Cari Berita berita lama

KoranTempo - Model CGE dan Hasil Simulasi BBM

Selasa, 22 Maret 2005.
Model CGE dan Hasil Simulasi BBMRina Oktaviani
Sahara
Eka Puspitawati

Ketiganya pengajar dan peneliti di Departemen Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB

Hasil kajian LPEM UI tentang kajian BBM dan kemiskinan serta iklan Freedom Institute yang didukung oleh banyak ilmuwan menyebabkan kita sering mendengar model computable general equilibrium (CGE) yang digunakan dalam kajian tersebut. Hal ini menggerakkan tanggung jawab kami sebagai akademisi untuk membagi ilmu mengenai model CGE, pendekatannya dan cara menginterpretasikannya.

Model CGE
Model CGE menggambarkan suatu perekonomian sehingga semua pasarnya (baik pada pasar faktor produksi maupun pasar komoditas) berada dalam keseimbangan. Di dalam model CGE terdapat sekumpulan fungsi permintaan dan penawaran, yang mencakup pasar komoditas ataupun faktor produksi (Horison, 1997). Di samping itu, dalam model CGE juga terdapat himpunan persamaan yang menentukan arus pendapatan dari setiap pelaku dalam perekonomian.

Model CGE dipelopori dan dikembangkan oleh sejumlah tokoh, di antaranya Leontief, Manne, Johansen, Jorgensen, Adelman, Shoven, dan Whalley (Dixon, et al., 1992). Dewasa ini telah banyak lembaga ataupun perorangan yang telah mengembangkan model CGE untuk ekonomi Indonesia, di antaranya model INDORANI yang dikembangkan oleh PAU-UGM, WAYANG (Wittwer, 1999), INDOF (Oktaviani, 2000), ORANI-GRD (Horridge, et al., 2002), dan Model Kemiskinan Indonesia (Oktaviani, et al., 2002). Model-model CGE tersebut ada yang merupakan model comparative static, recursive dynamic, dan fully dynamic.

Model CGE biasanya digunakan untuk menganalisis dampak suatu kebijakan ekonomi secara kuantitatif, baik secara sektoral maupun makro. Kebijakan yang dianalisis dapat berupa pajak, hambatan perdagangan, perubahan pengeluaran pemerintah, harga komoditas, dan teknologi. Sementara itu, efek kebijakan tersebut dapat dianalisis pada tingkat sektoral, jenis pekerjaan, rumah tangga, pemerintah dan wilayah serta berbagai variabel makroekonomi lainnya, seperti inflasi, neraca perdagangan, dan investasi.

Setiap model ekonomi mempunyai keunggulan dan keterbatasan, demikian halnya dengan model CGE. Adapun keunggulan model CGE, di antaranya, (1) dapat memasukkan semua transaksi antara pelaku-pelaku ekonomi secara keseluruhan, baik di pasar faktor produksi maupun pasar komoditas; (2) substitusi antara faktor produksi; (3) dampak kebijakan dapat dianalisis pada tingkat institusi, distribusi pendapatan di antara golongan rumah tangga, distribusi pendapatan di antara faktor produksi primer, neraca perdagangan, dan sebagainya (Horison, 1997); (4) model CGE sudah memasukkan persamaan nonlinier; dan (5) model CGE dapat mengacu pada tahun tertentu (particular benchmark years).

Sementara itu, keterbatasan model CGE, di antaranya, (1) ketersediaan parameter-parameter benchmark (misalnya, nilai elastisitas substitusi tenaga kerja dan elastisitas Armington) yang relatif terbatas di negara-negara berkembang; (2) solusi dalam model CGE sangat dipengaruhi oleh spesifikasi closure (pemilihan peubah pengaruh dan peubah yang mempengaruhi). Dengan demikian, pemilihan closure pada model CGE perlu dilakukan dengan sangat hati-hati, dan (3) model CGE terlalu kompleks (black box dalam model CGE).

Simulasi kenaikan BBM
Naiknya harga BBM karena berkurangnya subsidi pemerintah pada 2005 tentu saja akan berdampak terhadap kinerja perekonomian Indonesia. Secara teoretis, kenaikan harga BBM akan meningkatkan biaya produksi, sehingga kurva penawaran agregat jangka pendek (SRAS) bergeser ke kiri atas, cateris paribus. Selanjutnya, harga-harga di pasar akan naik (inflasi) dan output keseimbangan yang baru menjadi turun.

Dari sisi konsumen, inflasi akan menyebabkan daya beli menjadi berkurang. Adapun dari sisi produsen, turunnya output akan menurunkan permintaan tenaga kerja. Kondisi ini tentu saja akan berimplikasi terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia, yang kemungkinan besar akan meningkat karena pendapatan riil masyarakat yang semakin berkurang.

Pertanyaannya kemudian, sampai sejauh mana dampak kenaikan harga BBM terhadap kinerja ekonomi makro, sektoral, dan pendapatan rumah tangga di Indonesia?

Model ekonomi keseimbangan umum "recursive dynamic" yang digunakan dalam penelitian ini adalah modifikasi dari model ORANI-F (Horridge, et al., 1993), INDOF (Oktaviani, 2000), WAYANG (Wittwer, 1999), dan ORANIGRD (Horridge, et al., 2002). Data yang digunakan dalam tulisan ini adalah tabel Input-Output (tabel I-O) tingkat nasional tahun 2000, sistem neraca sosial ekonomi (SNSE) tingkat nasional tahun 2000, parameter-parameter dugaan dari sistem persamaan yang didapat dari penelitian sebelumnya, dan data statistik lain (data ekonomi makro dan sektoral) yang telah diperbarui.

Penelitian ini menggunakan 41 sektor dan 10 golongan rumah tangga (7 golongan di pedesaan dan 3 golongan di perkotaan). Definisi dari kelompok rumah tangga sesuai dengan definisi yang ada di SNSE 2000, yaitu rural 1 adalah buruh di sektor pertanian, rural 2 adalah petani pemilik lahan kurang dari 0,5 hektare, rural 3 adalah petani pemilik lahan 0,5-1,0 hektare, rural 4 adalah petani pemilik lahan lebih dari 1,0 hektare, rural 5 adalah rumah tangga yang berpendapatan rendah di sektor nonpertanian, rural 6 adalah rumah tangga yang berpendapatan menengah di sektor nonpertanian di pedesaan, rural 7 adalah rumah tangga yang berpendapatan tinggi di sektor nonpertanian di pedesaan.

Selanjutnya, urban 1 adalah rumah tangga yang berpendapatan rendah di perkotaan, urban 2 adalah rumah tangga yang berpendapatan menengah di perkotaan, dan urban 3 adalah rumah tangga berpendapatan tinggi di perkotaan. Simulasi dilakukan dengan menurunkan subsidi BBM (meningkatkan harga BBM) yang disertai dengan meningkatnya dana kompensasi, terutama untuk sektor pendidikan dan kesehatan.

Hasil perhitungan menunjukkan bahwa kenaikan harga BBM menyebabkan berkurangnya konsumsi BBM di setiap golongan rumah tangga, berkisar antara -18 persen di rural 1 dan -25 persen di rural 7. Adapun untuk rumah tangga perkotaan, konsumsi BBM berkurang sekitar -19 persen di urban 1 dan -23 persen di urban 3. Jika rumah tangga tersebut berusaha tidak mengurangi konsumsi BBM, konsumsi barang lainnya tentu saja akan menurun untuk mengkompensasi konsumsi BBM.

Hal ini juga turut mempengaruhi produksi industri lainnya, terutama industri yang banyak menggunakan bahan baku BBM. Seluruh industri mengurangi konsumsi BBM-nya dan ini berdampak pada turunnya produksi di seluruh sektor. Sektor pertanian yang menurun paling besar produksinya adalah industri karet (-3,2 persen), sektor industri pengolahan adalah industri tekstil dan kulit (-6,8 persen), dan sektor jasa adalah industri angkutan (-3,2 persen) serta jasa pemerintahan (-3,7 persen).

Di seluruh industri upah tenaga kerja yang tidak mempunyai keterampilan akan turun (-0,7 persen), sedangkan untuk tenaga kerja yang mempunyai keterampilan meningkat (4 persen). Secara keseluruhan, terjadi penurunan penyerapan tenaga kerja di seluruh sektor ekonomi. Di sektor pertanian terjadi penurunan penyerapan tenaga kerja (-3 persen) di sektor padi, jagung, dan tanaman umbi-umbian. Di sektor perkebunan juga terjadi penurunan penyerapan tenaga kerja dengan tingkat tertinggi pada industri karet (-5 persen).

Di sektor industri, penurunan terbesar terjadi di industri tekstil dan kulit (-9,5 persen) dengan industri tersebut menggunakan tenaga kerja yang relatif tinggi dibanding industri lainnya, disusul dengan industri kayu olahan (-6,5 persen). Sementara itu, di sektor jasa terjadi penurunan penyerapan tenaga kerja dengan angka terbesar di sektor angkutan (-6 persen). Dengan semakin rendahnya tingkat penyerapan tenaga kerja dan turunnya tingkat upah tentu saja akan mempengaruhi tingkat kesejahteraan masyarakat.

Sementara itu, tingkat pengembalian modal dan lahan juga menurun. Hal ini mengakibatkan rumah tangga sebagai pemilik faktor produksi akan menurun penghasilannya secara riil, terutama pada rumah tangga yang juga tidak memiliki keterampilan, sehingga tingkat kesejahteraannya pun menurun. Walaupun secara nominal terjadi peningkatan pendapatan yang sangat kecil, misalnya 0,6 persen pada rural 5 dan urban 1, dengan tingkat inflasi 3 persen, pendapatan riil menjadi menurun.

Pada semua kelompok rumah tangga kecuali rural 2 (0,02 persen), terjadi penurunan jumlah orang yang masih tetap dapat mempertahankan tingkat kepuasannya. Seperti -1 persen pada rural 5 dan urban 1. Hal ini bisa pula menjadi petunjuk semakin besarnya tingkat kemiskinan, karena hampir di semua kelompok rumah tangga berkurang jumlahnya yang masih bisa mempertahankan tingkat kepuasan konsumsi seperti sebelum meningkatnya harga BBM.

Secara makro, turunnya subsidi BBM menyebabkan meningkatnya tingkat inflasi, yaitu 2,8 persen sebelum kompensasi dan 3,02 persen setelah dimasukkan dana kompensasi. PDB riil mengalami kenaikan yang sangat kecil, yaitu 0,04 persen sebelum diberi kompensasi dan 0,05 persen setelah diberi kompensasi. Terjadi juga penurunan konsumsi masyarakat secara keseluruhan -1 persen.

No comments:

Post a Comment