Cari Berita berita lama

KoranTempo - Amendemen UU Kepailitan

Jumat, 30 April 2004.
Amendemen UU KepailitanKeputusan pailit perusahaan asuransi PT Prudential Life Assurance memiliki dua dampak: kredibilitas hukum niaga di Indonesia dan kerugian publik Indonesia karena harus menanggung utang perusahaan itu kepada nasabahnya. Pemerintah dan aparat hukum Indonesia perlu menjamin agar kasus seperti ini tidak terjadi, baik sekarang maupun di masa mendatang.

Dari segi prosedur hukum, para hakim mungkin telah memutuskan perkara Prudential itu dengan benar. Menurut undang-undang, sebuah perusahaan bisa digugat pailit oleh satu atau dua pihak yang bisa membuktikan perusahaan itu tidak membayar kewajiban, dividen, atau utang. Itulah yang terjadi pada Prudential. Perusahaan itu digugat oleh tiga orang pengutang.

Namun, bahkan jika benar dari segi hukum, keputusan itu mengusik rasa keadilan dan nalar sehat. Nilai utang yang diperkarakan hanya Rp 1,8 miliar. Padahal, Prudential Life adalah perusahaan besar yang sehat dari segi keuangan. Perusahaan itu menginduk kepada Prudential Plc., sebuah perusahaan jasa keuangan terkemuka asal Inggris, dan dengan pengalaman internasional lebih dari 155 tahun, yang mengelola dana sekitar US$ 300 miliar (Rp 2.550 triliun). Bagaimana mungkin sebuah perusahaan yang sangat solvent dipailitkan?

Bisa dipahami jika pemerintah Inggris berteriak. Perdana Menteri Inggris Tony Blair bahkan kabarnya harus ikut turun tangan dengan segera mengontak Presiden Megawati Soekarnoputri. Dengan kata lain, kasus ini mirip pemailitan PT Asuransi Jiwa Manulife Indonesia, unit usaha Manulife Financial Corp, pada 2002, yang juga memancing protes dari pemerintah dan investor Kanada.

Tidak semua suara pemerintah dan investor asing perlu didengar. Namun, dalam hal ini sikap pemerintah Inggris maupun Kanada perlu menjadi bahan pemerintah serta aparat hukum Indonesia untuk mencegah hal serupa terjadi.

Langkah pertama yang harus dilakukan adalah segera mengamendemen undang-undang itu. Undang-undang niaga yang baik adalah yang bisa mempromosikan praktek usaha secara sehat, bukan menjadi alat untuk membunuh perusahaan tanpa dasar yang sahih.

Langkah lain adalah membenahi personel hukum kita. Salah satu kerusakan hukum kita adalah kuatnya derajat korupsi di lingkungan hakim, jaksa, polisi, dan pengacara. Korupsi itulah yang sering membuat hukum hanya permainan kata-kata, tapi mengabaikan realitas sosial dan rasa keadilan.

Dalam kasus Prudential, para hakim tampak mengabaikan aspek nonhukum. Seperti diketahui, perusahaan asuransi memiliki bidang usaha yang khas dan sensitif. Para pemegang polis sangat tergantung pada santunan yang mereka perlukan secara mendesak: kebutuhan pengobatan dan perawatan yang kadang menentukan hidup-mati.

Para hakim juga tidak menimbang dampak kasus ini terhadap publik yang lebih luas. Jika perusahaan asuransi itu ditutup, pemerintahlah yang harus menalangi pembayaran santunan, setidaknya secara sementara. Di tengah kemiskinan dan langkanya anggaran pemerintah, dana talangan itu, betapapun kecilnya, jelas merugikan rakyat.

Seperti disimbolkan oleh "Dewi Keadilan" yang matanya tertutup, para hakim memang harus bersikap adil tanpa pandang bulu, tetapi tidak semestinya buta terhadap realitas dan problem sosial di luar ruang pengadilan.

No comments:

Post a Comment