Cari Berita berita lama

KoranTempo - Seks di Layar Kaca

Kamis, 14 Agustus 2003.
Seks di Layar KacaVeven Sp. WardhanaPengamat Media, Jakarta

KALI ini suara itu datang dari Wakil Presiden Hamzah Haz. Suara itu dilontarkan dalam pidato pembukaan Seminar dan Konsolidasi Badan Eksekutif Mahasiswa Perguruan Tinggi Islam Se-Indonesia di Istana Wakil Presiden, Selasa, 12 Agustus 2003. Sebelumnya, pada tahun lampau, Majelis Ulama Indonesia juga melontarkan suara yang sama, yang diistilahkan sebagai tausyiah atau imbauan. Bulan lalu, Kantor Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan--bersama beberapa lembaga lainnya--juga menyuarakan hal yang sama: mempersoalkan mata tayangan televisi yang dianggap beranasir pornografi dan pornoaksi. Jika dulu MUI sekadar mengimbau, Hamzah Haz justru dengan tegas mengusulkan agar mata acara model-model pornografi dan pornoaksi itu dilarang saja. Alasannya, sebagaimana dikutip beberapa media--termasuk dalam pelbagai pemberitaan radio serta situs detikcom--acara tersebut "merusak moral dan akhlak bangsa".

Dari kasus ini, setidaknya saya catat dua hal. Pertama, berkaitan dengan moral dan akhlak bangsa Indonesia yang rusak. Pertanyaan gampangannya: apakah benar kekacauan moral dan akhlak bangsa ini dikarenakan tayangan yang dianggap pornografi dan pornoaksi itu? Bisakah logikanya dibalik: jika mata tayangan yang dianggap pornografis dan pornoaktif itu dilenyapkan, benarkah moral dan akhlak bangsa Indonesia menjadi suci?

Bagi yang setuju dengan dampak buruk pornografi pastilah bakal memberi contoh konkret kejadian seorang kakek yang memperkosa seorang perempuan--bahkan masih kanak-kanak--setelah kakek tersebut menyaksikan video compact disc Inul Daratista yang menyanyi sembari ngebor. Yang kemudian menjadi pertanyaan-- yang terniatkan untuk membantah premis dampak ngebor Inul Daratista atas kakek memperkosa--adalah berapa kakek harus memperkosa jika benar VCD Inul Daratista menjadi pemicu langsungnya.

Logika ini bersejajar dengan kerap diulang-ulangnya contoh kasus anak kecil yang meloncat dari lantai tinggi gedung bertingkat karena dampak buruk tayangan tentang Superman yang bisa terbang, atau Batman yang bisa bergelayutan dari satu bangunan ke lain bangunan pada seutas tali baja. Padahal, ini logika tandingan dan sandingannya: semua anak-anak yang menyaksikan Superman atau Batman harusnya "terbang" menuju ajal.

Catatan kedua, bagi saya pribadi, penggunaan terminologi pornoaksi itu mengundang tanda tanya. Jika istilah pornografi relatif sudah menjadi taken for granted dan common sense, istilah yang kedua justru masih perlu didiskusikan sebelum kadung tersosialisasikan dan menjadi salah kaprah.

Dalam beberapa kesempatan--setidaknya dalam unjuk wicara Halo Pers Indonesia di TVRI pada 2002--Din Syamsuddin (Sekretaris MUI, yang menjadi salah satu narasumber selain saya) menjelaskan pengertian "pornoaksi" itu, yakni tayangan perbincangan atau teks naratif yang mengeksploitasi persoalan seksualitas dan sensualitas.

Taruh kata yang dimaksudkan dengan istilah pornoaksi itu disepahami, maka sejumlah tayangan yang terkategorikan dalam pornoaksi itu, antara lain Bantal, Kelambu, Angin Malam (semuanya tayangan RCTI), Selimut, Fenomena, Sensual (ketiganya di Trans TV), Jakarta Underground (Lativi), Love & Life (Metro TV), serta beberapa lainnya; sedangkan yang masuk kotak pornografi adalah film-film--seri, serial, maupun yang sekali tayang langsung usai alias MTV: movie for television--yang kostumnya serba tersingkap-singkap macam Baywatch, Baywatch Hawaii, Sex and the City, dan beberapa lagi, termasuk tayangan iklan sebuah produk.

Di luar dua kategori di atas, masih ada satu lagi tayangan yang berkaitan dengan dua term tersebut, yakni tayangan kriminalitas siang hari nyaris di pelbagai stasiun televisi, yang memfokuskan pada (berdasar istilah orang dalam televisi) "jurnalisme darah dan lendir"--darah untuk peristiwa pembunuhan, lendir untuk peristiwa yang berkaitan dengan penggerebekan ke losmen atau tempat yang dianggap maksiat lainnya yang rata-rata merupakan segmen kelas menengah-bawah.

Dengan deretan mata tayangan yang pornografis dan pornoaktif sebagaimana terjajar di atas, benarkah sederetan mata tayangan ini yang benar-benar telah membuat moral dan akhlak bangsa ini amburadul? Harus dilakukan riset yang sesejatinya untuk menemukan hubungan langsung antara tayangan televisi--atau pemuatan media umumnya--dan bangkrutnya moral dan akhlak bangsa Indonesia.

Saya tak hendak membela sejumlah mata tayangan "pornografi" di layar televisi itu. Sex and the City (Trans TV), hanya judulnya yang dahsyat; isinya justru menyindir pelbagai perilaku seks bebas, termasuk pemahaman terhadap laku lesbian. Baywatch (juga Baywatch Hawaii) yang berlokasi di pantai, sangat muskil menampilkan kostum serba rapat, dan moral yang tersampaikan justru perihal kesetiakawanan, sportivitas, pengorbanan jiwa sendiri atas orang lain, kekompakan, dan seterusnya--yang sama sekali bukan untuk mengeksploitasi lekak-lekuk sensualitas tubuh. Bahkan kalau pada umumnya film terdapat adegan hubungan intim, masing-masing stasiun sudah mengeditnya dengan cara mengganti dan menimpanya dengan visualisasi lain, seolah itu scene yang didapatkan dari stock shot.

Sekali lagi, saya tak hendak membela mata tayangan televisi nan "pornoaktif" itu. Pilihan jam tayang yang malam hari, relatif mengindikasikan bahwa stasiun televisi bersangkutan sudah menyeleksi segmentasi penontonnya: bukan anak-anak, bukan remaja, bukan keluarga. Bahwa fenomena yang diangkat dalam sederet mata tayangan "pornoaksi" itu cenderung hanya ada di kota besar, bahkan semata metropolitan, bukan kota kabupaten, apalagi kota kecamatan, barangkali kali ini menjadi sangat relevan segera dirumuskannya mana yang bisa siaran berjangkauan nasional, mana pula yang sebatas lokal tanpa membuat yang nun jauh dari kota besar tetap mendapat haknya dalam kerangka demokratisasi informasi, minus diskriminasi informasi. Atau siapa tahu justru dengan kasus ini Indonesia terbukti membutuhkan TV-pay alias televisi berlangganan atawa televisi kabel yang sangat privat itu.

Salah satu ketidakmembelaannya saya atas tayangan "pornoaksi" adalah sebuah kritik: niat awal atau niyat ingsun atau visi dan misi tayangan ini belum tegas benar. Apakah sekadar memberi tahu kepada publik bahwa ada kehidupan "ajaib" dan underground macam yang termunculkan--sebagaimana kerap disampaikan pihak broadcaster--ataukah diniatkan untuk mencari kemungkinan obat bagi patologi sosial atau apa.... Celetukan presenternya--misalnya: "Jangan-jangan lu langganan gua..."--yang kerap dilontarkan itu justru mempertegas bahwa kehidupan underground itu memang sangat terbatas, karena itu mestinya ya terbatas "diisolasi" pula penayangannya. Tak jarang, presenternya sendiri terkaget-kaget dan kikuk dengan topik serta pengakuan narasumbernya yang ada di hadapan mereka--dan disiarkan secara langsung, yang sangat susah untuk diedit--dan itu kian mempertegas ketidaktegasan niyat ingsun mata tayangan bersangkutan.

No comments:

Post a Comment