Selasa, 29 April 2003.
Pemerintah, Belajarlah dari SejarahSyamsuddin HarisPENELITI SENIOR PUSAT PENELITIAN POLITIK LIPI
Pemerintah Indonesia akhirnya membatalkan rencana sidang Dewan Bersama (Joint Council) setelah Gerakan Aceh Merdeka (GAM), melalui The Henry Dunant Center (HDC), meminta pengunduran waktu dua hari dari kesepakatan semula pada 25 April 2003. Pada mulanya pertemuan forum Dewan Bersama di Jenewa, Swiss, yang difasilitasi oleh HDC, itu diharapkan dapat melanjutkan semangat perdamaian Kesepakatan Penghentian Permusuhan yang telah ditandatangani pada 9 Desember 2003 antara RI dan GAM di tempat yang sama. Dengan pembatalan itu, rencana penyelesaian kasus Aceh melalui operasi militer tampaknya segera menjadi kenyataan di Serambi Mekkah.
Ketidakseriusan GAM merespons pertemuan JC memang patut disesalkan, begitu pula kegagalan HDC membujuk GAM hadir dalam pertemuan sesuai dengan jadwal waktu yang telah disepakati. Bisa jadi GAM memang sengaja mengulur-ulur waktu pertemuan, sehingga seolah-olah "bola" penyelesaian konflik berada di tangan mereka, dan di pihak lain HDC selaku fasilitator terperangkap pada agenda tersembunyi dari GAM.
"Harga" perjanjian damai
Namun, di luar penyesalan itu, sesungguhnya kita patut menyesalkan pula ketidakseriusan pemerintah, pusat dan daerah, dalam penyelesaian kasus Aceh, baik sebelum 9 Desember 2003 maupun pascakesepakatan damai di Jenewa tersebut. Persoalannya, fakta lapangan di Aceh memperlihatkan dengan jelas bahwa pemerintah tidak bekerja sungguh-sungguh merebut hati rakyat Aceh, baik selama rentang waktu sejak pencabutan pemberlakuan Aceh sebagai daerah operasi militer (DOM) pada 1998 hingga 9 Desember 2003, maupun sejak perjanjian dengan GAM ditandatangani menjelang akhir tahun lalu.
Seperti diketahui, perjanjian atau kesepakatan Jenewa pada dasarnya merupakan produk dari pilihan pendekatan dialog yang diambil oleh pemerintahan Abdurrahman Wahid setelah muncul tuntutan referendum atas penyelesaian kasus Aceh. Harga atau biaya politik dari pilihan pendekatan dialog yang bermuara di Jenewa itu memang tak ternilai.
Pertama, pemerintah RI yang seharusnya menumpas setiap gerakan separatis, apa boleh buat, mesti duduk secara setara dengan GAM di meja perundingan. Kedua, diakui atau tidak, melalui perundingan dengan GAM, pemerintah otomatis memperlakukan GAM sebagai wakil atau representasi rakyat Aceh. Ketiga, aspirasi "merdeka" dari GAM seolah-olah merupakan keinginan mayoritas rakyat Aceh.
Karena itu, sejak masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, kalangan militer (TNI) sebenarnya sangat kecewa dengan pilihan pendekatan dialog dengan GAM. Namun, karena hal itu merupakan keputusan politik otoritas pemerintah sipil yang kemudian dilanjutkan oleh Presiden Megawati, tak ada pilihan lain bagi TNI kecuali mendukungnya secara formal. Tentara yang sedang menghadapi tuntutan reposisi peran mereka pasca-Orde Baru tak bisa lain kecuali harus mengantarkan pemerintah ke meja perundingan dengan GAM.
Di sisi lain, pemerintah pusat menganggap bahwa dengan memberikan otonomi khusus melalui Undang-Undang Nanggroe Aceh Darussalam persoalan Aceh telah selesai. Dan seolah-olah pula, melalui kesepakatan damai dengan GAM di Jenewa lima bulan yang lalu, gerakan separatis itu telah menerima UU NAD dalam kerangka Negara Kesatuan RI.
Politik 'suvenir'
Dalam suatu lokakarya mencari solusi penyelesaian kasus Aceh, pekan lalu di Jakarta, beberapa tokoh Aceh mengungkapkan bagaimana NAD, setidaknya untuk saat ini, hanya menjadi wadah bagi para pejabat pemerintah daerah dan anggota DPRD untuk memperkaya diri. Sementara itu, penderitaan rakyat Aceh, ketidakadilan, dan luka akibat tekanan GAM di satu pihak dan represi militer di pihak lain, tak pernah disembuhkan.
Dalam bahasa aktivis Kontras, Munir, UU NAD adalah contoh terbaru dari pendekatan "politik suvenir" yang dilakukan pemerintah pusat, seperti juga yang dilakukan terhadap Papua (Irian Jaya). Sebagai suatu "suvenir", pemerintah pusat berharap dapat membahagiakan rakyat Aceh atau rakyat Papua hanya dengan menerbitkan UU Otonomi Khusus.
Pemerintah pusat memandang bahwa hati rakyat Aceh bisa direbut dengan memberikan otonomi khusus melalui UU NAD tanpa kontrol, supervisi, dan evaluasi, apakah implementasi UU itu benar-benar dinikmati rakyat Tanah Rencong atau tidak. Dalam realitasnya, dana "bagi hasil" gas alam dan minyak bumi serta dana alokasi umum (DAU) yang melimpah di Aceh setelah era NAD, tak pernah dinikmati rakyat Serambi Mekkah. Sebagian dana itu justru diserap oleh sejumlah proyek mercusuar yang tak bersentuhan langsung dengan kebutuhan rakyat Aceh. Sementara itu, sebagian yang lain tampaknya menjadi lahan korupsi para elite politik lokal yang tak pernah peka dan peduli terhadap penderitaan rakyatnya sendiri.
Kenyataan seperti inilah yang tak pernah disadari oleh pemerintah pusat. Yang sering muncul dari mulut pejabat pemerintah justru adalah pernyataan klise: "sudah diberi otonomi khusus melalui NAD, kok masih berontak". Dilupakan fakta lapangan bahwa pemberlakuan NAD tidak pernah dinikmati rakyat Aceh. Juga tampaknya diabaikan kecenderungan pada umumnya elite politik kita, baik di tingkat nasional, di Aceh, maupun di daerah-daerah lain, yang mengangkangi dan mengatasnamakan kepentingan rakyat yang tak pernah benar-benar diurusnya. Dalam konteks Aceh realitasnya lebih buruk karena kegagalan pemerintah merebut hati rakyat itulah yang kemudian dimanfaatkan oleh GAM dengan agendanya sendiri.
Pada akhirnya pendekatan politik "suvenir" terhadap Aceh menjadi perangkap bagi pemerintah sendiri. Pemerintah bukan hanya gagal mengontrol aparat sipilnya, melainkan juga harus tunduk pada skenario tentara yang sejak awal memang lebih menghendaki penyelesaian secara militer.
Pemerintah tidak bekerja
Pertanyaannya kemudian, apa yang diurus oleh elite pemerintah dan parlemen, di pusat dan daerah? Sebagaimana yang secara telanjang bisa kita lihat, para politikus partai di dalam pemerintah dan lembaga perwakilan memang hanya sibuk mengurus diri mereka sendiri. Ada dua cabang urusan itu. Pertama, korupsi dalam rangka memperkaya diri. Kedua, "mengakali" peraturan perundangan agar mereka tetap dapat berkuasa kembali--dalam rangka korupsi pula--pada Pemilu 2004 mendatang. Akibatnya, cara pandang tentang Aceh serta penyelesaian konflik di Serambi Mekkah hampir selalu bertolak dari dan berorientasi pada kepentingan dangkal para politikus partai di Jakarta dan Banda Aceh.
Konteks korupsi barangkali tak perlu dijelaskan lagi karena sangat terang-benderang di hampir semua tingkat pemerintahan. Sementara itu, kecenderungan "mengakali" aturan perundangan tampak pula di berbagai tingkatan pemerintahan. Di tingkat nasional, para politikus partai besar di DPR misalnya, berusaha mengakali sejumlah RUU bidang politik, termasuk UU Pemilu dan UU Pemilihan Presiden, agar bisa "mengamankan" kepentingan partai mereka dalam Pemilu 2004. Di daerah-daerah, elite politik daerah memanfaatkan "kelonggaran" UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, sehingga berbagai peraturan daerah, terutama tentang APBD, disalahgunakan dalam rangka mark-up anggaran untuk kepentingan mereka sendiri.
Kesibukan-kesibukan semacam itulah yang dilakukan pemerintah pusat dan juga pemerintah daerah Aceh, baik sebelum maupun sesudah penandatanganan Kesepakatan Jenewa. Kesibukan para pejabat yang tidak berkaitan dengan kepentingan rakyat itu kemudian dimanfaatkan oleh GAM.
Seperti didiskusikan dalam lokakarya di atas, pemerintah tidak pernah "hadir" di tengah masyarakat Aceh. Yang justru rajin "hadir" di tengah masyarakat Aceh, termasuk dalam rangka sosialisasi Kesepakatan Jenewa, adalah GAM. Ironisnya, konon, sang Gubernur Aceh sendiri lebih banyak berada di Jakarta ketimbang di dekat rakyatnya yang terjepit antara GAM dan operasi TNI. Tidak mengherankan jika dalam masa damai pascaperjanjian Jenewa, GAM justru melakukan konsolidasi kekuatan, memanfaatkan kekosongan kekuasaan akibat "kebodohan" pemerintah kita sendiri.
Pemerintah, pusat dan daerah, yang tidak pernah bekerja dan "hadir" di tengah masyarakat Aceh, adalah faktor terpenting di balik kegagalan pendekatan dialog dalam penyelesaian kasus Aceh. Jadi, kalau pemerintah akhirnya memutuskan operasi militer dalam penyelesaian kasus Aceh, hal itu merupakan refleksi dari kegagalan dan "kebodohan" pemerintah sendiri.
Makin hilangnya kepercayaan rakyat Aceh terhadap Jakarta, dan berlarut-larutnya penyelesaian kasus Aceh, adalah harga yang harus dibayar bangsa ini dari "kebodohan" itu. Toh, kita semua belajar dari sejarah, tak ada penyelesaian dalam sebuah operasi militer kecuali lolongan kematian, darah, dan air mata mereka yang kehilangan anggota keluarganya dilindas mesin perang.
No comments:
Post a Comment