Minggu, 18 Mei 2008.
Pustaka Pantun
Ahmadun Yosi Herfanda wartawan Republika Sebuah buku berjudul Negeri Pantun baru saja diluncurkan di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, dalam acara Festival Pantun Serumpun. Buku yang disunting oleh Maman S Mahayana dan diterbitkan oleh Yayasan Panggung Melayu (YPM) ini mengungkap tentang revitalisasi tradisi berpantun yang saat ini makin banyak dilakukan di kalangan masyarakat Melayu serumpun. Sebelum buku tersebut terbit, seirama dengan makin hidupnya tradisi berpantun di berbagai daerah hunian etnis Melayu, sudah cukup banyak buku tentang pantun yang mendahului terbit, baik di Indonesia, Malaysia, Singapura, maupun Brunei Darussalam --kawasan tinggal etnis Melayu . Pada tahun 1983, misalnya, Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia menerbitkan buku Kumpulan Pantun Melayu karya Zainal Abidin Bakar. Sedangkan buku yang secara akademis membahas pantun-pantun Melayu, berjudul Alam Pantun Melayu karya Francois-Rene Daillie, diterbitkan oleh Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia !
pada tahun 2002. Di Malaysia, tahun 2005, juga terbit buku Pantun karya Hj Mokhtar Yasin. Buku terbaru tentang pantun yang terbit di Malaysia adalah Pantun Peranakan Baba: Mutiara Gemilang Negeri-Negeri Selat karya Prof Dr Ding Choo Ming, yang mengungkapkan bahwa peranakan Cina di Malaysia pun tertarik dan ikut mengembangkan tradisi berpantun. Di Indonesia, buku-buku tentang pantun juga banyak bertebaran sejak lama. Beberapa di antaranya sudah sejak tahun 1950-an diterbitkan oleh Balai Pustaka. Antara lain, Pantun Melayu, yang terbit pertama kali pada tahun 1958. IndonesiaTera, Yogyakarta, juga ikut tertarik dengan menerbitkan buku pantun untuk SD dan SMP karya Inoer Hidayati. Pada tahun 2004, Dewan Kesenian Kota Pangkalpinang dan Yayasan Nusantara Jakarta, menerbitkan buku Pangkalpinang Berpantun yang disunting LK Ara. Pada tahun yang sama, Yayasan Nusantara juga menerbitkan buku Pantun Melayu Bangka Selatan suntingan LK Ara. Setahun kemudian terbit buku kumpulan pantun Me!
layu-Bangka bertajuk Pucuk Pauh dan Bangka Belitung Barcaya Da!
lam Pant
un dan Puisi keduanya juga disunting oleh LK Ara dan diterbitkan oleh Yayasan Nusantara. Dari para pecinta budaya Melayu di Tanjungpinang juga terbit beberapa buku tentang pantun. Antara lain, Mari Berpantun karya Tusiran Seseno, Kumpulan Pantun Pernikahan karya Tamrin Dahlan, Bingkai Pantun karya Encik Abdul Hajar, Tata Cara Peraduan Pantun karya Tusiran Suseno, dan Pantun Majlis karya Tusiran Suseno. Bersama Amiruddin dan Teja Al-habd, Tusiran juga menyusun buku setebal 910 halaman berjudul Butang Emas, Warisan Budaya Melayu Kepulauan Riau, yang di dalamnya juga dikupas tentang pantun dan contoh-contoh (kutipan) berbagai jenis pantun. Di dalam sejarah kesastraan, pantun dikenal sebagai salah satu jenis puisi lama dari kesusastraan Melayu lama, yang memiliki aturan bentuk (konvensi) yang sangat mengikat. Pantun yang lazim terdiri dari empat baris yang berupa dua baris sampiran (tumpuan bicara) dan dua baris isi (inti atau maksud pantun), dengan rima (persajakan) bersilang a!
bab. Di dalam Leksikon Sastra Indonesia, Hasanuddin WS membedakan pantun menjadi pantun kanak-kanak, pantun orang muda (pantun berkasih-kasihan), pantun orang tua (pantun nasihat, adat, dan agama), pantun jenaka, dan pantun teka-teki. Sedangkan menurut bentuknya, pantun dapat dibedakan menjadi pantun biasa, pantun berkait, pantun dua seuntai (karmina), dan pantun enam seuntai (talibun). Namun, yang paling banyak ditemukan dalam khasanah sastra Melayu lama adalah pantun biasa atau yang lazim disebut pantun saja, yang terdiri dari empat larik dan terbagi atas dua baris sampiran dan dua baris isi (inti) pantun. Pantun-pantun didaktik, baik pantun nasihat, pantun adat, maupun pantun agama, yang merupakan warisan sastra Melayu lama, umumnya juga ditulis dalam bentuk pantun biasa. Pada mulanya, di kalangan masyarakat Melayu, pantun merupakan karya sastra (jenis puisi) lama yang bersifat anonim dan diwariskan secara turun-temurun, sehingga sangat dihafal oleh masyarakat. Namun, d!
i luar pantun-pantun tradisional yang sudah sangat dihafal dan!
menjadi
milik masyarakat, berkembang pula pantun-pantun baru, yang bersifat spontan, sesuai kebutuhan, yang jumlahnya bias ribuan. Penting sekali untuk menghimpun dan membukukan pantun-pantun spontan yang tercecer di masyarakat itu untuk memperkaya pustaka pantun yang telah ada.
( )
No comments:
Post a Comment