Kamis, 14 April 2005.
Hidup di Masa Khmer MerahHor Namhong*Phnom Penh Post, Kamboja
Ketika kudeta terjadi di Kamboja pada 18 Maret 1970, saya sedang bertugas sebagai diplomat di Paris. Pada 23 Maret, saya bersama empat atau lima diplomat lain, bergabung dengan Front Uni Nasional Kamboja, yang didirikan Norodom Sihanouk--dengan kebijakan damai, netral, dan mengutamakan perkembangan ekonomi.
Ketika Khmer Merah memperingati hari kemenangan, pada 17 April 1975, saya menjabat Duta Besar Pemerintah Kerajaan Uni Nasional Kamboja (GRUNC) di Kuba. Pada Desember 1975, Khmer menarik semua diplomat GRUNC untuk menjalani rean soth dorp thyai atau pelatihan sepuluh hari.
Inilah kebohongan pertama Khmer Merah.
Setibanya di Kamboja, semua diplomat dikirim dari satu kamp ke kamp lainnya. Kami semua menjadi pekerja paksa dengan masa kerja melebihi sepuluh jam sehari. Kami menderita kelaparan, bahkan banyak yang tewas karena tidak ada obat-obatan bagi yang sakit.
Setiap kamp juga merangkap penjara. Tidak ada yang diizinkan keluar kamp. Penjara Khmer berfungsi sekaligus sebagai pusat indoktrinasi. Semua dipaksa berpikir, percaya, dan mematuhi ideologi Khmer. Di setiap kamp, Khmer membentuk komite tahanan yang mendapat pengawasan ketat.
Khmer membenarkan aksi mereka dengan mengatakan kepada rakyat bahwa mereka harus mengikuti pelatihan paksa. Inilah kebohongan kedua Khmer Merah.
Sebenarnya ini merupakan rencana sistematis Khmer membunuh rakyat Kamboja.
Setiap kali Khmer menjemput seseorang dari kamp, mereka selalu mengatakan bahwa orang itu akan dikirim ke tempat yang lebih baik.
Sebagai contoh, Chau Seng dan Van Piny--yang kedua bertugas sebagai ketua komite tahanan di Kamp B-32 Boeung Trabek. Saat dibawa pergi, petugas mengatakan bahwa mereka akan dikirim ke tempat lain yang lebih baik, tapi kenyataannya mereka malah dibunuh.
Saya pun baru mengetahui kenyataan itu setelah pembebasan pada 1979. Itulah kebohongan ketiga Khmer Merah. Tanpa ada pembebasan itu, saya akan mengikuti jejak Chau dan Van, karena saya menggantikan posisi mereka sebagai ketua komite tahanan.
Jelas bahwa Khmer memiliki rencana pembantaian rakyat. Ada dua cara yang mereka lakukan: langsung membunuh atau melalui seleksi alam. Tentu saja, yang bertahan hingga pembebasan adalah mereka yang memiliki ketahanan tinggi melakukan kerja paksa, menghadapi kelaparan dan penyakit.
Saat saya bergabung sebagai diplomat GRUNC pada 1970, tidak ada rasa patriotisme yang saya rasakan. Semua orang seperti robot. Semua orang berusaha patuh atas apa pun yang dikatakan Khmer. Kami diminta memberikan semua yang kami miliki, termasuk kehormatan, pikiran, bahkan rasa cinta yang seharusnya kami sisihkan untuk orang tua, istri, dan anak-anak.
Sejumlah warisan ditinggalkan Khmer bagi setiap individu ataupun bangsa Kamboja.
Warisan pertama, Khmer berhasil membinasakan seluruh negeri. Pasca-1979, Kamboja benar-benar hancur. Kamboja bukanlah negara yang diakui sesuai dengan konvensi internasional. Tidak ada yang dimiliki: tidak ada pemerintahan, institusi resmi apa pun, atau sistem yang berjalan. Kamboja sebuah bangsa tanpa fungsi negara.
Warisan kedua adalah wabah psikologi. Semua yang lolos dari pembantaian Khmer kehilangan tujuan hidup dan mengalami trauma. Hingga kini, masih banyak penderita lemah mental yang tersisa karena tekanan Khmer.
Warisan ketiga, hampir setiap orang Kamboja kehilangan saudara, bahkan semua keluarga. Contohnya, saya memiliki dua adik perempuan, yang bersama suami dan anak mereka masing-masing kembali ke Kamboja pada 1976. Mereka dibawa ke Boeung Trabek dan dihabisi.
Saya juga mempunyai tiga saudara kandung lainnya, dan istri saya punya saudara kandung sebanyak yang saya miliki, dan semuanya, bersama pasangan dan anak-anak yang seluruhnya berjumlah sekitar 30 orang habis dieksekusi. Hingga kini, Kamboja tercatat sebagai negara yang memiliki anak yatim. Banyak keluarga yang dipimpin perempuan, karena para lelaki tewas dihabisi.
Warisan keempat adalah berlanjutnya kekerasan di masyarakat kita hingga kini. Asal-usul kekerasan dan jatuhnya moral di Kamboja merupakan peninggalan Khmer.
Warisan lain yang ditinggalkan adalah Kamboja menjadi miskin sumber daya manusia. Ketika berkuasa, Khmer secara selektif menghabisi kelompok terpelajar. Hingga kini, sumber daya manusia menjadi masalah pembangunan Kamboja.
Singkatnya, hidup di bawah rezim Khmer merupakan saat dehumanisasi bagi mereka yang selamat. Orang diperlakukan lebih buruk dari binatang. Intinya, meminjam kalimat Thomas Hobbes, "hidup begitu brutal, keji, dan singkat". *Menteri Luar Negeri Kamboja
No comments:
Post a Comment