Cari Berita berita lama

Republika - Kumpulan Puisi Kentut Sindiran Penuh Tawa

Jumat, 2 Maret 2007.

Kumpulan Puisi Kentut Sindiran Penuh Tawa






Slamet Widodo ingin memberontak dari karya-karya sastrawan yang banyak menampilkan diksi yang sulit dicerna.





WS Rendra, sastrawan senior negeri ini, menyebut karya puisi yang dilahirkan Slamet Widodo sebagai puisi editorial. Sementara Sutardji Calzoum Bachri menilai bahwa karya Slamet sebagai kesederhanaan yang mampu merepresentasikan ingatan personalnya ke dalam sebuah sajak. ''Slamet mungkin bersikap kenapa harus repot-repot mencari-cari lagi mana kehidupan kalau secara gamblang telah ia temukan langsung dari permukaan tulisan kehidupan sehari-hari,'' begitu Sutardji memberi penilaian atas karya kumpulan puisi terbaru dari Slamet Widodo berjudul Kentut. Dalam buku kumpulan puisi terbarunya, Slamet menghadirkan 34 puisi. Dari jumlah sebanyak itu, pria yang sehari-harinya banyak bergelut sebagai seorang pengembang perumahan mewah di wilayah Jakarta dan sekitarnya ini, menempatkan puisi Kentut sebagai gacoan-nya. Dalam puisi Kentut itu, Slamet hadir dengan gaya penulisan yang hampir mirip sebuah prosa. Untuk memikat pembacanya, puisi tersebut tetap menghadirkan kenakalan bah!
asa yang mengundang tawa. Selain itu juga, puisi itu tetap tidak lupa untuk menyindir situasi carut marut kehidupan yang ada di negeri ini. ''Hidup kita ini pada dasarnya seperti kentut,'' kata Slamet. ''Kentut yang kerap menghasilkan bau itu ternyata selalu berusaha ditutupi dan diusahkan pula untuk dicarikan pembenarannya.'' Slamet mengaku membuat karya puisi bukanlah sesuatu yang baru dalam hidupnya. Menulis puisi, kata pria jebolan Institut Teknologi Bandung (ITB) ini, telah dilakoninya semasa berkuliah. Dia pun mengakui sebagai seorang yang berasal dari disiplin ilmu eksakta membuatnya tidak terlalu memerdulikan karya puisi yang sarat dengan penggunaan bahasa metafora maupun diksi-diksi 'aneh' di setiap bait puisinya. ''Tapi dalam membuat puisi saya lebih senang mengalir saja dengan bahasa-bahasa sederhana yang mudah dicerna oleh orang,'' kata pria kelahiran Solo 29 Februari 1952 ini. Bahkan dengan penggunaan bahasa yang sangat sederhana itu, Slamet mengaku, hendak !
melawan mainstream para pujangga di negeri ini yang kerap meng!
gunakan
bahasa-bahasa 'aneh' yang terkadang sulit dicerna para pembaca. ''Mungkin karya yang dihasilkan ini bisa menjadi sebuah pemberontakan terhadap para sastrawan yang banyak menampilkan diksi yang terkadang sulit dicerna,'' kata dia. Walau Slamet mengklaim karya yang dihasilkannya sebagai sebuah pemberontakan, namun penggunaan bahasa sederhana tersebut masih belum mampu menghadirkan idiom-idiom yang 'menggigit'. Padahal gaya berpuisi dari Slamet ini tak jauh berbeda dengan Wiji Tukul. Dalam menuliskan puisinya, Wiji Tukul kerap menggunakan bahasa sederhana. Namun, bedanya bahasa Wiji Tukul terkadang mampu memprovokasi orang seperti idiom yang sangat masyur buat para demonstran yang kerap didengungkan ''Hanya ada satu kata; Lawan!''. Proses mengalir Tentang belum hadirnya kata-kata tajam layaknya Wiji Tukul itu, Slamet mengaku semua puisi yang dilahirkannya memang melalui proses yang mengalir begitu saja. Artinya, Slamet tak mempunyai pretensi atau maksud apa pun dalam menuliska!
n puisinya. ''Buat saya membuat karya-karya seperti ini merupakan wadah untuk memenuhi kepuasan batin dan untuk menyeimbangkan otak kiri dan kanan saya saja,'' kata dia. Sementara itu dalam buku kumpulan puisi Kentut ini yang diproduksi pada tahun lalu, Slamet memotret beragam fenomena keseharian yang terjadi di negeri ini. Di antaranya bagaimana dia bercerita tentang Mak Erot lewat sebuah puisi. Atau juga tentang Mbah Marijan, Sumanto, sang penyantap mayat, sampai menelanjangi para wakil rakyat lewat puisi berjudul Wakil kita wakil siapa? yang dihadirkannya dalam dua sekuel. ''Para wakil rakyat yang terhormat bukan kerja untuk rakyat Para wakil rakyat kerja untuk partainya Para wakil rakyat kerja untuk dirinya, tapi mengatas-namakan rakyat''
(akb )

No comments:

Post a Comment