Jumat, 25 Pebruari 2005.
Kutu Buku yang Tak Sempat BesarTak ada yang tahu cita-cita Febrina Purnama Sari Harahap, korban penculikan dan pembunuhan sadis di Jalan Masjid Rahmat RT 04/02, Kelurahan Jati Rahayu, pada Kamis (17/2). Tidak juga orang terdekatnya, Frans Harahap, kakeknya. Tapi Febrina, 11 tahun pada 15 Februari, bisa menjadi siapa saja.
Febi--nama panggilannya--bintang kelas, yang terbaik. Dia tak pernah kehilangan predikatnya sebagai juara satu di Sekolah Dasar Pamardi Yuana Sakti, Kelurahan Jati Makmur, sejak kelas I hingga kelas VI.
Febi punya kelengkapan lain yang membuatnya dapat menjadi apa pun. Dia kutu buku sejak bisa membaca. "Dia senang belajar, senang membaca," ujar ibunya, Lina Marlaeni. "Sepertinya dia sadar untuk mengutamakan belajar."
Di luar kegiatan sekolah, kata Lina, 40 tahun, anak semata wayang buah perkawinannya dengan Henri S.M. Harahap, 43 tahun, itu jarang keluar rumah untuk bermain. Waktunya lebih banyak dihabiskan untuk membaca.
Pelajaran kesukaannya matematika dan bahasa Inggris, dua pelajaran yang menjadi momok bagi kebanyakan anak. Sejak mulai bersekolah pada 1999, kata Frans, dia sudah mencampur-campurkan percakapannya dengan bahasa Inggris. "Bahasa Inggrisnya bagus sekali," kakeknya memuji.
Karena otaknya yang encer, para pengajarnya mempromosikan Febi ke SMP Pamardi Yuana. Febi mendapatkan prioritas untuk masuk ke sekolah itu, tanpa ikut seleksi, bersama dua murid lainnya.
Rencananya, pada 28 Februari, orang tua Febi akan mengambil formulir pendaftaran dan membayar biaya masuk sekolah. "Febi pergi ke Mal Metropolitan juga untuk menyiapkan foto diri untuk pendaftaran," kata Frans.
Garis hidup kemudian berkata lain. Sebelum sempat bertemu dengan orang tuanya untuk menyerahkan foto, ia tiba-tiba menghilang dan ditemukan meninggal terbunuh empat hari kemudian.
Orang tuanya tak perlu meneruskan rencana mereka untuk melarang Febi keluar rumah setelah dia pulang. "Selama Febi menghilang itu, saya berpikir, kalau nanti bertemu, saya akan melarangnya keluar rumah. Nanti akan saya jaga terus," kata ibu Lina.
Sementara itu, bagi Frans, Febi meninggalkan banyak kenangan. "Setiap hari Febi selalu mampir ke rumah dalam perjalanan ke sekolah," kata Frans, mantan wartawan Sinar Harapan yang kini masih menulis di sebuah media bulanan.
Rumah Frans memang cuma 10 meter dari sekolah cucunya.
Frans mengatakan, ia tahu kapan harus memberi uang jajan karena cucunya tak pernah sekali pun meminta. "Dia selalu mencium saya. Saya tahu, kalau begitu, dia berharap mendapat uang jajan," Frans mengenang.
Frans cuma tak tahu apa cita-cita cucunya setelah dewasa. Tak mungkin lagi ada yang tahu. siswanto
No comments:
Post a Comment