Cari Berita berita lama

KoranTempo - Jalan Panjang untuk Mati

Senin, 10 Pebruari 2003.
Jalan Panjang untuk MatiHilang sudah keramahan senyuman dari Ayodhya Prasad Chaubey. Hari-hari warga Thailand yang jadi terpidana mati di penjara Lembaga Pemasyarakatan Tanjung Gusta, Medan, itu dihabiskan dengan termenung dan memandangi dinding kusam tembok selnya setelah grasinya ditolak Presiden Megawati Soekarnoputri 3 Februari lalu.

Padahal sebelumnya, Ayodya selalu ramah dan berkelakuan baik. Ia rajin mengajar peajaran bahasa Inggris kepada sesama napi. Selain itu dia juga dipercaya mengelola operasi Pengayoman Pegawai Depkeh Lapas Klas I Medan, di Blok A tempat dia ditahan. Sejak lima tahun lalu ia juga menjadi muallaf, dan rajin mempelajari agama barunya, Islam.

"Untuk apa lagi saya berkomentar, tak ada gunanya. Sudah ratusan kali berbicara kepada pers dan orang-orang, tetapi...," ia tak meneruskan perkataannya. Napi yang ditangkap pada 1994 di Bandara Polonia Medan -- bersama dua orang temannya, Saelow Praseat dan Namsong Sirilak -- karena menyelundupkan 12,19 kilogram itu mengaku kecewa dengan keputusan itu. Namun, ia tak bisa berbuat apa-apa kecuali larut dalam sholat-sholat khusyuknya.

Untunglah, untuk sementara regu tembak belum akan membidik Ayodhya. Soalnya, sampai sekarang salinan keputusan penolakan grasi dari presiden belum diterima kuasa hukumnya, Irham Buana Nasution, LBH Medan.

Bukan cuma Ayodhya yang menunggu eksekusi hukuman mati. Dari data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan per 28 Januari lalu, terdapat 39 terpidana mati yang belum dieksekusi. Salah satu yang menunggu eksekusi itu adalah warga Belanda pemilik pabrik ekstasi Ang Kim Soe. Raja ekstasi itu kini berada di Lembaga Pemasyarakatan kelas 2A Pemuda Tangerang dan sedang mengajukan banding.

Salah satu napi yang paling merana menunggu kepastian hukuman mati itu adalah Sumiarsih dan Sugeng. Ibu dan anak yang didakwa membunuh keluarga Letkol Marinir Poerwanto itu telah menunggu eksekusi hukuman mati ini sejak sejak 1988. Wanita berusia 52 tahun itu telah mendekam di LP Wanita Malang 14 tahun 3 bulan. Menantunya, Serda Polisi Adi Saputro telah lebih dulu menjemput maut di hadapan regu tembak 30 November 1992. Ia dan anaknya Sugeng telah mengajukan grasi sejak masa pemerintahan B.J. Habibie, namun jawabannya baru diterima di masa Presiden Megawati Soekarnoputri. Kamis (6/2) pekan lalu, keputusan itu ia terima melalui Kepala LP Wanita Malang Hashnah. Empatbelas sudah Sumiarsih mempersiapkan diri untuk menerima keputusan pahit itu, namun tetap saja ia lunglai mendengar grasinya ditolak presiden.

Hukuman mati memang bukan barang haram dalam dunia peradilan Indonesia. Bahkan, dalam beberapa tahun belakangan ini jumlah penerima vonis mati terus meningkat, karena sejak Januari 2000 Pengadilan Negeri Tangerang "mengobral" vonis mati bagi pengedar narkotik dan obat-obatan. Sejak tiga tahun lalu, selain nama Ang Kim Soei, PN Tangerang telah memvonis hukuman mati bagi ada 20 bandar heroin dan kokain yang divonis mati.

Maraknya vonis hukuman mati itu disambut dingin di kalangan aktivis pembela hak asasi manusia. "Kalau Indonesia konsisten dengan konstitusi tidak akan ada lagi sanksi hukuman mati," kata mantan Sekjen Komnas HAM Asmara Nababan.

Asmara menilai, pemerintah telah melanggar konstitusi bila menerapkan sanksi hukuman mati bagi pelaku kejahatan pidana. Kata dia, amandemen kedua UUD 1945 pasal 28i telah menyebutkan bahwa hak hidup setiap orang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Sehingga pemerintah seharusnya tidak memberlakukan sanksi itu dalam sistim hukum pidana.

Asmara menuturkan, penghapusan hukuman mati dilatari oleh penghormatan dan pengakuan terhadap hak asasi setiap orang. Hal ini kata dia telah secara jelas disebutkan di ayat 1 pasal 28i amandemen kedua UUD, "Tak seorangpun berhak mencabut nyawa seseorang dengan alasan apapun."

Namun ironisnya, kata Asmara, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai pedoman jaksa dan hakim untuk menjatuhkan hukuman belum mengalami revisi. Akibatnya, banyak jaksa dan hakim masih mengacu pada pemberlakuan hukuman mati.

Aktivis HAM senior ini menyarankan Indonesia mencontoh sanksi hukum yang diberlakukan negara-negara pendukung penolakan hukuman mati. Negara-negara itu memberlakukan sanksi hukum seumur hidup yang tidak memungkinkan adanya pengurangan hukuman (remisi) atas alasan apapun. "Contoh di Amerika Serikat, orang dijatuhi hukuman akumulatif dengan hukuman penjara 110 tahun," kata Asmara.

Penentangan terhadap hukuman mati juga datang dari Amnesty International. Lembaga hak asasi yang berpusat di London itu meminta pemerintah Indonesia menunda eksekusi hukuman mati terhadap enam narapidana yang permohonan grasinya telah ditolak presiden dan mencari "jalan yang lebih manusiawi". Mereka khawatir, muncul risiko kesalahan hakim dalam menjatuhkan hukuman. Ini terutama di pengadilan Indonesia yang dinilai korup dan berstandar profesionalisme rendah.

Ketua Badan Legislasi DPR Zein Badjeber menilai penerapan hukuman mati seperti diatur dalam kitab hukum pidana tidak bertentangan dengan UUD 1945 hasil amandemen II. Sebab, kata politikus asal Partai Persatuan Pembangunan itu, bunyi pasal 28i ayat 1 masih diikat dengan bunyi pasal pasal 28j ayat 2. "Tak ada yang dilanggar dan isu ini tak perlu dipertentangkan lagi karena sudah jelas," katanya

Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan tak mau ambil pusing dengan penilaian Amnesty Internasional. Menurut guru besar hukum Universitas Padjajaran Bandung itu, hukuman mati adalah urusan dalam negeri Republik Indonesia. "Tidak ada yang bisa mencampuri," ujarnya. Anggapan Amnesty Internasional bahwa pengadilan Indonesia yang korup menimbulkan salah menghukum orang, adalah tuduhan ngawur. Soalnya, kata dia, jika ada hakim yang disuap, maka mestinya hakim tidak menjatuhi hukuman mati, melainkan dibebaskan. "Itu logika yang terbalik," katanya seraya mengatakan setiap orang memang mempunyai hak hidup. Tapi, lanjut dia, setiap orang juga tidak boleh berbuat yang menyebabkan matinya orang karena narkoba.

Di dunia saat ini memang ada tiga kelompok negara yang berbeda pandangan dalam soal penerapan hukuman mati. Kelompok pertama adalah negara yang menentang hukuman mati. Negara itu umumnya penganut hak asasi manusia atau punya akar ideologi Kristen yang kuat. Contohnya Belanda dan Prancis. Belanda yang hukumnya jadi rujukan untuk membuat KUHP di Indoensia mengharamkan hukuman mati karena mereka berprinsip manusia tak berhak mengakhiri hidup sesamanya.

Kelompok kedua, adalah negara-negara yang menerima hukuman mati dalam undang-undangnya. Namun, dalam prakteknya mereka tak pernah melaksanakan hukuman mati. Hukuman mati cuma untuk menakut-nakuti semata. Aliran ini umumnya dianut negara-negara Eropa.

Sedang yang kelompok ketiga, adalah yang melaksanakan hukum an mati. Termasuk dalam kelompok ini adalah Indonesia dan Singapura. Negeri jiran berpenduduk 4 juta itu dalam kurun 10 tahun telah mengeksekusi 349 penjahat, 247 di antaranya adalah bandar Narkoba.

Indonesia meskipun mendukung pelaksanaan hukuman mati, pada prakteknya juga terkesan ogah-ogahan. Ini terlihat dari lamanya penanganan kasus vonis mati. Sebagai contoh, kasus Sumiarsih adalah contoh lambannya penyelesaian vonis hukuman mati; sampai menunggu 14 tahun.

Selain itu, tak semua vonis mati berakhir di depan regu tembak. Dari 20 vonis mati yang dikeluarkan Pengadilan Negeri Tangerang, lima di antaranya sudah berkekuatan hukum tetap. Dari lima kasus itu Mahkamah Agung mengoreksi empat vonis mati bagi pengedar Narkoba itu menjadi hukuman hidup.

Langkah koreksi itu juga pernah dilakukan MA saat menangani kasus Coong Roib, pengedar Narkoba yang divonis mati Pengadilan Negeri Probolingo Maret 2001. Dia dan temannya akhirnya cuma menerima hukuman seumur hidup. Dan saban tahun, bila berkelakuan baik masih bisa menerima remisi.

Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN), Komisaris Jenderal (Pol) Togar Sianipar berharap semua pihak lebih serius mengurus hukuman mati, terutama bagi penjahat Narkoba. "Sebenarnya tuntutan mati itu bukan tujuan utama kita," kata Togar. Tapi, kata dia, eksekusi hukuman mati itu sangat penting untuk mencegah meningkatnya jumlah korban yang terkena narkoba, yang kini mencapai sekitar 3 juta orang. oman/sudrajat/maria/istiqomatul

No comments:

Post a Comment