Cari Berita berita lama

Republika - Mendalami Fisika dengan Barang Bekas

Selasa, 11 Desember 2007.

Mendalami Fisika dengan Barang Bekas












Kegigihan dan keuletan di balik kebersahajaan sangat melekat di setiap sikap dan prilaku Tjandra Heru Awan. Dengan bekal ketekunan dan kegigihan, guru fisika di SMAN 10 Malang ini meraih beragam prestasi di tingkat nasional. Berbagai prestasi itu diukir melalui perjalanan hidupnya yang panjang. Hampir 36 tahun dia menekuni profesi tersebut dengan sangat enjoy. Sikap bersahaja itu pun menjadi daya pikat tersendiri bagi para muridnya. Apresiasi para murid tidak datang dengan sendirinya, namun melalui perjuangan yang keras dan melelahkan. Itu mengingat, bidang studi fisika selama ini sering dianggap sebagai pelajaran yang menakutkan. Tjandra Heru selalu merasa penasaran pada kondisi semacam itu, sehingga dia ingin membuat para siswa belajar fisika dengan senang. Dia pun menemukan jawabannya, dengan membuat alat peraga sangat sederhana dan murah meriah. Makanya, tidak berlebihan bila banyak siswa yang mengenal Tjandra Heru berkat temuannya. Bahkan, mereka merasa senang bi!
la diajari pria kelahiran Nganjuk, 27 Februari 1951, ini. Untuk menemui Tjandra tidak sesulit bertemu dengan para tokoh lain yang banyak mendapat penghargaan tingkat nasional. Hampir semua siswa mengenal pria kalem ini. ''Oh, Pak Tjandra guru fisika. Tidak ada yang tak senang bila diajar beliau. Sebab, kalau mengajar enak, jelas, lucu, dan bisa diikuti dan dipahami secara nyata,'' kata Iliyun, siswa kelas dua yang juga diamini rekannya, Dika dan Arina. Mereka mengakui kepiawaian ayah dari empat anak dan dua cucu ini bila mengajarkan fisika. Saat mengajar, dia selalu menggunakan alat peraga yang lucu dan mudah dipahami. ''Pokoknya, pelajaran yang sulit bisa jadi gampang,'' kata Dika. Pengakuan para siswa itu bukan isapan jempol belaka. Sebab, Tjandra yang waktu kecil sempat lama hidup di Madura ini sudah menemukan dan membuat 26 jenis alat peraga khusus mata pelajaran fisika. Di antara alat peraga itu adalah tabung boyle, mesin uap sangat sederhana, kompas, AVO meter, tumbuk!
an sederhana, paranglina (papan rangkaian listrik sederhana), !
elena (e
lektroskop sederhana), molimama (motor listrik matematik). Selain itu, dia juga membuat tabung berneulli, tabung apung tenggelam, cerio (cermin 2 in 1), prisma air, lensa air, tabung resonansi, lamp holder, magnet apung, dan lain-lain. Hebatnya, semua alat peraga buatan Tjandra ini tidak membutuhkan biaya yang mahal. Alat-alat itu terbuat dari barang-barang bekas seperti kertas, kaleng bekas roti, seng bekas, dan lain sebagainya. Alat peraga termahal yang pernah dibikin Tjandra adalah mesin uap sangat sederhana. Untuk membuat alat tersebut dia menghabiskan anggaran sekitar Rp 400 ribu. Sedangkan yang termurah adalah pengeras suara dari kertas yang hanya membutuhkan dana Rp 100. Alat peraga lainnya rata-rata membutuhkan dana sekitar Rp 10 ribu hingga Rp 20 ribu. Berkat kreativitas dan inovasi Tjandra, fungsi semua alat peraga yang sangat sederhana dan murah itu tidak kalah dengan alat peraga modern yang harganya pasti lebih mahal. ''Itu semua, sudah saya tekuni sejak 1976,'' !
kata Tjandra ketika ditemui di SMAN 10 Malang. Menurut dia, membuat alat peraga dari barang bekas itu terilhami oleh banyaknya keluhan dari siswa yang belajar fisika. Mereka merasa sangat kesulitan bila mempelajari fisika. Keluhan serupa juga dia rasakan saat mengajar di SMAK Jember. Lantas, dia hijrah ke Malang dengan niatan untuk melanjutkan studinya. Saat di Jember dia baru lulus diploma III, IKIP Malang, jurusan Matematika yang mengambil minor Fisika. Sesampainya di Malang, niat melanjutkan studi ke strata satu (S1) pun akhirnya hanya menjadi impian. Maklum, uang yang sudah disiapkan untuk biaya pendidikannya itu harus direlakan untuk biaya pengobatan anaknya, Renda Surenda Tjandra. Anak perempuannya ini terjangkit penyakit tifus. Ususnya bocor. Ada tujuh lubang di ususnya saat itu. Tim medis yang menangani, terpaksa memutus sekitar 7 cm usus anaknya itu. Setelah dioperasi dan dipotong, ternyata bocor lagi. Dioperasi lagi, dan disambung lagi. Itu terjadi hingga lima kal!
i. Akhirnya, dia frustrasi, karena tim medis yang menangani Re!
nda juga
sudah menilai secara medis tidak mungkin tertolong lagi. ''Sejak saat itu, saya hanya bisa pasrah dan berdoa kepada Allah SWT. Saya berdoa kalau memang anak titipan ini Allah izinkan untuk saya asuh dengan baik, mohon diberi kesembuhan dan kesehatan. Waktu itu saya berdoa di masjid. Setelah itu, ternyata alhamdulillah, anak saya sembuh hingga sekarang,'' ujar dia mengenang. Meski anaknya sudah sembuh, dia tetap tidak bisa melanjutkan studinya. Bahkan, dia pun susah mencari kerja. Beberapa hari kemudian, suami Suciwati ini bertemu dengan teman kuliahnya, Muji Hartono seorang guru fisika di SMA Widya Dharma, Turen. Kala itu, dia diminta menggantikan mengajar fisika, karena Muji Hartono diangkat jadi dosen di IKIP Malang. Mulai saat itu, dia mengajar lagi. Namun, guru PNS yang kini berpangkat IIIB tersebut masih dalam kondisi yang serba kesusahan dan kesulitan. Akhirnya, dia bertemu Lukman Hakim (kini Dekan MIPA Universitas Negeri Malang) dan Ustad Mochtr Abdul Karim. Dua figu!
r ini selalu memberikan semangat dan motivasi kepada Tjandra. Tjandra pun mulai bangkit dan bersemangat lagi. Pada 1990 dia melamar menjadi guru PNS dalam usia 39 tahun. Tjandra diterima menjadi guru di SMPN 8 Kediri. Sejak saat itu, dia sering bolak-balik Malang-Kediri, karena keluarganya ada di Malang. Lantas, dia dipindah ke SMPN 17 Malang. Dia juga diminta temannya, Siswati membantu mengajar fisika di SMAN 10 Malang. Kehidupan Tjandra dan keluarganya mulai tertata dengan baik. Kreativitas dan sikap inovatifnya pun mulai tumbuh lagi sehingga dia sering mengikuti seminar, lomba, dan membuat alat peraga. aji
( )

No comments:

Post a Comment