Senin, 21 Mei 2007.
14.600 Jam Menaklukkan Pathet
Meski dunia musik bergerak 'maju' begitu cepat, adalah kebahagiaan bagi Prof Dr Sri Hastanto untuk tetap menekuni karawitan. "Harus ada yang mau berkorban untuk melestarikan karawitan, agar kita tetap punya kebanggaan," kata dia, belum lama ini. Maka, begitu pensiun sebagai Dirjen Nilai Budaya Seni dan Film, Depbudpar RI, Pak Sri --panggilan akrabnya-- pun kembali suntuk dengan musik tradisional Jawa itu. Di sela-sela rutinitasnya mengajar di pascasarjana Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, ahli karawitan yang juga dikenal sebagai koreografer dan komponis musik tradisi itu sesekali tetap ikut menyiapkan pergelaran karawitan untuk berbagai acara. Ia mencipta music score untuk film Mata Hari (1985) yang disutradarai Curtis Harrington. Bagi pria kelahiran Jombang pada 1946 ini, kebanggaan sebagai suatu bangsa tidaklah diukur dari kepiawaian meniru budaya bangsa lain, tetapi dari keteguhan memilih budaya sendiri. Karena itu, kata dia, upaya melestarikan budaya tradi!
si, seperti seni karawitan, sangat penting agar tetap memiliki kebanggaan. "Apa yang dapat kita banggakan ketika berada di tengah kerumunan bangsa-bangsa lain dari berbagai negara? Pendidikan? Kita kalah dengan negara lain. Politik? Kita baru belajar berdemokrasi. Teknologi? Kita masih jauh terbelakang. Dalam olahraga pun prestasi kita cenderung turun. Tinggal kebudayaanlah yang dapat kita banggakan," katanya. Dan, kebanggaan itu akan tetap ada, menurut Sri Hastanto, jika seni-budaya tradisi yang bernilai tinggi tetap terjaga. Karena itulah, ia merasa prihatin ketika melihat budaya tradisi makin ditelantarkan. Lebih-lebih, ketika melihat para seniman musik tradisi ikut-ikutan meninggalkan pakem. "Banyak seniman karawitan yang kini meninggalkan pathet dengan alasan pembaruan," katanya. Padahal, tambah Sri, dengan pathet --konsep dinamik dan harmoni dalam gamelan-- musik karawitan dapat dikemas secara lebih menarik. "Pathet, yang merupakan salah satu konsep musikal dalam kara!
witan, dapat disejajarkan dengan konsep-konsep musikal yang ad!
a dalam
musikologi Barat," kata dia. Sayangnya, menurut ayah lima anak itu, pathet kini juga ditinggalkan oleh para pemusik karawitan sendiri. "Karena itu, perlu ada upaya revitalisasi pathet pada karawitan, agar musik tradisi Jawa ini tetap memiliki pakem atau konsep musikal yang canggih seperti yang telah dirumuskan oleh para perintis musik tradisi Jawa dulu," ujarnya. Parahnya, dalam blantika musik tradisi Jawa tidak banyak lagi musisi yang memahami pathet. Apalagi menguasainya sampai ke detail-detailnya. "Banyak yang beranggapan, mengikuti pathet itu kuno. Ketinggalan zaman," kata Sri. Karena itu, Sri menjadi salah satu sosok yang langka di karawitan. Dengan tekun dan sungguh-sungguh ia berusaha menguasai liku-liku pathet, mempelajari dan bahkan menelitinya sampai tuntas. "Empat tahun penuh saya mempelajari dan meneliti pathet," katanya. Itu artinya, ia mengorbankan waktu selama sekitar 14.600 jam untuk menguasai atau 'menaklukkan' pathet. Selama empat tahun itu ia menyediakan w!
aktu rata-rata 10 jam per hari untuk menyuntuki liku-liku konsep musikal karawitan tersebut. Hasilnya, lulusan S3 Ethno Musikologi University of Durmam, Inggris (1985), ini dikenal sebagai salah satu dari sedikit ahli pathet di Indonesia --bahkan di dunia. Dan, akhir tahun lalu, hampir berbarengan dengan hari pensiunnya sebagai Dirjen, Sri Hastanto dikukuhkan sebagai guru besar (profesor) Etnomusikologi pada ISI Surakarta, dengan pidato pengukuhan berjudul Pathet, Harta Budaya Tradisi Jawa Yang Terlantar. Gara-gara Nilai 5 Obsesi Sri Hastanto untuk meneliti pathet muncul justru karena 'perlakuan tidak adil' dari gurunya saat masih duduk di sekolah menengah kesenian Konservatori Karawitan Indonesia, Surakarta. "Pada suatu hari, di tahun 1964, guru saya menjelaskan teori pathet. Saya merasa teori itu salah," kenangnya. Maka, diam-diam ia menggunakan teori itu untuk menganalisis gendhing (lagu) Perkutut Manggung. "Saya terlonjak gembira, karena dengan analisis itu Perkutut Man!
ggung yang secara tradisional masuk pathet manyura, setelah sa!
ya anali
sis dengan teori pathet dari guru saya hasilnya jadi pathet sanga. Maka, dengan serta-merta saya mengangkat tangan dan mengatakan teori guru saya itu salah sambil menunjukkan hasil analisis saya tadi. Guru saya marah dan teman-teman juga ikut memarahi saya," tuturnya. Sejak saat itu, Sri selalu mendapat nilai merah (5) untuk mata pelajaran Ilmu Karawitan. "Hikmahnya, sejak saat itu saya bertekad untuk mencari kebenaran dengan meneliti pathet sampai tuntas," katanya. Tekad yang diwujudkannya dengan sungguh-sungguh itu pun lantas mengantarkannya sukses sebagai pakar karawitan sekaligus ahli pathet. Karya-karya musik tradisinya, yang dipentaskan di berbagai event penting, diakui apik dan kental warna musik tradisi Jawa yang taat pada pathet. Sebagai pakar pathet yang langka, Sri Hastanto pun banyak diundang menjadi pembicara berbagai seminar di dalam dan di luar negeri. Suatu berkah dari kecintaannya pada budaya tradisi.n ahmadun yh
( )
No comments:
Post a Comment