Minggu, 7 Juli 2002.
Teori Konspirasi di Lidah TommyJakarta, 7 Juli 2002 22:03WAJAH Komisaris Polisi Aris Munandar tampak kecewa. Kepala Unit Serse Perbankan Kepolisian Daerah (Polda) Metro Jaya itu keluar dari Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cipinang, Jakarta Timur, dengan tangan hampa. Rencananya untuk memeriksa Hutomo Mandala Putra, alias Tommy Soeharto, salah seorang tahanan, Kamis pekan lalu, gagal terlaksana. Padahal, sejak pukul 11, Aris Munandar ditemani lima anggota timnya telah tiba di LP itu.
Dua jam kemudian, kepada para wartawan yang telah menunggunya di luar LP, Aris Munandar mengemukakan kegagalannya. "Pemeriksaan akan diteruskan setelah surat izin dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat turun," katanya. Rupanya, tidak adanya izin itulah yang menyebabkan Aris Munandar dan timnya gagal menjumpai Tommy Soeharto. Izin khusus dibutuhkan karena Tommy Soeharto adalah tahanan titipan majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat.
"Kalau mereka membawa surat izin, silakan saja memeriksa Tommy kapan saja," kata Ngusman, Kepala LP Cipinang, yang menolak mempertemukan tim Aris Munandar dengan Tommy. Tak hanya mengecewakan Aris Munandar, kegagalan pemeriksaan hari itu jelas juga mengecewakan banyak pihak. Sebab, Aris Munandar tak datang semata karena jabatannya sebagai kepala unit serse perbankan, melainkan sebagai kepala tim khusus yang akan memeriksa pernyataan menghebohkan Tommy Soeharto di pengadilan.
Dalam persidangan yang mengadilinya sebagai terdakwa kasus kepemilikan senjata api, bahan peledak, dan pembunuhan berencana Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita, Tommy Soeharto mengaku bahwa selama buron sekitar satu tahun, ia bisa menginap di rumahnya sendiri di Jalan Cendana, Jakarta, tanpa khawatir ditangkap. "Karena ada koordinasi dengan aparat," kata Tommy sambil tersenyum.
Pernyataan Tommy ini langsung menyulut kehebohan. Sebagian kalangan yakin apa yang diungkapkan Tommy adalah kebenaran. "Saya percaya," kata Bambang Widjojanto, mantan Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Munir, mantan koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), juga percaya apa yang diungkapkan Tommy itu benar. "Selama pelariannya ada banyak kejanggalan yang mengundang tanda tanya," kata Munir.
Malah, Munir juga menduga bahwa proses penangkapan Tommy pun sebenarnya merupakan hasil rekayasa yang telah dirancang matang. "Padahal, masyarakat juga tahu, itu permainan polisi," katanya. Ia menilai sekarang Tommy membuka hal itu karena merasa kepalang basah. "Daripada sendirian menjadi korban, mending dia gigit semua yang terlibat," kata Munir kepada wartawan Gatra Zainal Dalle.
Pernyataan Tommy memang tak boleh dibiarkan berlalu begitu saja. Bambang Widjojanto, misalnya, mendesak agar pernyataan Tommy segera dibuktikan. "Adalah tugas polisi untuk mengusutnya," kata Bambang kepada Endang Sukendar dari Gatra.
Tapi, kegagalan tim Aris Munandar memeriksa Tommy, Kamis lalu, menunjukkan bahwa upaya membuka rahasia di balik pernyataan Tommy itu bakal tak mudah dan makan waktu. Apalagi, kegagalan tim itu memeriksa Tommy menunjukkan kualitas pekerjaan polisi yang terlihat gegabah. Aris Munandar memang mengatakan bahwa permohonan izin untuk memeriksa Tommy telah diajukan ke PN Jakarta Pusat sebelum timnya datang ke LP Cipinang. Tapi, pihak PN Jakarta Pusat menyebut surat permohonan itu baru diterima Kamis siang itu juga.
Apa pun, keraguan masyarakat kepada polisi memang boleh jadi meningkat setelah pengakuan Tommy di depan persidangan. Pertanyaan demi pertanyaan muncul. Kalau pengakuan Tommy benar, siapa saja yang terlibat? Apakah cuma polisi bawahan? Atau malah para perwira tinggi dan jenderal-jenderal polisi? Jika dalam status buron Tommy bisa bergerak bebas ke mana saja, termasuk kawasan Cendana yang dikepung rapat, bagaimana itu bisa dilakukan tanpa kerja sama dengan begitu banyak aparat kepolisian?
Kecurigaan pun kemudian tertuju kepada berbagai tim yang dibentuk kepolisian untuk membekuk Tommy. Sejak Tommy buron, Markas Besar Polri dan Polda Metro Jaya memang telah berulang kali membentuk tim untuk menangkap Tommy. Namun hampir semua tim itu gagal. Selain tim-tim itu, petinggi-petinggi kepolisian yang menjabat selama Tommy buron juga disebut-sebut mungkin saja bekerja sama dengan Tommy.
Tapi, tak hanya di masyarakat umum kecurigaan-kecurigaan itu muncul. Penelusuran Gatra di Mabes Polri, misalnya, menemukan bahwa pernyataan Tommy mengenai kerja samanya dengan aparat telah menumbuhkan kecurigaan di kalangan polisi sendiri. Beberapa teori konspirasi pun muncul. Seorang perwira, sumber Gatra di Mabes Polri, mengemukakan teori bahwa berbagai tim yang ditugasi membekuk Tommy selalu gagal karena ada petinggi Polri yang melindunginya.
Teori konspirasi versi perwira Mabes ini tak tanggung-tanggung. Nama mantan Kapolri Jenderal Polisi Suroyo Bimantoro dan mantan Wakil Kapolda Metro Jaya Brigadir Jenderal (Brigjen) Makbul Padmanegara --kini Kapolda Metro dengan pangkat inspektur jenderal (irjen)-- ia sebut-sebut sebagai sosok di balik sulitnya menangkap Tommy.
Alasannya sederhana, sebelum terbunuhnya Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita, Tommy selalu lolos dari sergapan petugas. Dan setiap kali penggerebekan yang hasilnya nihil itu dilakukan, Makbul yang memimpinnya.
Bimantoro disebut-sebut dalam teori konspirasi ini karena Makbul diketahui selalu melapor langsung padanya. Menurut perwira Mabes Polri ini, Bimantoro juga beberapa kali bertemu dengan keluarga Cendana dan para pengacara Tommy. Dalam teorinya, sikap Bimantoro berubah ketika terjadi kasus pembunuhan Hakim Agung Syafiuddin, Juli 2001. Pembunuhan yang diduga dilakukan Tommy ini membuat Bimantoro mencak-mencak dan enggan memberi toleransi lagi.
Bimantoro sempat meminta Tommy menyerahkan diri. Namun, setelah ditunggu-tunggu, Tommy tidak muncul juga. Menurut skenario yang dikemukakan perwira Mabes Polri, yang diperkuat sejumlah perwira lain secara terpisah, keterlibatan Bimantoro juga terbukti karena Tommy berhasil ditangkap hanya sehari sebelum ia digantikan oleh Dai Bachtiar sebagai Kapolri. Penangkapan ini dilakukan Bimantoro karena kecewa ia tak dipertahankan sebagai Kapolri oleh Presiden Megawati.
Konon, menurut versi ini, pada saat penangkapan, semua pengawal yang sebelumnya selalu melindungi Tommy sudah diperintahkan keluar. Tak mengherankan jika ketika tim penyergap masuk, Tommy sendirian saja, cuma ditemani pemilik rumah dan anaknya. Dua puluh lima orang anggota Tim Cobra --yang sukses menggerebek Tommy-- dinaikkan pangkatnya satu tingkat sehari setelah tertangkapnya Tommy. Kapolda Sofjan Jacoeb dan Wakapolda Makbul Padmanegara juga mendapat promosi satu tingkat.
Tapi, bau rekayasa dalam peristiwa penangkapan ini kabarnya membuat Kapolri yang baru, Jenderal Polisi Dai Bachtiar, kesal. Itulah, mengapa beberapa orang dari tim yang sukses itu "dibuang" ke jabatan baru yang walau lebih tinggi tapi sebenarnya jauh lebih tak prestisius. Seperti Tito Karnavian, komandan Tim Cobra, yang dimutasi cuma menjadi Kepala Bagian Serse Tipiter (Tindak Pidana Tertentu) Polda Sulawesi Selatan.
Sepintas, teori konspirasi ini kelihatan cukup logis. Tetapi, ini ternyata bukan satu-satunya teori konspirasi yang ditemukan dalam penelusuran Gatra. Teori lain menyebut nama Alex Bambang Riatmodjo, salah satu perwira paling cemerlang di kepolisian, sebagai sosok yang dicurigai melakukan konspirasi dengan Tommy Soeharto.
Alex Bambang adalah salah satu dari tim lima yang dibentuk Mabes Polri khusus untuk menangkap Tommy. Ketika dibentuk, tim lima terdiri dari jagoan-jagoan reserse yang dimiliki Mabes Polri. Tim ini diketuai Inspektur Jenderal Engkusman Hilep, ketika itu Komandan Korps Reserse Mabes Polri. Sedangkan anggotanya adalah Wakil Kapolda Jawa Timur Brigjen Edi Darnadi, Kepala Direktorat Pidana Umum Mabes Polri Brigjen Alex Bambang Riatmodjo, Kepala Direktorat Serse Polda Metro Jaya Komisaris Besar Harry Montolalu, dan terakhir Komisaris Besar Gories Mere.
Tim lima ini belakangan dibubarkan. Gagalnya reserse-reserse jagoan menemukan Tommy jelas membuahkan kecurigaan adanya figur-figur yang terlibat konspirasi. Semua anggota tim lima ini tentu bisa di curigai. Tetapi, Alex Bambang ada di urutan teratas karena dia --yang prestasi sebelumnya selalu mencorong-- pada 9 Februari 2001, dua setengah bulan setelah tim lima terbentuk, malah dimutasi dari jabatannya sebagai Direktur Pidana Umum Korps Reserse Polri. Jabatan barunya pun tak terlalu bergengsi: Staf Ahli Kapolri Bidang Sosial Budaya. Teori ini mencurigai bahwa Bimantoro merotasi Alex Bambang karena dugaan berkonspirasi itu.
Irjen Polisi Mulyono Sulaiman, mantan Kapolda Metro Jaya sebelum Sofjan Jacoeb, juga muncul sebagai tertuding dalam teori yang lain. Mulyono dianggap tak tegas menguber Tommy. Sofjan Jacoeb pun muncul dalam daftar kecurigaan, sebab walau terlihat sangat keras menginginkan Tommy, ia justru memeluk Tommy ketika buron itu tertangkap. Begitulah, pernyataan Tommy di depan persidangan tampaknya menumbuhkan begitu banyak tudingan dan teori konspirasi. Toh tak ada satu teori pun yang cukup punya bukti.
Bisa jadi, memang tak ada satu pun teori konspirasi itu yang benar. Sebab, beberapa fakta serba bertolak belakang. Kapolri Bimantoro, misalnya, bisa menjadi tertuding di satu teori, tapi jadi figur antikonspirasi di teori yang lain. Tuduhan terhadap Makbul Padmanegara juga dianggap mustahil oleh Komisaris Besar Polisi Anton Bachrul Alam, Kadispen Polda Metro Jaya. "Tidak mungkin kapolda terlibat dalam kasus ini," katanya. Makbul sendiri tak bisa dimintai komentar karena tengah umroh ke Tanah Suci.
Mulyono Sulaiman juga membantah jika laporan-laporan langsung Makbul Padmanegara, ketika itu Wakil Kapolda Metro, ke Bimantoro bisa dijadikan indikasi adanya konspirasi. Menurut Mulyono, Makbul sama sekali tak mengabaikan dirinya yang kapolda. "Wajar Makbul melapor langsung. Kapolri kan pimpinan. Dia perlu tahu, dan setiap tindakan memang perlu dikoordinasikan dengan markas besar," katanya. Adapun soal tudingan bahwa semasa kepemimpinannya, Polda Metro Jaya lebih lembek dalam menguber Tommy, Mulyono Sulaiman membantah keras.
"Kami sangat serius kok mencari Tommy. Sampai ke Bandung pun anak buah saya terus mengejar," kata Mulyono Sulaiman. Alex Bambang Riatmodjo juga membantah semua tuduhan terhadapnya. "Saya tak melacurkan diri untuk berkolusi. Saya bertanggung jawab pada Tuhan," katanya. Menurut Alex, bagaimana dia bisa melindungi Tommy di Cendana jika dalam Tim Lima kewenangannya justru untuk wilayah Jawa tetapi di luar Jakarta.
Boleh jadi, teori-teori dan dugaan konspirasi yang selama ini beredar memang tak seluruhnya menggambarkan kebenaran. Tetapi dalam banyak hal, perburuan dan penangkapan Tommy masih menyisakan banyak sekali pertanyaan. Temuan Gatra, misalnya, memperlihatkan bahwa Tim Lima sebenarnya sudah jauh-jauh hari punya informasi bahwa Tommy pernah ada di rumah di Jalan Alam Segar, Pondok Indah, Jakarta, dan di Apartemen Cemara. Entah mengapa, baru beberapa bulan setelah Tim Lima bubar, apartemen dan rumah di Jalan Alam Segar itu digerebek.
Polisi menemukan Dodi Harjito ketika menggerebek rumah di Jalan Alam Segar, dan Hetty Siti Hartika di Apartemen Cemara. Kedua orang inilah yang belakangan menjadi kunci terbongkarnya kasus pembunuhan Hakim Agung Syaifuddin Kartasasmita. Tapi, tak hanya kelambatan penggerebekan itu yang menimbulkan tanda tanya. Ketika reserse-reserse di bawah komando Tim Lima mulai mengamati rumah di Jalan Alam Segar, mereka juga heran melihat pengawalan yang sangat ketat sejumlah pasukan berseragam --ataupun sekumpulan sipil berperawakan militer-- terhadap rumah itu.
Sentilan Tommy Soeharto bahwa selama buron ia berkoordinasi dengan aparat keamanan tampaknya telah membuat masyarakat sekali lagi meletakkan tanda tanya besar terhadap kinerja kepolisian. Kapolri Jenderal Polisi Da�i Bachtiar boleh saja memberi deadline satu bulan kepada Kapolda Metro Jaya Makbul Padmanegara untuk membongkar kasus pengakuan Tommy yang mencoreng muka kepolisian ini. Da'i juga boleh berjanji tak akan ragu memeriksa semua tim pemburu Tommy.
Bahkan Tommy juga boleh saja tiba-tiba "mencabut" kembali pernyataannya yang menghebohkan itu untuk meredakan kehebohan ini. Tapi, masyarakat tampaknya telah telanjur percaya bahwa memang ada konspirasi antara Tommy dan tokoh kunci di kepolisian. Maka, tanpa membongkar tuntas kasus ini, kepolisian sulit berharap citranya di mata publik bisa berkilau kembali.
[Krisnadi Yuliawan, Sigit Indra, M. Agung Riyadi, dan Hendri Firzani]
[Laporan Utama, GATRA Nomor 34 beredar Senin 8 Juli 2002]
No comments:
Post a Comment