Senin, 18 April 2005.
Lagu Kebangsaan dan Bendera dalam Otonomi AcehPerundingan putaran ketiga antara delegasi pemerintah Republik Indonesia dan pihak Gerakan Aceh Merdeka di Helsinki ditutup Sabtu pekan lalu dengan kesepakatan melanjutkan negosiasi ke putaran keempat bulan depan. Masih dengan mediasi Crisis Management Initiative (CMI), lembaga yang dipimpin mantan Presiden Finlandia Martti Ahtisaari.
CMI menyediakan diri sebagai fasilitator perundingan RI-GAM mulai Januari silam, setelah kedua pihak sepakat bertemu, mula-mula untuk mengamankan distribusi bantuan kemanusiaan ke para korban bencana gempa dan tsunami 26 Desember 2004. Belakangan negosiasi membawa terobosan penting ketika GAM, yang selalu menekankan tuntutan kemerdekaan, bersedia membahas materi otonomi khusus yang disodorkan pemerintah.
Memang belum ada kesepakatan substansial soal otonomi khusus bagi Aceh. Tapi kedua pihak tampak antusias menyambut hasil putaran ketiga kali ini. Juru bicara delegasi GAM Bachtiar Abdullah menilai pembicaraan berlangsung konstruktif dan dia yakin kedua pihak akan mencapai kesepakatan.
Sama optimistisnya, di Jakarta, Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla mengatakan bahwa kedua pihak masih berupaya menyamakan persepsi antara konsep otonomi khusus dan self-governance yang diminta GAM. Menurut Kalla, kedua konsep itu sama. "Hanya soal semantik," katanya.
Hanya, perundingan alot mengenai otonomi itu diiringi dengan munculnya sejumlah konsesi dalam isu sensitif dari delegasi pemerintah untuk GAM. Pemerintah antara lain tak keberatan dengan permintaan GAM untuk memiliki lagu kebangsaan dan bendera sendiri. Menurut Sofyan Djalil, salah satu dari tiga menteri yang menjadi delegasi RI, permintaan itu bisa diterima karena toh semua provinsi di Indonesia punya lagu dan lambang tersendiri.
Pakar hukum tata negara Albert Hasibuan menentang sikap itu. Menurut Albert, boleh-boleh saja pemerintah berkompromi dan mengakomodasi keinginan GAM, tapi tidak untuk soal bendera dan lagu kebangsaan. "Bendera Merah Putih dan lagu Indonesia Raya merupakan suatu hal yang sakral bagi bangsa Indonesia," kata Albert kepada Tempo kemarin.
Albert mengkhawatirkan konsesi itu bisa menimbulkan inspirasi di daerah lain yang ingin merdeka dengan menggunakan cara GAM. Dia bahkan menilai konsesi soal bendera dan lagu kebangsaan itu berarti pemerintah sedikit banyak telah mengakui kedaulatan GAM. "Jadi sudah ada negara dalam negara dengan diakuinya bendera selain Merah Putih dan lagu lain selain Indonesia Raya di negeri ini," kata Albert.
Pengamat politik Arbi Sanit juga menilai konsesi lagu kebangsaan dan bendera itu telah mengubah paradigma negara kesatuan. Arbi mengingatkan Indonesia adalah negara kesatuan, bukan negara federal. Sehingga, menurut dia, bendera dan lagu kebangsaan Indonesia hanya satu.
Arbi mendukung upaya menyelesaikan masalah dengan GAM perundingan. "Sekarang tinggal seberapa jauh kreativitas kita dalam berdiplomasi untuk menyelesaikan masalah ini," katanya. Arbi mengatakan, penyelesaian Aceh yang sedang diupayakan ini harus bisa melaksanakan konsep otonomi secara substansial dalam negara kesatuan.
Peneliti pada Pusat Kajian Politik dan Regional LIPI, Dewi Fortuna Anwar, tak terlalu mempermasalahkan konsesi itu. Bagi Dewi, yang pernah menjabat asisten wakil presiden untuk urusan global, yang paling penting adalah dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia, apa pun penyelesaiannya.
"Kita harus menghargai spirit kompromi pemerintah dalam menyelesaikan masalah ini," kata Dewi kepada Tempo. Menurut Dewi, masalahnya terletak pada bagaimana mengompromikan GAM agar mau mengakui kedaulatan tertinggi di pihak RI.
Dewi berpendapat, selama tuntutan yang diajukan oleh GAM tidak bertentangan dengan konstitusi, maka pemerintah perlu mengakomodasinya. Ia berharap pemerintah tidak menimbulkan kerancuan berkaitan dengan konsesi lagu kebangsaan dan bendera Aceh. "Pemerintah harus memberi penjelasan kepada DPR tentang keputusan ini agar tidak melanggar konstitusi," kata Dewi.
Dewi menekankan pentingnya aspek keadilan dan hak ekonomi dalam menyelesaikan masalah Aceh. Maksudnya, pemerintah harus jelas membagi keuntungan yang diperoleh dari hasil bumi Aceh, berapa persen untuk daerah dan berapa persen untuk pusat. Selain itu, kata Dewi, pemerintah harus mengakui hak identitas kultural Aceh.
Oleh-oleh dari Helsinki itu membuat risau anggota DPR RI. Sidarto Danusubroto, Wakil Ketua Komisi Hukum DPR RI, menganggap kompromi pemerintah sudah terlalu jauh. "Win-win solution perlu, tapi jangan menyentuh integritas bangsa," katanya, seraya mengingatkan bahwa yang dilakukan pemerintah saat ini bukan perundingan, tapi dialog.
Sidarto menegaskan bahwa penyelesaian dengan pihak GAM harus berdasarkan dua hal. Pertama, apa pun penyelesaian untuk Aceh nanti tidak boleh keluar dari kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kedua, penyelesaian harus kembali ke otonomi khusus yang ditawarkan pemerintah. "Aceh merupakan bagian dari kita, jadi harus mengakui satu bendera dan satu lagu kebangsaan," ujarnya.
Rekan Sudarto di Komisi Hukum DPR, Andi Ghalib, tak mau berkomentar banyak karena belum menerima hasil perundingan secara resmi dari pemerintah. Tapi dia sangat menyayangkan persetujuan pemerintah soal bendera dan lagu kebangsaan itu. Andi menilai tawaran otonomi khusus itu sudah bagus, tinggal bagaimana pemerintah melaksanakan keputusan itu. yanto musthofa/yudha setiawan
Konsesi untuk GAM
Delegasi pemerintah Republik Indonesia dalam putaran ketiga perundingan di Helsinki pada 12-16 April 2005 memberikan sejumlah konsesi kepada pihak Gerakan Aceh Merdeka:
Hak pengelolaan hutan
Hak pengelolaan perikanan
Hak pelaksanaan pemerintahan di tingkat desa
Memiliki lagu kebangsaan sendiri
Memiliki bendera sendiri
Permintaan GAM yang ditolak delegasi Republik Indonesia:
Hak veto bagi anggota parlemen dari Aceh terhadap pengambilan keputusan yang menyangkut provinsi itu
Difasilitasi Crisis Management Initiative (CMI), organisasi yang dipimpin mantan Presiden Finlandia Martti Ahtisaari, kedua pihak sepakat melanjutkan perundingan, dan Ahtisaari mengundang kedua pihak melakukan perundingan putaran keempat pada 26-31 Mei 2005. Berikut ini butir-butir kesepahaman mengenai prinsip-prinsip pedoman bagi kelanjutan proses perundingan yang telah dicapai.
Kedua pihak mencari solusi permanen dan komprehensif dengan martabat bagi semua.
Negosiasi akan berusaha mendefinisikan kerangka struktur pemerintahan lokal bagi Aceh.
Negosiasi masih menggali bentuk partisipasi dalam pemilihan lokal.
Negosiasi akan mendefinisikan perincian pemberian amnesti.
Transparansi akan diperkuat dalam pengumpulan dan alokasi pendapatan antara pemerintah pusat dan Aceh.
Kedua pihak menerima kemungkinan terlibatnya organisasi regional dalam memonitor pelaksanaan komitmen yang disepakati kedua pihak.
Kedua pihak berusaha sekuatnya mengendalikan pasukan keamanan masing-masing di lapangan selama proses negosiasi.
No comments:
Post a Comment