hakim. Apa boleh buat, jaksa hanya melaksanakan putusan majelis hakim.

Majelis hakim sendiri mengakui, teleconference Habibie kemarin masih mengundang nada sumir. Terutama mengenai keterlibatan swasta dalam pembiayaan. Idealnya, semua biaya itu ditanggung negara.

Namun menurut Yusril, fasilitasi pihak swasta dalam proses ini tak menjadi masalah karena yang didengar adalah keterangan saksi. Sebab keputusan hakim atas suatu perkara tak didasarkan keterangan satu saksi tetapi juga mempertimbangkan alat bukti lainnya.

Namun Achmad Ali, guru besar Ilmu Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Hassanudin, Makassar menolak metode ini. Secara hukum, penggunaan teleconference dalam persidangan tidak ada dasar hukumnya. Malah KUHAP melarang penggunaan metode ini. " Dalam KUHAP tidak boleh atau dilarang. Tidak sesuai dengan KUHAP," kata Achmad Ali kepada Tempo News Room melalui telepon, kemarin.

Menurut Ali, sesuai KUHAP, seorang saksi harus tampil di persidangan. Kecuali ada alasan yang sah, yaitu sakit. Habibie sendiri beralasan, tak bisa hadir karena istrinya sakit. "Saya setuju saja. Tapi tidak sah, ada kesan diskriminasi karena alasan saksi itu," paparnya.

Sebagai sebuah terobosan baru, memang teleconference menarik dan bisa mengatasi sejumlah persoalan. Ini pun boleh saja diterapkan, tapi penggunaannya diharapkan tidak diskriminatif. Seharusnya teleconference diatur secara khusus dalam UU dan diberlakukan umum. "Jangan karena seorang saksi yang kebetulan mantan presiden," ucapnya. tjandra d/sudrajat/hilman h

No comments:

Post a Comment