Selasa, 6 Pebruari 2007.
Ustad Ja`far Menunjuk ke Arah JIDari segi ukuran, tidak seberapa luas. Wilayah Desa Gebang Rejo, di salah satu sudut kota Poso, Sulawesi Tengah, itu tak lebih besar dari luas kawasan Monas, Jakarta. Namun belakangan, enclave (kantong) kaum pendatang asal Jawa ini mengundang kehebohan nasional. Penduduk desa di kaki Bukit Tanah Runtuh itu nekat baku tembak melawan polisi.
Mereka selalu menolak kedatangan aparat keamanan memasuki wilayahnya. Tak mengherankan jika wilayah itu menjadi tempat persembunyian buronan paling ideal. Polisi yang menengarai keberadaan para tersangka kasus kerusuhan Poso yang masuk daftar pencarian orang (DPO) pun terpaksa melakukan tindakan tegas. Bentrok terjadi beberapa kali. Bahkan sempat meletup konflik senjata bak perang kota.
Peristiwa itu terjadi Senin pekan lalu. Selain menggunakan senjata tajam, warga juga melakukan serangan dengan senjata api. Baku tembak terjadi. Kesudahannya, 14 warga sipil dan seorang anggota polisi tewas. Enam polisi cedera. Pada saat itu pula, 26 warga ditangkap, meski sebagian kemudian dilepaskan.
Bentrokan itu pun menuai protes. Ketua Tim Pembela Muslim, Mahendradatta, menuding terjadi pelanggaran hak asasi manusia dan hukum oleh aparat kepolisian. Mereka dinilai berlaku represif dan menolak langkah persuasif. Apalagi, dari sejumlah orang yang ditangkap, sebagian besar hanyalah warga sipil. "Yang masuk DPO hanya dua orang," ujar Mahendradatta. Siapakah para tersangka yang ditangkap polisi itu? "Mereka hanyalah warga sipil," ia menambahkan.
Ustad Ja`far Umar Thalib menuding kelompok Jamaah Islamiyah terlibat dalam aksi bentrok itu. "Sudah jelas ini perbuatan Jamaah Islamiyah," katanya. Mantan Panglima Laskar Jihad ini bahkan menuding kelompok teroris Jamaah Islamiyah (JI) berada di balik aksi-aksi kekerasan di Poso selama ini. Lho, kok bisa?
Tentu, menurut Ja`far Umar Thalib, kelompok sempalan itu sudah lama menjadikan Poso, khususnya daerah Tanah Runtuh, sebagai basis baru gerakan mereka. Pernyataan itu diamini Kepala Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme Kantor Menko Polhukam, Inspektur Jenderal (purnawirawan) Ansyad Mbai. Menurut Ansyad, penegakan hukum atas kelompok penebar teror itu justru menjadi kunci penyelesaian kasus Poso.
Kata alumnus Akpol 1973 itu, agak ganjil jika sekelompok masyarakat menolak mengakui adanya kelompok sempalan yang selalu membawa-bawa nama Islam itu. "Terornya jelas ada, nama Islam juga dibawa-bawa, tapi kita seperti orang sakit, tak berani menyebut JI," Ansyad Mbai menambahkan.
Menurut Ja`far, Poso dinilai strategis sebagai basis JI karena ada sisa kasus kekerasan yang belum tuntas. Padahal, kasus rusuh Poso sebenarnya lebih diwarnai nuansa perebutan kekuasaan. "Tak benar jika dianggap gara-gara ketidakadilan. Ini jelas ada yang menunggangi," ujar pria berdarah Arab yang gemar mengenakan serban itu.
Upaya menunggangi ini, kata Ja`far, kadang justru melecehkan umat Islam. Mereka, menurut Ja`far, tak segan memfatwakan seseorang yang tak sehaluan dengan mereka sebagai kafir. Bahkan mereka tega menghalalkan darah orang yang dituduh kafir itu. "Mudah buat mereka memberikan label jashshos (mata-mata) atau banpol," kata Ja`far kepada Sholla Taufiq dari Gatra.
Karenanya, cara terbaik untuk mengatasi rusuh Poso, menurut Ja`far Umar Thalib, selain penegakan hukum dan keamanan yang tegas, juga perlu pemberantasan atas pemahaman ekstrem. Masyarakat Poso, tutur Ansyad, juga tak berani membeberkan keberadaan JI di wilayahnya. Tak mengherankan jika sepak terjang JI dapat terlindungi dengan aman selama beberapa tahun di Poso. Warga Poso, khususnya warga Gebang Rejo, tak berani buka mulut, bahkan rela disuruh melawan polisi, karena ada ancaman aktivis JI.
Keberadaan aktivis JI terindikasi dengan keterlibatan Ustad Ryan alias Santoso alias Abdul Latif, yang tewas diterjang peluru polisi pada penggerebekan, 11 Januari lalu. Lelaki 37 tahun itu disinyalir sebagai salah satu alumnus Afghanistan angkatan kedua tahun 1987. Ryan juga diketahui masuk sebagai anggota JI wilayah Surakarta. Ia disebut-sebut pernah berhubungan dengan Abu Dujana, pimpinan JI pasca-Hambali.
Indikasi keterlibatan JI makin kuat, menurut Ansyad, setelah polisi berhasil meringkus Mahmud pada 22 Januari lalu. Mahmud diketahui merupakan alumnus Mujahidin angkatan kedelapan tahun 1989, yang di kemudian hari memperkuat barisan JI Mantiqi I. Ia berada di Poso sejak 2001. Begitu pun dengan Yasin yang luka tertembak dan kemudian menyerahkan diri kepada polisi, 22 Januari lalu. Ia anggota JI dari Wakalah Jawa Tengah. "Soal keterlibatan mereka (JI), apa masih kurang jelas?" tanya Ansyad.
Meski tak diketahui pasti sejak kapan mereka terlibat kekerasan di Poso, yang tampak jelas, Poso telah dijadikan basis operasi JI. Dari dokumen yang ditemukan polisi diketahui, struktur JI Poso menjadi sangat vital. Menurut sumber Gatra di kepolisian, Poso dijadikan pusat gerakan Mantiqi III pimpinan Nasir Abas. Gerakan yang dibawa Nasir Abas, Mustofa, dan Hasanuddin ini lantas merembet ke daerah sekitar.
Selain itu, sejumlah pentolan yang dinyatakan sebagai teroris internasional disebut Ansyad pernah beroperasi di Poso. Mereka antara lain Omar al-Faruq, Abu Dardah yang kini jadi buronan teroris Pemerintah Spanyol, dan Parlindungan Siregar.
Dugaan keterlibatan JI di Poso sebenarnya sudah lama teridentifikasi. Delapan tersangka yang terkait jaringan Al-Qaeda dalam kasus teror di Spanyol mengaku, ada 200 hingga 300 milisi yang dilatih secara militer di Poso. Mereka disebutkan digembleng oleh Parlindungan Siregar, yang merupakan salah satu figur penting JI.
Namun klaim ini sulit dibuktikan. Meski Badan Intelijen Negara sempat membenarkan cerita itu, fakta adanya kamp tempat sejumlah orang asing berlatih militer belum juga dapat diungkap.
Hendri Firzani, dan Aslan Laeho (Poso)
[Nasional, Gatra Nomor 12 Beredar Kamis, 31 Januari 2007
No comments:
Post a Comment