Cari Berita berita lama

Dasamuka Menghilang di Jalan Tikus

Jumat, 7 November 2003.
Dasamuka Menghilang di Jalan TikusTAK kurang dari 30 polisi berpakaian preman berhamburan dari empat mobil van dan sebuah sedan. Di bawah rinai gerimis dan keremangan malam, mereka bergegas mengepung sebuah bangunan berlantai dua di Jalan Kebon Kembang Nomor 4, Bandung. Ada yang mengambil posisi di sudut dekat jalan dengan senapan siap tembak. Tak ada yang terlalu mendekat ke sasaran.

Info awal mengatakan, si penghuni sedang ke luar rumah. Tapi, jangan coba-coba memasuki kamar sasaran secara paksa. Di sana tersimpan bom yang siap menyalak.

Tak lama berselang, dua sosok laki-laki muncul dari sebuah gang. Yang satu perawakannya sedang dengan kacamata tebal bertengger di atas hidungnya. Yang satunya lebih tinggi dan gempal. Ada jenggot tipis menghiasi dagunya. Semula, tak seorang pun mengenali kedua pria itu adalah Dr. Azahari Husin dan Noor Din Mohd. Top, buruan yang sejak tadi ditunggu.

Semuanya makin jelas ketika sasaran mendekat. Polisi siap meringkus. Rupanya, buronan membaca situasi bahwa diri mereka terancam. Secepat kilat, mereka balik badan dan lari masuk lorong gang. Aksi kejar-kejaran bak adegan film pun berlangsung. Buruan lepas.

Padahal, rencana penyergapan sudah dirancang serapi mungkin. "Saya sempat diminta tiarap segala," kata Rudianto, satu-satunya warga biasa yang diminta polisi membantu penyergapan. Tapi, sayang, yang diuber ternyata lincah dan cukup menguasai medan. Mereka hilang ditelan jalan tikus yang bercabang-cabang di kawasan padat penduduk itu.

Polisi berpencar menyusuri jalan-jalan yang mengelilingi daerah itu. Dengan menumpang Isuzu Panther, Rudianto, misalnya, sempat menjadi penunjuk jalan ketika polisi dua kali menyisir sepanjang Jalan Tamansari, Siliwangi, Cihampelas, dan kembali ke Tamansari. Hasilnya nihil. Upaya pengejaran sempat diarahkan ke Ledeng, terminal terakhir di ujung utara Bandung menuju Lembang.

Sial, tangki solar menipis. Mereka gagal mendapatkan bahan bakar, karena persediaan solar di SPBU terdekat, di Jalan Cipaganti, kosong. Pengejaran terhenti di sebuah warung makanan laut di pinggir Jalan Setiabudi. Setelah kenyang, rombongan kembali ke base camp operasi di Hotel Puri Gardena, Jalan Dipatiukur, sekitar 1,5 kilometer dari lokasi penggerebekan.

Esoknya, Kamis dua pekan lalu, warga Kebon Kembang geger. Puluhan polisi, termasuk anggota pasukan penjinak bom, menyesaki permukiman yang hanya 100 meter dari Gedung Rektorat Institut Teknologi Bandung itu. Komisaris Jenderal Polisi Erwin Mappaseng, Kepala Badan Reserse dan Kriminal Mabes Polri, tampak hadir di lapangan. Police line pun mengitari areal sekitar rumah kontrakan. Warga dilarang mendekat, karena di lantai dua tersimpan empat paket bom siap meledak serta bahan-bahan peledak lain yang belum diracik. Sedianya, bom akan dipakai meledakkan Kantor Cabang Citibank di Jalan Asia Afrika, dan Standard Chartered Bank di Jalan Dago.

Baru saat itulah warga di sekitar proyek jalan layang Pasopati itu baru sadar bahwa di rumah kos-kosan milik H. Endang Omo itu bermukim empat buronan kelas kakap. Azahari, warga negara Malaysia berusia 46 tahun, terkenal sebagai peracik bom yang jempolan. Lulusan Universitas Reading, Inggris, ini tersangka utama perakit bom Bali dan JW Marriott.

Warga Malaysia lainnya, Noor Din Mohd. Top, 35 tahun, bekas pengajar di Universitas Teknologi Malaysia. Ia juga ditengarai sebagai bendahara yang menyalurkan dana operasi dari Hambali, tersangka serangkaian aksi teror di Asia Tenggara yang telah dicokok agen rahasia Amerika, CIA, di Bangkok, untuk kegiatan teror di Indonesia. Jejak Azahari dan Noor Din terendus setelah polisi berhasil menggaruk Tohir dan Ismail, dua muka baru dalam kelompok teror bom itu, di Cirebon, Rabu pekan lalu.

Tohir, 28 tahun, boleh dibilang hanya tenaga pelaksana. Lulusan Pesantren Ngruki, Sukoharjo, Jawa Tengah, tahun 1995 ini diduga ikut memboyong racikan bom untuk Hotel JW Marriott, dari Bengkulu hingga Jakarta. Suami Erna Andayani itu bahkan tak sempat menunggui kelahiran anak pertamanya, setelah ia bergabung dengan kelompok "bom" Azahari sejak Februari lalu, enam bulan sebelum "proyek" bom Marriott dilaksanakan.

Ismail adalah teman seangkatan Tohir. Latar belakang pria berusia 23 tahun ini masih samar-samar. Ia disebut-sebut sebagai asisten Azahari dalam mengadon bom. Tak aneh kalau Ismail tahu banyak seluk-beluk bom yang dibuat gurunya itu. Ismail pula yang menemani Azahari mengamati langsung proses peledakan bom Marriott, 5 Agustus lalu, yang menewaskan anggota mereka, Asmar Latin Sani, sang pembawa bom mobil itu.

Pengusutan polisi atas kasus bom Marriott itu kemudian menempatkan keempat lelaki itu sebagai buron paling berbahaya. Dari kesaksian anggota komplotan ini yang sudah tertangkap, seperti Mohammad Rais, terungkap bahwa Azahari cs masih menyimpan sisa bom dalam jumlah besar.

Sebetulnya, polisi sempat mencium tempat persembunyian "doktor bom" ini di Jalan Kemuning Raya Nomor 26 RT 15 RW 6, Pejaten Timur, Jakarta Selatan. Namun, saat penggerebekan, sekitar akhir Agustus 2003, rumah tua di atas lahan 1.300 meter persegi itu sudah kosong. Menurut Noor Ali, bekas Ketua RW 6 yang kini Wakil Lurah Pejaten Timur, kepada Luqman Hakim dari GATRA, Azahari mengontrak rumah milik Fauzi itu seharga Rp 4,8 juta untuk dua bulan. Mereka masuk di bulan Juni dan keluar persis pada hari ledakan bom Marriott. Sejak itu, jejak mereka tak terlacak.

Ternyata, seperti dilaporkan wartawan GATRA Eric Samantha, selain di Pejaten Timur, kawanan ini pun menempati dua kamar kos di Jalan Cigadung Raya Timur Nomor 76A, Bandung. Oleh Rudianto, penghuni kos di rumah berlantai dua itu, Tohir dikenalnya dengan nama Ikhwan, sedangkan Ismail memperkenalkan diri sebagai Hariyadi. Mereka menghuni rumah indekosan itu sejak awal Juli.

Dua pekan sesudahnya, menurut Rudianto, dua teman Tohir dan Ismail datang menyusul. Toh, Rudianto, mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pasundan ini, tak terlalu mengenal mereka. "Orangnya tertutup," katanya. Kalau ada di rumah, mereka lebih sering mendekam di kamar.

Suatu hari, teman-teman kos melihat satu di antara keduanya memanggul botol galon air mineral. Ketika disapa, "Kehabisan minum, Mas?" Ia hanya menjawab, "Hmm!" Saking tertutupnya, kata Rudi, "Kala itu teman-teman sempat berseloroh, 'Kayak teroris aja'." Ucapan bernada canda itu ternyata belakangan terbukti.

Selama di Cigadung, menurut Rudi, hanya Tohir yang cair bergaul. Ia bahkan sering berlama-lama di kamar Rudi sambil menonton televisi. Kalaupun ada sedikit keheranan pada diri Rudi, Tohir selalu menjauh jika ada yang menghubungi lewat handphone-nya. Bahkan, ketika diminta nomornya, Tohir selalu bilang barang itu milik temannya.

Kepada Rudi, Tohir bertutur bahwa mereka adalah pekerja sebuah perusahaan sepatu dan tas bermerek internasional. Tugas Tohir dan Ismail memantau mode yang sedang digandrungi anak muda Bandung. Sedangkan dua temannya yang tertutup itu disebutnya mengemban tugas membuat desain barang-barang itu. Tak aneh kalau Tohir sering bertanya tentang tempat-tempat yang paling banyak didatangi orang.

Kepada Tohir, Rudianto sempat menyebut Bandung Super Mall, pusat pertokoan terbesar di Bandung, dan Gasibu, lapangan di depan Gedung Sate yang disesaki pengunjung saban Ahad. Di mata Rudi, kehidupan agama sohib anyarnya itu biasa-biasa saja. Walau Tohir rajin salat lima waktu, toh ketika ngobrol tak pernah menyinggung masalah agama. "Malah soal perempuan sering menjadi tema pembicaraan," kata Rudi.

Saat pertama kali tiba di tempat kos, menurut Rudi, Tohir dan Ismail datang berboncengan sepeda motor Honda Supra. Motor ini pula yang sering digunakan kawanan itu bepergian secara bergantian. Namun, pada pertengahan Agustus, motor itu dijual seharga Rp 7,75 juta. "Saya sendiri yang membantu menjualnya ke seorang calo," katanya.

Belakangan diketahui, motor berpelat nomor B (Jakarta) itu ternyata menjadi bagian dari operasi pengeboman Marriott. Kendaraan itu kini diamankan polisi. Menurut informasi yang masuk ke Erwin Mappaseng, di hari eksekusi bom Marriott, rombongan Azahari itu tak bertolak dari Bandung, melainkan dari Pejaten Timur, mengendarai Toyota Kijang dan sepeda motor. Setelah sejenak mereka salat lohor di sebuah masjid di kawasan Kuningan, mobil Kijang yang bermuatan bom dikemudikan Asmar. Azahari dibonceng Ismail dengan Honda Supra itu, mengikutinya dari belakang.

Kala Kijang berada di lobi hotel, masih menurut Erwin, Azahari masih memantaunya dari tempat yang aman. Barulah setelah Asmar memijit sendiri switch dan bom meledak, Azahari dan Ismail langsung kabur ke Bandung. Menyusul Noor Din dan Tohir yang sudah meninggalkan Jakarta, sehari sebelumnya.

Cerita ini klop dengan kesaksian Rudi. Ketika ia menyaksikan siaran langsung di televisi yang menayangkan ledakan Marriott, Tohir duduk di sampingnya. Rudi sempat melontarkan sumpah serapah menyaksikan kebiadaban itu. Sampai-sampai, nama-nama hewan seisi kebun binatang berhamburan dari bibirnya. Tapi, Tohir diam saja tanpa ekspresi. "Tak disangka kalau yang saya sumpahi orangnya ada di dekat saya," kata laki-laki berwajah bersih ini, sembari tersenyum kecut.

Setelah itu, suasana di rumah kos berlalu seperti biasanya. Tohir tetap rajin menyambangi kamar Rudianto. Yang lain tetap mengurung diri dalam kamar. Sampai akhirnya, di penghujung Agustus, Tohir pamit pindah kos. Tak jelas, akan ke mana mereka beranjak. Ketika itu, tak banyak barang yang mereka bawa. Hanya beberapa kardus dan pesawat televisi lima inci yang ditenteng.

Walau sudah tak satu kos lagi, Tohir masih tetap rajin menghubungi Rudianto lewat telepon. Terakhir, sepekan sebelum puasa, Tohir menelepon Rudi. Ia berjanji akan bertandang ke Cigadung. Tunggu punya tunggu, ia tak juga muncul. Rudi pun melupakannya. Sampai akhirnya ia kaget ketika Rabu malam dua pekan lalu, serombongan polisi datang ke rumah kosnya.

Awalnya Rudi menggelengkan kepala kala tamu menanyakan nama-nama asing di telinganya, yakni Tohir, Ismail, Azahari, dan Noor Din. Lajang berusia 24 tahun ini baru ngeh setelah polisi menyodorkan selembar kertas bergambar foto orang yang dicarinya. "Saya baru tahu kalau Ikhwan itu bernama Tohir," kata Rudi.

Saat itu pula, Rudianto diminta ikut polisi guna menemani penangkapan Azahari dan Noor Din. Ia diharapkan bisa menjadi petunjuk bagi polisi dalam mengenali buruannya. Tapi, ketika hendak berangkat, ternyata mobil Isuzu Panther yang dikendarai polisi tak bisa memuat semua penumpang. Akhirnya diputuskan, Rudi dan dua polisi terpaksa memesan taksi. Yang lain bergegas meluncur ke titik sasaran.

Sialnya, taksi yang dipesan baru nongol sejam kemudian. Ketika Rudi tiba di lokasi, sekitar pukul 22.00, suasana sudah heboh. Polisi sedang terlibat dalam aksi kejar-kejaran dengan buronannya. Setelah penggerebekan itu nihil tanpa hasil, Rudi diboyong ke Hotel Puri Gardena. Di hotel berlantai tiga itulah, Rudi sempat dibawa ke sebuah kamar di pojok lantai satu.

Dari celah pintu yang dibuka sedikit, Rudi menyaksikan bekas temannya itu sedang ditanyai petugas dengan tangan dan kaki diborgol. Rudi menganggukkan kepala kala polisi menanyakan apakah yang ada di kamar itu Ikhwan dan Haryadi alias Tohir dan Ismail yang dikenalnya. Sebelum kembali diantar ke rumah kosnya, Rudi sempat diberondong pertanyaan oleh petugas di lobi hotel. Pertanyaan seputar sejauh mana kedekatannya dengan Tohir dkk.

Dari petugas polisi pula Rudi baru tahu bahwa Tohir dan Ismail dicokok Rabu subuh di Cirebon. Aksi penangkapan pun cukup menegangkan. Pertama, polisi mendatangi Hotel Gunungsari di Jalan Tentara Pelajar. Di hotel yang tarifnya Rp 30.000 per kamar itu, buronan menempati kamar 1 A. Tohir memesan kamar atas nama Ricky Putranto, sesuai dengan nama di kartu tanda penduduk (KTP) yang diserahkannya ke resepsionis hotel.

Namun, yang dicari ternyata tak kedapatan di kamarnya. Berkat informasi dari abang becak yang mangkal di depan hotel, ketahuan bahwa Tohir sedang makan sahur di warung jamblang, tak jauh dari hotel. Empat anggota polisi berpakaian preman langsung menuju sasaran. Benar saja, Tohir dan Ismail sedang menyeruput teh manisnya. Keduanya langsung diapit dan ditelikung polisi.

Operasi penangkapan berlangsung cepat, sampai-sampai Tohir dan Ismail tak sempat membayar makan sahurnya. "Soalne ribut, sih. Langsung ditangkep bapake, apa sih, aranne... intel, ya?" kata Yu Sayem, pemilik warung yang berbadan subur itu, kepada Muhammad Sufyan dari GATRA.

Ribut-ribut di warung jamblang tak hanya mengagetkan Yu Sayem. Di Bandung, Ricky Putranto, karyawan Bank BNI Cabang ITB, turut terperanjat. Pasalnya, hampir semua pemberitaan menautkan namanya dengan kawanan tersangka terorisme. "Saya kaget setengah mati karena disangka kawan teroris yang dicari itu," kata petenis tingkat Jawa Barat ini kepada Sulhan Syafi'i dari GATRA.

Ricky mengaku kartu identitasnya itu hilang selepas menonton pertandingan bulu tangkis di Gelanggang Olahraga Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), Jalan Badak Singa, Bandung, 1 September lalu. Ketika hendak masuk, ia menukar KTP-nya dengan kartu tamu di pos satpam. Usai menonton pertandingan, warga Jalan Golf Barat, Arcamanik, Bandung, itu mengaku lupa mengambil kembali KTP-nya. "Yang pasti, esok harinya saya baru sadar kartu itu telah hilang," katanya.

Pengakuan Ricky ini sempat memojokkan pihak manajemen PDAM. Sebab, menurut hasil penelusuran, kata Suwaryo, Kepala Unit Pengamanan PDAM, tak terbukti KTP itu hilang di lingkungan kantornya. Setelah dicek, kata Suwaryo, tidak ditemukan adanya KTP tamu yang tak sempat diambil kembali. "Kami heran, bagaimana sampai Ricky mengatakan kehilangan KTP-nya di sini," katanya.

Diam-diam, di tengah kebingungan Ricky dan pihak PDAM, Rudianto menyimpan iba. "Kasihan Ricky harus disangkut-pautkan dengan kasus ini," kata Rudi. Kepada GATRA, ia buka rahasia. Sebetulnya KTP itu ditemukan olehnya di sebuah warung telekomunikasi di Arcamanik, tak jauh dari rumah pacar Rudi. Hanya saja, Rudi meluruskan pengakuan Ricky. "Hilangnya bukan bulan September, sebab saya menemukannya bulan Agustus," katanya.

Sebetulnya, Rudi hendak mengembalikan KTP itu lewat surat pos. Namun, ketika tergeletak di kamar Rudi, barang milik orang lain itu terlirik Tohir. "Nah, saya ingin dibuatkan KTP seperti ini," kata Rudi, menirukan ucapan Tohir. Tanpa curiga, Rudi cuek saja ketika Tohir meminjam KTP itu untuk ditunjukkan ke kawan-kawannya. "Setelah itu saya benar-benar lupa, hingga Tohir pindah dari Cigadung," katanya, sambil mengaku tak menyangka KTP itu bakal dijadikan alat mengelabui kawanan ini dari kejaran polisi.

Memang, selama dalam pengembaraan, kelompok ini pandai menyembunyikan kedoknya. Di tempat kosnya yang baru di Kebon Kembang, misalnya, tindak-tanduk mereka pun sungguh santun. Bedanya, kali ini giliran Azahari yang cair dengan warga sekitar. Dengan nama samaran Muhammad Ridwan, ia mengaku sebagai mahasiswa S-2 ITB yang sedang menyusun tesis. "Ridwan memang kutu buku. Senangnya membaca di dalam kamar, jarang sekali ke luar rumah," kata Lilis Novia, 40 tahun, putri H. Omo, pemilik rumah kos.

Kalaupun ke luar rumah, Ridwan biasanya menuju Masjid Al-Islam, yang terpisah tiga warung dari tempat kos. "Orangnya rajin salat," kata Lilis tentang pria yang berambut gondrong, ikal, dan sering diikat ke belakang itu. Azahari memang pandai pula menyulap penampilan, sehingga polisi perlu menyimulasikannya dalam 10 wajah, dasamuka, untuk mengantisipasi penampilan berikutnya.

Kebiasaan lainnya, setiap Ahad pagi, Azahari dan tiga kawannya berolahraga lari di Lapangan Gasibu, sekitar dua kilometer dari rumah indekosannya. Saking dekatnya hubungan antara keluarga H. Omo dan Azahari, kedua pihak sudah saling percaya.

Pernah suatu waktu, Lilis menitipkan anaknya ke Azahari. Sebaliknya, Azahari tak segan-segan menitipkan kamarnya kalau harus pergi lama. Terakhir, Rabu pagi sebelum penggerebekan, Azahari menitipkan kunci kamarnya. Hampir seharian Azahari dan Noor Din menghilang. Dugaan polisi, saat itu Azahari sudah sadar persembunyiannya terendus.

Boleh jadi, lewat berita yang ditontonnya di televisi berukuran lima inci miliknya, Azahari yang ahli statistik itu sudah tahu dua kawannya diberangus. Sikap hati-hati ini pun ditunjukkan kala keduanya akan kembali ke rumah kos, pada malam harinya. Sehingga bisa lolos kala polisi hendak menyergapnya.

Polisi memang boleh dibilang gagal menciduk buruannya yang sudah di depan mata. Namun, keberhasilan mereka melacak Tohir dan Ismail di Cirebon tak bisa dipandang sebelah mata. Menurut sumber GATRA di kepolisian, sukses ini berkat alat global positioning system (GPS) yang dipakainya. "Alat canggih ini harganya sekitar Rp 10 milyar, kami pinjam dari Amerika Serikat," kata polisi yang mewanti-wanti agar tak disebut namanya itu, sambil mengelak menjelaskan lebih lanjut cara kerja alat ini.

Menurut Dr. Hasanudin Z. Abidin, ahli GPS dari Jurusan Teknik Geodesi ITB, alat canggih itu memang cukup ampuh mengendus pergerakan seseorang. Syaratnya, si objek harus memiliki instrumen untuk dideteksi. "Instrumen yang paling mungkin adalah handphone," katanya. Jika nomor handphone-nya telah diketahui, posisi si pemakai bisa terus terpantau dari sinyal teleponnya. Sangat boleh jadi, Tohir yang selalu bertelepon-ria terlacak kala bergerak ke Cirebon.

Tetapi, Erwin Mappaseng menepis bahwa pihaknya telah menggunakan alat itu. "Tidak benar itu," katanya kepada GATRA (lihat: Mereka Tak Akan Berhenti). Sayangnya, Erwin tak membuka kiatnya itu. "Tentang taktik dan strategi pelacakan tak mungkin kami ungkapkan," katanya. Tampaknya, jurus rahasia para pemburu ini ditunggu lagi keampuhannya. Bisakah pelarian sang "doktor bom" segera terhenti?

Hidayat Gunadi dan Sujud Dwi Pratisto
[Laporan Utama, GATRA, Edisi 52 Beredar Jumat 7 November 2003]

No comments:

Post a Comment