Cari Berita berita lama

KoranTempo - Menunggu Wajah Baru Jembatan Ampera

Kamis, 31 Maret 2005.
Menunggu Wajah Baru Jembatan AmperaSeorang pria tua menunjuk ke arah Jembatan Ampera dari Benteng Kuto Besak. "Jembatan itu seperti terpotong persis di tengah jembatan setiap kali ada kapal besar yang mengarungi sungai," kata Haji Sobirin, 65 tahun, kepada cucu lelakinya yang baru berusia 5 tahun.

Sambil membuka dan menutup telapak tangannya, sang kakek menceritakan sejarah jembatan kebanggaan wong Palembang yang dulu menara kembarnya bisa terbuka dan tertutup. Semua orang Palembang seusia Sobirin tentu pernah menyaksikan peristiwa buka-tutup Jembatan Ampera.

Saat bagian tengah jembatan yang berada di antara dua menara itu terangkat, kata Sobirin, barulah kapal-kapal bisa melintas di bawah jembatan. Setelah kapal melintas, secara perlahan badan jembatan yang menghubungkan Palembang Ilir dan Ulu itu diturunkan kembali ke posisinya semula.

Proses naik-turun jembatan yang membentang di atas Sungai Musi menjadi tontonan menarik bagi warga Palembang saat itu. Namun, sejak 1970-an tontonan naik-turun jembatan tidak pernah lagi terlihat. Alasannya, waktu yang digunakan untuk mengangkat jembatan ini--sekitar 30 menit-- dianggap mengganggu arus lalu lintas antara Seberang Ulu dan Seberang Ilir, dua kawasan kota Palembang yang dipisahkan Sungai Musi.

Selain menghubungkan kedua kawasan, Jembatan Ampera dibangun untuk mengantisipasi adanya kapal besar yang berlayar di Sungai Musi. Pembangunan jembatan gerak ini dimulai pada April 1962, dibiayai dengan dana pampasan perang Jepang.

Awalnya, jembatan sepanjang 1.177 meter dengan lebar 22 meter ini dinamakan Jembatan Bung Karno. Menurut budayawan Sumatera Selatan Djohan Hanafiah, pemberian nama tersebut sebagai penghargaan kepada Presiden RI pertama itu karena Bung Karno secara sungguh-sungguh memperjuangkan keinginan warga Palembang untuk memiliki jembatan di atas Sungai Musi.

Peresmian pemakaian jembatan dilakukan pada 1965, sekaligus mengukuhkan nama Bung Karno sebagai nama jembatan. Namun, setelah terjadi pergolakan politik pada 1966, ketika gerakan anti-Soekarno sangat kuat, nama jembatan pun diubah menjadi Jembatan Ampera.

Dua menara pengangkatnya berdiri tegak setinggi 63 meter dengan jarak keduanya 75 meter. Dua menara ini dilengkapi dengan dua bandul pemberat masing-masing sekitar 500 ton. Saat bagian tengah jembatan diangkat, kapal berukuran lebar 60 meter dan tinggi maksimum 44,50 meter bisa lewat mengarungi Sungai Musi. Bila bagian tengah jembatan tidak diangkat, tinggi kapal maksimum yang bisa lewat di bawah Jembatan Ampera hanya 9 meter dari permukaan air sungai.

Saat ini warga Palembang tidak bisa lagi menyaksikan Jembatan Ampera naik-turun. Namun, mereka akan melihat wajah baru jembatan kebanggaan wong kito ini karena akan dipercantik dengan membangun patung gajah di sisi kiri dan kanannya.

Ide tersebut datang dari Wali Kota Palembang Eddy Santana. Menurut Eddy, pembangunan patung gajah ini untuk mendukung kemegahan dan kebesaran Jembatan Ampera dengan sebuah karya seni besar yang menunjukkan kekhasan daerah. Gajah dipilih karena binatang besar ini merupakan fauna khas di Sumatera Selatan.

Penggarapan proyek ini dipercayakan kepada Adwi Amri Yahya, putra kedua almarhum Amri Yahya, seniman asal Sumatera Selatan. Adwi yang ditemui beberapa waktu lalu mengatakan, dari berbagai sudut pandang, baik volume, karakter, maupun historis, pilihan terhadap gajah Sumatera sebagai subyek rancangan karya seni rupa pendukung Jembatan Ampera sangat tepat. "Selain sebagai fauna yang dilindungi, gajah juga sosok hewan yang kukuh dan kuat, tapi indah dan selaras dengan karakter Jembatan Ampera," dia beralasan.

Adwi telah menyiapkan empat desain sebagai pilihan patung gajah, yaitu gaya realis, kubis, ekspresif, dan dekoratif. Patung gajah ini dibuat empat unit yang akan ditempatkan pada masing-masing stage di samping tangga pada sisi kanan dan kiri jembatan yang sudah ada sebelumnya. Dua patung menghadap ke Seberang Ulu dan dua patung menghadap ke Seberang Ilir. Harapannya, kata Adwi, "Patung gajah ini dapat menambah arti lebih Jembatan Ampera sebagai gerbang Pulau Sumatera."

Kapan proyek itu dimulai dan berapa biayanya? Wali kota Eddy Santana mengaku masih menunggu arahan Gubernur Syahrial Oesman, karena Jembatan Ampera sudah menjadi ciri khas Provinsi Sumatera Selatan. arif ardiansyah

No comments:

Post a Comment