Cari Berita berita lama

KoranTempo - Tarik Ulur di TNI

Senin, 18 Pebruari 2002.
Tarik Ulur di TNI
Setelah lama tersendat, TNI akhirnya kembali melakukan mutasi. Memang bukan mutasi besar-besaran, karena yang tercakup baru jajaran perwira tinggi bintang dua ke bawah saja. Untuk jajaran yang lebih tinggi--bintang tiga ke atas hingga Panglima TNI--tampaknya masih harus menunggu lagi.

Ada dua hal menarik dari mutasi yang baru sebagian diumumkan itu. Pertama, kembalinya Mayjen Sjafrie Sjamsoedin ke posisi struktural. Ia kini menjadi Kepala Pusat Penerangan TNI, menggantikan Marsda Graito Usodo yang memasuki masa pensiun.

Kedua, tertundanya penggantian Panglima TNI. Sudah lama beredar kabar bahwa Panglima TNI Laksamana Widodo akan diganti. Kandidat penggantinya adalah KSAD Jenderal Endriartono Sutarto yang harus bersaing dengan Jenderal Tyasno Sudarto (mantan KSAD).

Kembalinya Sjafrie menjadi menarik karena jenderal ini sedang bermasalah. Ia dianggap bertanggung jawab dalam kerusuhan Mei 1998 yang meluluhlantakkan Jakarta. Saat petaka itu meledak, Sjafrie menjabat Panglima Kodam Jaya. Kerusuhan itu hingga sekarang belum sepenuhnya terungkap.

Tentu ada pertimbangan tersendiri di kalangan TNI mengapa Sjafrie kini dipromosikan. Namun, penunjukan itu akan menimbulkan reaksi. Apalagi pekan lalu Sjafrie menolak panggilan KPP HAM Kasus Trisakti (kasus penembakan mahasiswa Universitas Trisakti yang memicu kerusuhan Mei).

Begitupun tarik ulur siapa yang bakal menjadi Panglima TNI menarik untuk dicermati. Sebelumnya, calon kuat Panglima adalah Soetarto, jenderal yang sangat vokal menentang keluarnya Dekrit Presiden (waktu itu) Abdurahman Wahid. Spekulasi kemudian merebak bahwa Presiden Megawati akan memilih Soetarto sebagai "balas jasa" atas keberaniannya menentang Wahid.

Lalu, muncul nama Tyasno dan penggantian Panglima TNI tertunda. Tampaknya sedang terjadi tarik ulur yang ketat antara kelompok pendukung Soetarto dan Tyasno. Ini pula yang membuat Mega harus berhati-hati dan untuk sementara tidak mencopot Widodo dari jabatan Panglima TNI.

Sebagai presiden, Mega memiliki hak prerogatif untuk memilih Panglima TNI. Namun, tarik ulur itu menunjukkan bahwa masalahnya tidak sederhana. Pertanyaannya, apakah Mega cukup berani menentukan pilihannya sendiri?

Kita pernah memiliki masa ketika seorang presiden begitu berkuasa atas TNI. Hasilnya sudah kita rasakan, TNI menjadi alat kekuasaan. Sebaliknya, kita tentu tak ingin seorang presiden sangat tergantung pada TNI dalam mengambil keputusan politiknya.

No comments:

Post a Comment