Jumat, 14 Juni 2002.
Belajar dari Saemaul UndongJakarta, 14 Juni 2002 00:01HAMPIR setiap tahun, Pemerintah Korea Selatan mengundang beberapa orang dari dunia ketiga, termasuk Indonesia, untuk mendalami apa itu saemaul undong. Korea Selatan hendak menularkan pengalamannya ke negara lain; siapa tahu ada yang mau mengadopsi. Saemaul undong merupakan gerakan pembaruan masyarakat desa yang dicanangkan Presiden Park Chung-hee pada 1970-an, dengan tujuan meningkatkan pendapatan petani dan nelayan di desa.
Sejak memegang kekuasaan pada 1961, Park Chung-hee langsung menggenjot pertumbuhan ekonomi melalui pengembangan industri berat. Hasilnya memang spektakuler: kota tumbuh pesat, dan GNP melonjak dari US$ 85 (1960) menjadi US$ 257 (1970). Namun, di sisi lain, problemnya adalah tertinggalnya masyarakat desa, khususnya kaum petani. Itulah yang menyadarkan Park Chung-hee bahwa ada yang salah dalam strategi pembangunannya, lalu segera dicanangkanlah suatu gerakan pembangunan pedesaan dengan nama saemaul undong (SU).
Sebagai langkah awal, SU menekankan reformasi sikap mental. Pertama-tama, masyarakat Korea Selatan didorong untuk memiliki kepercayaan diri yang kuat. Ada fenomena menarik bahwa salah satu langkah untuk itu adalah melalui rehabilitasi rumah-rumah penduduk desa dari yang beratapkan rumbia menjadi beratap genting, yang berdinding bambu menjadi tembok. Selain itu, fasilitas fisik desa segera dikembangkan, seperti jalan, jembatan, listrik, dan air minum. Juga, introduksi teknologi pertanian dikembangkan. Dan, tak dilupakan adanya gerakan cinta lingkungan yang bermula dari gerakan kebersihan. Semua itu berlangsung secara demokratis. Artinya, orang desalah yang menentukan jenis bantuan pemerintah pusat serta pemanfaatannya.
Selanjutnya, sikap mental percaya diri tersebut diikuti dengan "tiga spirit utama" gerakan SU, yaitu rajin (dilligent), mandiri (self help), dan gotong royong (cooperation). Tiga spirit ini menjadi pegangan pokok setiap masyarakat Korea Selatan, tidak hanya di desa, melainkan juga di kota. Pendidikan masyarakat, baik formal maupun nonformal, digenjot. Pendidikan menjadi salah satu pilar gerakan SU, khususnya untuk transformasi sikap mental.
Ketika desa sudah tumbuh, upaya kontekstualisasi spirit SU bagi masyarakat kota pun dikembangkan. Kalau di desa gerakannya dimulai dari peningkatan produksi pertanian dan pendapatan petani melalui perbaikan teknologi, pembangunan fasilitas desa, dan rumah-rumah penduduk, di kota diarahkan pada keharmonisan kehidupan industrial (pemodal-buruh), penguatan hubungan ketetanggaan, gerakan hemat energi, dan cinta lingkungan.
Antara Indonesia dan Korea Selatan, ada kesamaan. Sama-sama memulai pembangunan pada 1970-an, memililki presiden yang otoriter dan sentralistik, dan punya program pembangunan pedesaan. Indonesia memiliki konsep hubungan industrial Pancasila, Korea Selatan punya urban saemaul undong. Namun, sejumlah kemiripan itu membuahkan hasil berbeda. Di Indonesia, ketimpangan antara desa dan kota sangat tajam. Sementara di Korea Selatan terjadi sebaliknya. Mengapa perbedaan buah pembangunan itu bisa terjadi?
Pertama, di Indonesia, proses ideologisasi dan transformasi sikap mental bersifat artifisial, sehingga tidak membuahkan perubahan secara signifikan. Itu terjadi karena proses yang kita lakukan lebih pada upaya hegemonisasi penguasa terhadap rakyat. Rakyat diminta mengubah sikap mentalnya, sementara penguasa tidak. Tak ada keteladanan dari penguasa. Sedangkan di Korea Selatan, meskipun Park Chung-hee otoriter seperti Soeharto, konsistensi terhadap tiga spirit SU tetap terjaga. Hasilnya, pemerintahan Park Chung-hee relatif bersih. Meski diakui bahwa di era Chun Do-hwan korupsi pun merebak, kehadiran Presiden Kim Young-sam mampu memangkas praktek korupsi itu.
Kedua, kalau Park Chung-hee begitu cepat membalik arah strategi pembangunan --setelah menyadari adanya problem ketimpangan akibat pembangunan industri berat secara masif-- ke arah pedesaan dan pertanian melalui gerakan SU, kita masih di persimpangan jalan. Kasus kita sama bahwa pembangunan ekonomi masa lalu terlalu bertumpu pada industri subtitusi impor yang bersifat foot loose industry, bukan pada resources based industry (RBI), yang ternyata mengakibatkan problem ketimpangan antara desa dan kota, industri-pertanian, serta antarkelompok pendapatan. Ujungnya, kita terkena krisis sangat dalam. Meski telah disadari bahwa RBI mampu menjadi katup penyelamat di era krisis, hingga saat ini belum muncul juga suatu blue print untuk menggerakkan RBI sebagai mesin pemulihan ekonomi nasional.
Karena itu, sudah sepatutnya pemerintah melakukan revolusi sikap mental dengan menunjukkan keteladanannya serta merestrukturisasi strategi pembangunan dengan menggerakkan sektor-sektor riil berbasis sumber daya nasional melalui strategi besar yang sistematis. Kalau tidak, jarak ketertinggalan kita dari Korea Selatan akan makin jauh.
[Arif Satria, Dosen Jurusan Sosial Ekonomi Perikanan IPB, pernah mengikuti training saemaul undong di Seoul, Korea Selatan, tahun 2002]
[Kolom, GATRA Nomor 30 Beredar 10 Juni 2002]
No comments:
Post a Comment