Sabtu, 17 Juni 2006.
Perda Antimaksiat Bersifat Umum
Perda antimaksiat hanya pengulangan KUHP.
JAKARTA -- Wakil Presiden, Jusuf Kalla, meminta adanya peraturan daerah (perda) yang mengatur pemberantasan kemaksiatan tidak dipersoalkan. Aturan-aturan itu, kata dia, tidak melanggar peraturan yang lebih tinggi. Perda mencontohkan perda antipelacuran dan pelarangan minuman keras di sejumlah daerah. Perda-perda itu, kata Kalla, tidak melanggar undang-undang maupun hukum di Indonesia. ''Undang-undang di Indonesia memang tidak membolehkan pelacuran dan minuman keras,'' katanya di Jakarta, Jumat (16/6). Perda-perda itupun, kata Kalla, tidak tepat disebut perda syariat. Sebab yang diatur oleh perda-perda itu sifatnya umum. ''Itu hukum umum, bukan syariat,'' jelasnya. Perda-perda yang melarang minuman keras, kata Kalla, sama saja dengan aturan-aturan yang pernah diberlakukan di Amerika, yang melarang peredaran alkohol selama 10 tahun. ''Apa di Amerika berlaku hukum syariat? Kan bukan begitu,'' ujarnya. Soal apakah peraturan-peraturan yang bersifat umum itu dipengaruhi ol!
eh syariat Islam, Kalla mengatakan itu bukan persoalan. Dia menegaskan pengaruh agama bukanlah kesalahan, karena setiap aturan perundangan yang dibuat memang bergantung situasi sebuah negara. Kata Kalla, sejak lama hukum di Indonesia memang dipengaruhi syariat Islam. Contohnya Undang-undang (UU) Haji, UU Zakat, UU Perkawinan, dan hukum waris. Hal yang sama, kata dia, berlaku pula di Filipina yang dipengaruhi ajaran Katolik maupun Eropa. Sementara itu, terjadi perdebatan antarsesama anggota DPR soal perda-perda antimaksiat. Wakil Ketua Fraksi PAN, Patrialis Akbar, mempertanyakan tudingan Ketua Fraksi Partai Damai Sejahtera (PDS), Constant M Ponggawa, bahwa perda-perda antimaksiat itu inkonstitusional. ''Coba jelaskan, pasal mana di UUD kita yang dilanggar perda-perda itu. Jangan memvonis sesuatu sebelum melakukan pengkajian,'' ujar Patrialis pada diskusi dialektika demokrasi di ruang wartawan gedung DPR/MPR, kemarin. Diskusi itu juga dihadiri Dirjen Perundang-undangan Dep!
kum dan HAM, Oka Mahendra, dan anggota Fraksi PPP, Chozin Chum!
aedi. C
onstant hanya terdiam. Padahal, dalam suratnya tertanggal 17 Mei 2006 yang ditujukan kepada pimpinan DPR, dia jelas-jelas menulis,''...Kami meminta dengan hormat kepada pimpinan DPR RI untuk segera menyurati yang terhormat Presiden...agar segera mengambil langkah-langkah guna memperbaiki dan mencabut perda-perda yang inkonstitusional.'' Di belakang surat itu dilampirkan tanda tangan 56 anggota DPR --termasuk Constant-- kepada Wakil Ketua DPR, Soetardjo Soerjogoeritno pada Selasa (13/6). Constant sendiri adalah inisiator pembuatan surat itu. Bahkan nama dan tanda tangan Constant tertera di pengantar surat itu. Patrialis Akbar juga mempertanyakan mengapa perda-perda itu hanya disebut bernuansa syariat Islam. Padahal, kata dia, bila perda-perda itu membawa misi pemberantasan kemaksiatan, itu merupakan ruh semua agama. ''Perda-perda itu jelas menggali nilai-nilai moral,'' tandasnya. Setelah tak bisa menjawab sisi mana dari perda-perda itu yang inkonstitusional, Constant mengat!
akan bahwa perda-perda itu bertentangan dengan prinsip kebangsaan. Dia menolak mencabut protesnya atas perda-perda itu. ''Di masa demokrasi tak usah dicabut. Biarlah kami bersuara,'' kilahnya. Dalam diskusi itu, Patrialis Akbar memang menyarankan penolakan perda antimaksiat itu dicabut, agar tak terjadi kesalahpahaman di tengah masyarakat. ''Sudahlah, sebaiknya tidak usah kita perpanjang,'' katanya. Chozin Chumaedi mengaku heran dalam era demokrasi masih ada orang yang mempersoalkan sebuah produk aturan yang dibuat secara demokratis. Apalagi, kata dia, aturan itu sama sekali tak melanggar Pancasila, UUD 1945, dan NKRI. ''Kok masih ada yang bicara seperti itu,'' sesalnya. Chozin mengingatkan bahwa perda-perda itu muncul karena masyarakat menghendaki. Sebab masyarakat resah terhadap maraknya kemaksiatan. Elite politik di daerah kemudian menangkap aspirasi itu dan terbentuklah perda-perda itu. ''Apa salahnya perda itu,'' katanya. Kalaupun perda-perda itu terinspirasi dari n!
ilai-nilai Islam, Chozin menegaskan itu sama sekali tidak bert!
entangan
dengan dasar negara dan konstitusi. Apalagi, kata dia, Tap MPR No VII/2001 tentang Visi Indonesia 2020, jelas menginginkan terwujudnya masyarakat Indonesia yang religius. Menurut penelisikan Republika, perda-perda tersebut hanya mengatur masalah molimo. Yang terbanyak adalah tentang pemberantasan pelacuran, perjudian, dan peredaran minuman keras. Lainnya adalah perda tentang busana Muslimah dan pengentasan buta huruf Alquran (lihat box). Cabut dukungan Sementara itu, seorang anggota DPR, Anwar Sanusi, keluar dari barisan 56 anggota DPR yang menolak perda antimaksiat. Anggota Fraksi PPP ini mengaku sudah menyampaikan surat penarikan dukungan pada Rabu (14/6), kepada pimpinan DPR dan pimpinan fraksi. Anwar Sanusi menilai penolakan atas perda-perda antimaksiat telah dipolitisasi. Sebab dari semula pengkajian perda, telah berisi penolakan perda. ''Bagaimana kita bisa meminta menolak kalau kita tidak pernah mengkajinya,'' kata Anwar seraya meminta surat itu dicabut saja. Ketu!
a Umum PBNU, KH Hasyim Muzadi, mengatakan isi perda-perda yang diributkan tersebut sesungguhnya telah ada dalam KUHP. Kalaupun ada kesan syariat di perda-perda itu, dia menilai itu hanya simbolik belaka. Sebab substansinya hanyalah pengulangan KUHP. ''Ini bukan semangat substansial, tapi simbolistik. Bahkan cenderung over simbolistik,'' katanya dalam pertemuan dengan para pemimpin redaksi media massa di Jakarta, Kamis malam. Organisasi seperti NU dan Muhammadiyah, kata Muzadi, perlu melakukan pencerahan kepada DPRD. Apalagi, kata dia, secara faktual ketentuan-ketentuan mengenai syariah di tingkat nasional semakin banyak. Sementara itu, di sejumlah daerah, sejak diberlakukannya perda-perda antimaksiat, keamanan dan ketertiban makin terjaga. Kriminalitas mengalami penurunan. Sebagian Perda Itu Sumatra Barat: - Perda Provinsi Sumbar No 11/2001 tentang pemberantasan dan pencegahan maksiat. - Perda Kab Solok No 10/2001 tentang kewajiban membaca Alquran bagi siswa dan penganti!
n. - Perda Kab Solok No 6/2002 tentang pakaian Muslimah. - Per!
da Kab P
adang Pariaman No 2/2004 tentang pencegahan, penindakan, dan pemberantasan maksiat. - Instruksi Wali Kota Padang tanggal 7 Maret 2005 tentang Pemakaian Busana Muslimah. - Perda No 3/2003 tentang wajib baca Alquran di Padang. - Perda di Pasaman Barat tentang aturan berbusana Muslim di sekolah. Sulawesi Selatan: - Perda tentang pendidikan Alquran (provinsi) - Perda No 6/2005 tentang busana Muslimah dan baca tulis Alquran (Enrekang) - Perda tentang busana Muslimah dan penambahan jam pelajaran agama (Gowa) - Perda No 15/2005 tentang pemberantasan buta aksara Alquran (Maros) - Perda tentang busana Muslimah (Sinjai) - Perda tentang busana Muslimah, baca tulis Alquran bagi siswa dan calon pengantin, dan zakat (Bulukumba) - Perda tentang busana Muslimah (Takalar) Jawa Timur: - Perda No 7/2002 tentang larangan praktik prostitusi (Gresik) - Perda No 15/2002 tentang peredaran minuman beralkohol (Gresik) - Perda No 18/2001 tentang peredaran minuman keras (Pamekasan) - No 14/2001 tentan!
g penanganan pelacuran (Jember) Jawa Barat - 10 Februari ada desakan penyusunan perda antimaksiat (Purwakarta). - 28 April menguat desakan penyusunan perda antimaksiat (Depok) - Surat edaran tentang peningkatan kualitas keimanan dan ketakwaan (Tasikmalaya) - Perda No 6/2000 tentang kesusilaan (Garut) - Surat edaran tentang busana Muslimah (Cianjur) Banten Perda No 8/2005 tentang pelarangan pelacuran (Tangerang)
(dwo/djo/uba )
No comments:
Post a Comment