Cari Berita berita lama

Tempointeraktif.com - Pemerintah Perlu Revisi UU Pencucian Uang

Senin, 30 Desember 2002.

Ekonomi Bisnis
Pemerintah Perlu Revisi UU Pencucian Uang
30 Desember 2002
TEMPO Interaktif, Jakarta:Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang (money laundering)sebenarnya tidak berlaku surut. Artinya, undang-undang ini tidak bisa menjerat tindakan pencucian uang yang terjadi di masa lalu sebelum undang-undang itu disahkan. Karena itu, belum tentu hasil korupsi dapat ditelusuri dan dijadikan bukti tindak pidana.
"Kalau mau begitu, ya, pakai undang-undang yang lain, misalnya undang-undang korupsi," kata Ketua Pusat Pengendalian dan Analisa Transaksi Keuangan, Yunus Husein, pada pers di Gedung Bank Indonesia, Jakarta, Senin (30/12).

Karena itu, menurut Yunus, UU Nomor 15/Tahun 2002 tentang pencucian uang perlu direvisi. Pasalnya, tindak pidana korupsi perlu dikenai pasal-pasal tindak pidana pencucian uang. Dunia internasional pun, kata dia, telah mengkritik pemerintah tentang ketentuan-ketentuan dalam undang-undang itu. Salah satu diantaranya, definisi dari batasan uang hasil kejahatan.

Menurut Yunus, hingga saat ini pihaknya belum mempunyai data yang lengkap mengenai tindak pidana pencucian uang di Indonesia. Berdasarkan data yang diperoleh melalui riset literatur, pencucian uang di negeri ini baru mencapai 2-5 persen dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB).

Meski begitu, Yunus mengungkapkan, hingga saat ini, pihaknya sudah memperoleh 135 laporan transaksi keuangan yang mencurigakan dari perbankan. Namun, belum semua laporan ditindaklanjuti dan dilaporkan ke pihak kepolisian. "Sementara ini baru sembilan kasus yang telah dilaporkan. Itu pun, menurut Kapolri, proses penyidikannya belum selesai," kata dia.

Sementara itu, dalam rapat koordinasi terbatas di Bank Indonesia, Senin (30/12) dibahas mengenai pemberantasan tindak pidana pencucian uang. Rapat itu dihadiri oleh Menko Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Menko Polkam Susilo Bambang Yudhoyono, Gubernur BI Syahril Sabirin, Kapolri Da'i Bachtiar dan Kepala BIN AM Hendropriyono.

Menurut Menko Polkam, akhir-akhir ini telah terjadi peningkatan tindak kejahatan transnasional, termasuk tindak kejahatan pencucian uang dan terorisme. "Ada tanda-tanda peningkatan pada tingkat global, regional maupun nasional," kata dia dalam konperensi pers usai rapat itu. Karena itu, pemerintah telah bertekad untuk melawan segala bentuk dari tindak kejahatan itu.

Untuk itu, pemerintah telah membentuk dua lembaga untuk menindaklanjuti dua tindak kejahatan transnasional itu, yakni Desk Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (DKPT) dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Yang terakhir, kata Yudhoyono, adalah lembaga yang seharusnya melakukan langkah-langkah penindakan terhadap tindak pidana pencucian uang.

Rapat memutuskan, kapasitas lembaga ini perlu ditingkatkan agar dapat menjalankan tugasnya dengan lebih efektif. Namun, yang terpenting adalah membuat PPATK sebagai lembaga yang dapat menyelaraskan dan menjalin kerjasama lintas departemen yang baik. Hasil rapat ini akan segera dibawa ke sidang kabinet awal Januari mendatang untuk dilaporkan pada Presiden Megawati.

Dalam kesempatan tersebut, Menkehham Yusril Ihza Mahendra mengatakan, kejahatan tindak pencucian uang memang tidak dapat ditangani sendiri oleh Indonesia. "Dia sudah menjadi transnasional crime bahkan sudah menjadi transnasional organized crime," kata dia. Indonesia pun sebenarnya menghadapi tantangan serius untuk mengusut pelarian uang hasil kejahatan keluar negeri. Belum lagi rush Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang dilakukan oleh para konglomerat di masa awal krisis lalu.

Meski begitu, menurut Yusril, pemerintah telah berupaya untuk membicarakan masalah itu dengan negara-negara sahabat, seperti Amerika Serikat dan Australia. Bahkan Menkehham sempat membicarakannya dengan Jaksa Agung AS saat berkunjung ke New York beberapa waktu lalu. Pembicaraan itu juga berlanjut saat bertemu dengan delegasi AS di Bali.

"Sebuah komitmen telah diperoleh dalam pertemuan di Bali beberapa waktu lalu. Mereka akan membantu dalam menginvestigasi terhadap uang hasil kejahatan di sini yang dilarikan ke luar negeri," kata Yusril .

Namun, menyeret para konglomerat yang memarkir hartanya di Singapura tetap merupakan masalah yang tidak mudah. Apalagi, Indonesia dan Singapura belum memiliki perjanjian atau kesepakatan bersama menyangkut masalah itu. "Menurut informasi, ada sekitar 100 konglomerat yang bersembunyi di luar negeri," kata Yunus mengutip ucapan Yusril dalam rapat.

Menkehham mengakui, pihaknya memperoleh banyak masukan maupun kritik mengenai UU pencucian uang. Beberapa kalangan dunia internasional bahkan meminta agar undang-undang diamandemen. Namun, Yusril menegaskan bahwa pemerintah tidak akan tergesa-gesa melakukan amandemen. Pemerintah masih akan mengevaluasi pelaksanaan undang-undang dalam mengatasi tindak pidana pencucian uang. (Dara Meutia Uning-Tempo News Room)

1 comment: