Cari Berita berita lama

KoranTempo - Tomy Membuat Sertifikat Palsu

Senin, 21 April 2003.
Tomy Membuat Sertifikat PalsuPada 1965, Ratna Sari Dewi ingin membangun rumah sakit bagi warga Jakarta yang kian membengkak. Bersama suaminya, Presiden Soekarno, dan Menteri Kesehatan Sjarif Thajeb, ia lalu membentuk Yayasan Sari Asih untuk mewujudkan gagasannya.

Tanah seluas 53.106 meter persegi (5,3 hektare) di Jalan Sudirman Kav. 52-53 Jakarta pun dibeli. Namun, politik membuyarkan usaha ini. Soekarno jatuh, dan ia harus mengasingkan diri ke Paris, Prancis. Meski begitu, sebelum pergi ia menitipkan pembangunan rumah sakit itu kepada Sjarif.

Tanah itu kini bernilai emas. Namun, bukannya rumah sakit, di atasnya telah berdiri bangunan megah, Gedung Artha Graha. Tak seperti pengakuan Dewi, Yayasan Sari Asih pun bukan lagi sang pemilik tanah. Dewi kini menggugat menuntut klaimnya atas tanah itu dikembalikan. Jika tidak, penulis buku Allow Me to Say a Few Things itu meminta ganti rugi Rp 1,9 triliun.

Sidang gugatan ini telah dimulai pada 27 Maret lalu di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan dipimpin hakim Lalu Mariyun. Dewi diwakili kuasa hukumnya, Sutito. Sebanyak 11 pihak tercantum dalam daftar tergugat, yaitu Sjarif Thajeb cq ahli warisnya, Menteri Kesehatan, Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh Di Indonesia, Lembaga Persahabatan Indonesia Jepang , PT Taspen, PT Danareksa Jakarta Internasional, PT Arthayasa Grahatama, PT Danayasa Arthatama, PT Bank Artha Graha, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, dan Badan Pertanahan Nasional.

Untuk mengetahui motif wanita keturunan Jepang 62 tahun itu, Edy Can dari Tempo News Room mewancarainya melalui saluran telepon internasional. Tokoh yang membuat heboh melalui buku Madame de Syuga itu sesekali berbahasa Inggris.

Berikut petikan wawancara yang dilakukan Jumat (18/4). Semua tuduhan wanita bernama asli Naoko Nemoto ini belum ditanggapi para tergugat. Dalam persidangan, Jumat lalu, para kuasa hukum mereka belum siap memberikan tanggapan.

Bisa diceritakan sejarah tanah itu?

Pada 1965 populasi Jakarta sudah mencapai empat juta orang, tetapi tidak ada Emergency Hospital di sini. Bersama Bapak (Soekarno), Menteri Kesehatan Sjarief Thajeb, dan David Tjian saya lalu mendirikan yayasan.

Yayasan membeli tanah di depan Polda Metro Jaya dan mendapat tanah seluas 5,5 hektar. Pada zaman Soeharto (setelah Soekarno tumbang), saya tidak bisa menyentuh tanah itu. Tanah kosong itu belakangan dibeli 60 pedagang kaki lima, seperti penjual rokok dan bakmi. Tomy lalu membelinya dari mereka. Secara diam-diam dan cepat, saya mengetahui, ia membuat sertifikat palsu.

Tomy kemudian menjual kembali tanah itu ke pemerintah, yang memberinya uang sebesar US$ 600 juta. Yang lucu sekali, sertifikat tanah itu tetap milik Tomy, atas nama perusahaannya.

Anda pernah menghubungi Sjarif Thajeb untuk mengetahui perkembangannya?

Saat itu Soeharto sangat berkuasa, sehingga Syarif takut mengurusi tanah itu. Ia meminta Gereja Masehi Advent Hari Ke-Tujuh untuk membangun rumah sakit.

Setelah itu?

Saya berada di luar negeri bersama Karina (putrinya) di Paris. Soekarno menjalani tahanan rumah. Saya tak bisa pulang selama 10 tahun. Dalam 10 tahun itu, Sjarif menyerahkan kepada Gereja Masehi Advent untuk meneruskan pembangunan. Tapi Gereja tidak bisa membangun dan malah menjualnya.

Sebagai Ketua Kehormatan Lembaga Persahabatan Indonesia Djepang, saya meminjamkan tanah itu. Ketua lembaga itu adalah Husein Kartasasmita, dengan Ginandjar Kartasasmita dan Indra Kartasasmita sebagai direktur. Saya memberikan tanah itu kepada Indra untuk menjaga tanah itu. Tetapi ia tidak memberikan laporan sama sekali.

Lalu, Indra menjual tanah itu tanpa izin saya kepada Tomy Winata. Saya tahu ia terima uang banyak sekali dari Tomy. Indra bilang kepada saya, LPID menerima tanah lain dari Tomy. Itu tidak mendapat izin saya, karena saya pinjamkan kepada LPID untuk membangun sekolah.

Anda tidak mengurus tanah itu?

Soeharto sangat berkuasa, kami tidak bisa berbuat apa-apa.

Jika memenangkan gugatan ini, apa yang akan Anda lakukan?

Saya akan membuat memorial Soekarno, perpustakan sekolah, atau gedung pertemuan. Kalau bisa, juga akan meneruskan pembangunan Rumah Sakit Sari Asih. Saya sudah pernah minta bantuan Megawati dan Guruh, dua tahun lalu, tapi mereka tidak membantu.

Apa jawaban mereka?

Saya tulis surat kepada dia (Megawati) tapi tak dibalas. Saya berbicara beberapa kali dengan Guruh tapi tidak ada perkembangan. Saya kira mereka mendapat sumbangan dari Tomy Winata, jadi susah ini.

Kenapa Anda baru berani mengajukan perkara ini?

Ketika Megawati jadi presiden, saya pikir bisa dapat keadilan soal tanah ini. Saya sudah lama menunggu.

Bukankah Tomy Winata cukup kuat?

Tentu. Saya dengar orang-orang veteran dan militer berada di belakangnya.

Jadi Anda yakin bisa menang?

Wah, mudah-mudahan di Indonesia keadilan tetap ada. Jangan cuma kekuasaan yang mengatur semua.

Ada upaya damai?

Ini urusan pengacara saya.

Anda sendiri?

Perdamaian buat apa? Saya mau tanah itu kembali. Saya mau membangun Soekarno Hall.

No comments:

Post a Comment