Kamis, 22 Mei 2003.
Untuk Telkom DepokTelepon kami dengan nomor 021-8783025, atas nama toko, sejak 1 April 2003 tidak bisa digunakan. Kami sudah berkali-kali melapor ke 147, tapi tidak juga ada tanggapan. Kami juga mencoba melapor ke kantor telepon Bojong Gede, meski hanya diterima di pos satpam (di pintu masuk).
Beberapa hari setelah laporan tersebut memang datang teknisi dari Telkom. Setelah dicek diketahui bahwa kerusakan ada pada kabel luar. Karena peralatan yang kurang memadai (menurut keterangan petugas dibawa ke Cibinong), teknisi tersebut pergi lagi sambil berjanji akan melakukan perbaikan selanjutnya. Namun, sampai surat ini dibuat tetap tidak ada laporan/usaha untuk memperbaiki telepon kami.
Kami menjadi heran, bagaimana orang Telkom bekerja? Mulai dari menerima tanggapan pengaduan pelanggan, peralatan yang tidak memadai, sampai kedatangan dan janji teknisi untuk mengabarkan kelanjutannya kepada kami, tidak ada yang memuaskan.
Sepertinya tidak ada koordinasi antara petugas di lapangan dan staf di kantor Telkom. Orang-orang di kantor hanya memberi memo tentang keluhan/pengaduan pelanggan kepada teknisi untuk dikerjakan, tanpa menerima laporan dari teknisi bagaimana hasilnya?
Entah berapa kerugian kami akibat putusnya telepon toko hampir satu bulan penuh, tapi tidak pernah ditanggapi secara serius oleh Telkom. Apa kami masih harus membayar abonemen bulanan? Sementara itu, telepon tidak kami gunakan akibat kelalaian pihak Telkom sendiri?
Kami hanya bisa berharap, semoga Telkom lebih tanggap terhadap keluhan pelanggan dan lebih profesional. Sekali lagi, telepon di atas adalah telepon toko yang aktif.
Djamal Salim
Depok II Tengah
Amnesti/Abolisi untuk Kasus Aceh
Suara tidak puas dan menolak kebijakan operasi terpadu di Aceh sampai saat ini masih saja terdengar dari sejumlah kalangan aktivis. Alasan mendasar mereka selama ini adalah soal nasib rakyat Aceh dan dugaan bahwa munculnya GAM sebagai akibat tidak adanya keadilan, kemiskinan, tertekan, dan trauma DOM.
Namun, mereka lupa bahwa apa yang dilakukan pemerintah justru untuk menyelamatkan rakyat Aceh yang selalu dicekam oleh rasa ketakutan dan kecemasan akibat aksi pemerasan, penculikan, pembunuhan, dan aksi teror lainnya yang dilakukan GAM.
Selama ini belum pernah terdengar statement mereka yang menyatakan bahwa separatis adalah salah dan tindakan GAM dikategorikan sebagai pengkhianat terhadap integritas bangsa. Meski sebenarnya mereka mengerti betul bahwa pihak GAM sudah mematok pemisahan Aceh dari NKRI sudah menjadi harga mati.
Maka, apa pun macam dan bentuk perundingan atau negosiasi tidak dapat menyelesaikan masalah separatis GAM. Pengalaman sudah membuktikan, seperti Jeda Kemanusiaan I-II, CoHA, sampai pertemuan di Tokyo yang hasilnya tidak pernah mencapai perdamaian di Aceh.
Kini genderang perang telah ditabuh di Aceh. Dan untuk menghindari jatuhnya korban jiwa yang lebih besar, menjadi tanggung jawab semua pihak, termasuk politikus dan penegak HAM, untuk mengajak GAM sadar, menyerah, meletakkan senjata, dan kembali ke NKRI.
Apalagi pemerintah sudah memberi pertimbangan amnesti atau abolisi kepada anggota GAM yang mau menyerahkan diri dan bergabung kembali dengan NKRI. Kebijakan ini seyogianya menjadi pertimbangan GAM untuk menciptakan kedamaian dan ketenteraman bagi masyarakat Aceh.
Rahma Nurjannah
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan
Tarik Segera The Sex Book
Membaca "Resonansi" Ade Armando berjudul "Kamus Remaja yang Buruk" (Republika, 26 April 2003), juga ulasannya di majalah Tempo tempo hari, hati saya tersentak mengetahui bahwa sebuah penerbitan sekaliber Gramedia menerbitkan The Sex Book karya Pavanel untuk khalayak umum remaja yang isinya mendukung, menganjurkan, mengajak, dan membenarkan seks bebas maupun aborsi bagi kalangan remaja sebelum nikah.
Jelas, isi buku tersebut mengabaikan nilai-nilai agama dan berusaha membentuk paradigma berpikir remaja bahwa perzinaan di usia remaja adalah baik dan sah-sah saja. Untuk itu, sudah seharusnya bila Gramedia menghentikan peredaran The Sex Book untuk kalangan remaja tersebut.
Saya sungguh mengharapkan kepada Ibu Mega, Bapak Hamzah Haz, Bapak Yusril Ihza Mahendra, dan Bapak Syamsul Ma'arif untuk turun tangan selayaknya orangtua tidak hanya dalam arti biologis yang peduli terhadap perkembangan jiwa anak-anak sebangsanya: dengan mencabut izin penerbitan buku dan mensensor media massa yang isinya mendukung, menganjurkan, mengajak, dan/atau membenarkan seks bebas dan/atau aborsi bagi kalangan generasi muda sebelum nikah.
Wiyoso Hadi MBA
Ragunan, Jakarta Selatan
No comments:
Post a Comment