Cari Berita berita lama

Republika - Potret Keseharian Anak Panti

Senin, 25 Juni 2007.

Potret Keseharian Anak Panti






Menjadi anak panti tak membuat mereka galau. Mereka justru bisa berkarya dan dipamerkan di Jakarta 13-22 Juni 2007.





Bagaimana rasanya tinggal di panti asuhan? Sedih, tentu ada. ''Biarpun begitu, kami bahagia,'' ujar Mursida yang kini menghuni panti asuhan di Pidie, Aceh. Di malam hari, sesekali Mursida teringat Peureulak, kampung halamannya. Ia ingin sekali kembali merasakan kehangatan keluarganya. ''Tapi, tak mungkin sering pulang. Ongkosnya Rp 100 ribu sekali jalan. Perjalanannya enam jam dari Pidie. Penat duduk,'' kata Mursida berbagi kisah. Meski butiran air mata kerap sulit dibendung, hari-hari Mursida lebih banyak dihiasi gelak tawa. Gadis berkerudung ini menjalani aktivitas yang sama padatnya dengan teman-teman belia. ''Pulang sekolah, saya langsung pergi les. Selesainya pukul lima sore,'' ujar Mursida yang bercita-cita menjadi dokter. Di waktu senggangnya, Mursida gemar menonton basket. Tiap kali pertandingan basket NBA disiarkan televisi, ia tak rela melewatkannya. ''Saya ingin sekali bisa piawai main basket,'' katanya. Mursida belakangan mempunyai hobi baru, fotografi. Ia !
dan 59 anak panti asuhan dari Pidie, Banda Aceh, dan Lhokseumawe, baru saja menguasai teknik dasar fotografi. Organisasi berbasis hak anak, Save the Children, mengajak mereka mengikuti workshop fotografi. ''Foto hasil jepretan kami telah dipamerkan di Banda Aceh dan Jakarta,'' ucap Mursida dengan senyum mengembang. Ada 60 anak yang karya fotografinya dipamerkan. Foto-foto yang dipamerkan mencoba menggambarkan kehidupan keseharian anak-anak panti asuhan. Zulfan --juga dari Pidie-- memotret kegiatan rutin teman-temannya di panti. ''Seperti saat mereka mengaji, shalat berjamaah, makan, mandi, dan istirahat,'' ujarnya. Menjadi fotografer pemula, hati Zulfan riang. Kini, ia tahu bagaimana cara memasukkan baterai, film, dan teknik memotret. ''Foto yang bagus adalah foto yang mengabadikan objek secara spontan. Artinya, objeknya tak sadar kamera,'' urai Zulfan yang ingin menjadi tokoh masyarakat. Pindah ke panti Mengapa tinggal di panti? Rupanya, Zulfan sendiri yang meminta kepada!
ibunya agar dapat menjadi anak panti. ''Saya ingin bisa menga!
ji dan h
idup lebih baik. Dengar-dengar, hidup di panti enak. Tak perlu risau biaya sekolah,'' kata Zulfan yang tak lagi memiliki ayah. Ide pindah ke panti asuhan tidak datang dari diri Nurul Hayati. Gadis kelahiran 1 Juli 1993 ini awalnya merasa terpaksa. ''Saya kehilangan ibu sewaktu tsunami. Saya amat terpukul menghadapi kenyataan itu,'' ungkap pelajar SMP I Banda Aceh. Berkumpul dengan banyak teman, membuat Nurul cepat memulihkan traumanya. Sebulan menetap di panti, ia tak lagi dihantui ketakutan bakal berulangnya terjangan gelombang tsunami. Ia juga tidak merasa ketakutan mendengar suara teriakan dan kumpulan orang di keramaian. ''Kami saling menghibur,'' tutur remaja yang ingin menjadi dokter itu. Terbiasa hidup di panti asuhan, Nurul tetap tak bisa menghalau rasa rindu terhadap ayah dan keluarganya. Kendati demikian, sosok pengganti ditemukannya pada pengelola panti. ''Seperti di rumah, saya juga pernah kena marah. Ketika itu saya telat pulang gara-gara nonton pertandingan bol!
a,'' kata Nurul tersipu. Status anak panti pula yang mengantarkan Nurul ke Jakarta. Sebelumnya, ia tak pernah bermimpi bisa datang di ibu kota negara. ''Lebih senang lagi karena bisa mengabarkan kehidupan panti lewat foto jepretan kami, anak panti,'' celetuk Nurul. Usai mengikuti workshop fotografi, semangat hidup Nurul makin bergelora. Hatinya senang bisa memotret teman-temannya di panti. ''Mereka banyak yang malu-malu ketika difoto. Saya bujuk dulu supaya mau dipotret. Saya bilang nanti fotonya akan dipajang dan dilihat banyak orang. Mereka bisa terkenal,'' kata Nurul yang gemar membaca. Ditemui saat berpameran foto di Hotel Gran Melia, Kuningan, Jakarta Selatan, pada 13 Juni lalu, Nurul memendam harapan agar yang melihatnya terkesan. Nurul ingin senda gurau, kesedihan, ataupun kerja sama anak panti diketahui masyarakat luas. Kegalauan akan masa depan sebetulnya juga menguntit Nurul. Tetapi, ia mencoba tegar. ''Kalau menyedihkan, pasti banyak yang nggak mau tinggal di pan!
ti,'' kata Nurul.
(rei )

No comments:

Post a Comment