Cari Berita berita lama

Republika - Berdayakan Petani dengan Revitalisasi Penyuluhan

Senin, 22 Mei 2006.

Berdayakan Petani dengan Revitalisasi Penyuluhan






Ada yang tertidur lelap. Banyak pula yang setengah tertidur. Inilah yang terjadi pada para penyuluh pertanian di Tanah Air.





Pada era 1970-an dan 1980-an hingga mendekati 1990-an kinerja penyuluh pertanian sangat optimal. Mereka bisa bersinergi dengan para petani melalui program bimbingan massal (bimas), intensifikasi khusus (insus), dan supra insus sehingga swasembada pangan pun tercapai. Waktu itu pemerintah, petani, dan petugas penyuluh lapangan (PPL) mau dan bisa bekerja sama dengan baik sehingga Indonesia menjadi contoh bagi negara-negara lain. Namun, kondisinya berubah drastis usai reformasi pada 1998. Kemunculan otonomi daerah (otda) makin membelah hubungan harmonis petani dan penyuluh. Akibatnya, pertanian Indonesia, khususnya sektor tanaman pangan dan hortikultura pun merosot. Menteri Pertanian, Anton Apriyantono, mengakui penyuluh pertanian sedang tertidur atau belum optimal menjalankan fungsinya. Padahal, mereka sangat berperan dalam memajukan sektor pertanian, khususnya membantu petani di lapangan. Ibarat dalam sebuah peperangan, para penyuluh menjadi prajurit di garda terdepan.!
''Perang tak akan bisa dimenangkan tanpa mereka,'' ujarnya. Kemunduran peran para penyuluh menyebabkan sektor pertanian kedodoran. Pengetahuan petani pun tak bertambah maju karena tak tersentuh mereka. Contohnya, pengetahuan petani soal pemupukan. ''Masih banyak petani yang menggunakan pupuk secara berlebihan. Ini terjadi karena penyuluh belum berjalan semestinya,'' katanya. Melihat kenyataan itu, Mentan menilai sudah saatnya ada revitalisasi penyuluhan pertanian. Mereka terbukti andil dalam pencapaian swasembada pangan pada 1980-an. ''Kita harus bisa mengembalikan kejayaan itu. Kalau bisa harus lebih baik lagi dari saat itu,'' ungkap Mentan pada acara Jambore dan Festival Karya Penyuluh Pertanian di Desa Guci, Tegal, Jawa Tengah, Sabtu (20/5) lalu. Fakta membuktikan penyuluh menjadi saluran informasi pembangunan pertanian. Karena itu, kualitas penyuluh pun harus makin baik. Sayang, mereka sering tak mampu mengakses informasi-informasi terbaru, khususnya dengan para peneli!
ti. Akibatnya, hasil-hasil riset atau penelitian hanya menumpu!
k di per
pustakaan, tak sampai kepada para penyuluh dan petani. Mentan pun menggagas forum penyuluhan pertanian perdesaan agar semua kendala itu bisa terpecahkan. Dengan program ini, diharapkan penyuluh bisa lebih banyak berinteraksi dengan petani. Di sisi lain, penyuluh bisa mengakses hasil-hasil riset atau belajar lebih banyak dari peneliti. ''Saat ini masih banyak petani yang bekerja sendiri-sendiri. Ini terjadi karena mereka kurang mendapatkan penyuluhan.'' Anggota Komivi IV DPR pun menyambut baik program revitalisasi pertanian tersebut. ''Para penyuluh itu harus bisa membantu program agropolitan sehingga sektor pertanian makin maju. Mereka harus mengawal agropolitan,'' ujar Bomer Pasaribu, anggota Komisi IV DPR, yang juga hadir dalam acara tersebut. Revitalisasi pertanian, menurut Mentan, mencakup beberapa hal. Di antaranya pembenahan tenaga penyuluh pertanian, kelembagaan penyuluhan pertanian, serta pembenahaan penyelenggaraan penyuluhan pertanian. Faktor lainnya yang juga pen!
ting adalah penyediaan dan pemberdayaan penyuluhan pertanian. ''Karena itu, pada tahun ini jumlah penyuluh pertanian ditingkatkan 300 persen dari tahun 2005,'' ungkapnya. Kurang memadai Tenaga penyuluh pertanian masih kurang memadai. Jumlah keseluruhan penyuluh di Indonesia 28.212 orang, sementara jumlah desa 62.806. Jika setiap desa ditugaskan satu penyuluh, Indonesia masih kekurangan 34.594 orang penyuluh pertanian. Untuk mengatasi kekurangan itu, pemerintah berencana mengangkat 3.000 tenaga honorer. Mereka untuk formasi daerah pada Februari lalu dan Oktober mendatang. Kelembagaan penyuluhan pertanian juga menjadi tantangan berat. ''Sangat memprihatinkan,'' ujar Mentan. Banyak kelembagaan penyuluhan pertanian di tingkat provinsi, kabupaten/kota, dan kecamatan sudah tidak berfungsi lagi. Menurut Mentan, itu terjadi karena banyak pihak tak memahami arti penting kelembagaan penyuluhan. Padahal, kelembagaan sangat penting dalam pemberdayaan masyarakat petani, terutama dalam !
menciptakan dan meraih peluang serta mengatasi segala ancaman,!
hambata
n, dan gangguan yang dihadapi petani. ''Keberadaan kelembagaan penyuluhan di perdesaan dapat menjadi pembangkit semangat petani,'' ujarnya. Karena itulah Deptan ingin membentuk Badan Penyuluhan Pertanian Provinsi. Pada tingkat yang lebih rendah akan muncul badan penyuluhan tingkat kabupaten/kota dan kecamatan (Balai Penyuluhan Pertanian/BPP). Deptan menyadari penyelenggaraan penyuluhan pertanian saat ini masih belum memberikan dukungan yang optimal untuk kepentingan kesejahteraan petani. Belum adanya kesatuan persepsi dan gerak antarpenyelenggaranya, baik di tingkat pusat maupun daerah, termasuk di perdesaan maupun di tingkat lapangan, sangat memengaruhi kinerja penyuluh pertanian. Anton mengaku sudah mengajukan permintaan ke Kantor Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN) agar jumlah penyuluh pertanian ditambah sehingga menjadi 44 ribu orang pada 2009. ''Karena dari jumlah yang ada sebanyak 28.212 orang itu yang masih aktif kemungkinan hanya sekitar 19 ribuan,''!
ujarnya. Deptan juga akan meningkatkan kualitas penyuluh baik dari segi kompetensi maupun profesionalisme melalui berbagai program pendidikan dan pelatihan. Tanpa penyuluh yang profesional akan sulit membangun petani yang kreatif, inovatif, dan kredibel. Padahal petani, dengan karakter seperti itulah yang akan mampu bersaing. ''Kami masih berfungsi, cuma tidak maksimal. Ini pemda dengan pemerintah pusat tidak nyambung,'' ujar Sugiharto, pria yang sudah 32 tahun menjadi penyuluh pertanian. Penyuluh di Lumajang, Jatim, ini mengaku dulu setiap hari bisa memberikan penyuluhan kepada dua kelompok tani. Namun, setelah otda semuanya berubah. ''Dulu ada aturan atau pedomannya, Pak. Namanya laku,'' ujar Budi Santoso yang sudah 22 tahun sebagai penyuluh. Laku adalah singkatan dari latihan dan kunjungan. Maksudnya, latihan bagi penyuluhan dan kunjungan ke para para petani atau kelompok tani. ''Sekarang ini memang jarang ada penyuluhan. Kalau ada juga cuma memberi saran. Padahal, kami!
tak hanya butuh saran, tetapi bagaimana cara menyelesaikan ma!
salah it
u, Pak,'' ujar Sagwid, petani Desa Karangmoncol, Tegal, Jateng. Orang seperti Sagwid yang hanya sebagai penggarap jumlahnya jutaan. Dia tak memiliki lahan, tetapi hanya maron dengan pemilik lahan. Ironisnya, mereka jarang tersentuh. Padahal, dialah yang selama ini mengolah lahan dan berkecimpung langsung dalam sistem budidaya tanaman.
( rakhmat hadi sucipto )

No comments:

Post a Comment