Cari Berita berita lama

Republika - Kufu

Jumat, 28 April 2006.

Kufu












Kufu' berarti sama, sederajat, sepadan atau sebanding. Maksud kufu' dalam perkawinan yaitu laki-laki sebanding dengan calon istrinya, sama dalam kedudukan, sebanding dalam tingkat sosial dan sederajat dalam akhlak, serta kekayaan. Jika kedudukan antar laki-laki dan perempuan sebanding, maka diharapkan kebahagiaan hidup suami istri akan terwujud. Bagaimanakah hukum dan ukuran kufu'? Ibnu Hazm berpendapat tidak ada ukuran-ukuran kufu'. Dia berkata, ''Semua orang Islam asal saja tidak berzina, berhak kawin dengan semua wanita muslimah asal tidak tergolong perempuan lacur. Dan semua orang Islam adalah saudara. Kendatipun ia anak seorang hitam yang tidak dikenal umpamanya, namun tak dapat diharamkan kawin dengan Khalifah Bani Hasyim. Walau seorang Muslim yang sangat fasik, asal tidak berzina ia adalah kufu' untuk wanita Islam yang fasik, asal bukan perempuan penzina. Alasannya termaktub dalam QS Al-Hujurat ayat 10 dan An Nisa' ayat 3.'' Rasulullah SAW telah mengawinkan Zain!
ab dengan Zaid bekas budak beliau. Dan dikawinkan Miqdad dengan Dhaba'ah binti Zubair bin Abdul Muthallib. Segolongan ulama berpendapat bahwa soal kufu' perlu diperhatikan. Namun, ukuran kufu' adalah sikap hidupnya, bukan dengan indikator keturunan, pekerjaan, dan kekayaan. Jadi, seorang laki-laki yang saleh walaupun keturunannya rendah berhak untuk kawin dengan wanita yang berderajat tinggi. Laki-laki fakir berhak kawin dengan wanita yang kaya raya dengan syarat bahwa pihak lelakinya adalah Muslim yang menjauhkan dirinya dari minta-minta. Dan, tak seorang pun walinya yang menghalangi atau menuntut pembatalan. Hal-hal lain yang dianggap jadi ukuran kufu' di antaranya adalah keturunan, merdeka, beragama Islam, pekerjaan, kekayaan, dan tidak cacat. Kebanyakan ahli fikih berpendapat bahwa kufu' adalah hak bagi perempuan dan walinya. Jadi, seorang wali tak boleh mengawinkan perempuan dengan lelaki yang tak kufu' dengannya kecuali dengan ridhanya dan ridha segenap walinya. Se!
bab mengawinkan perempuan dengan laki-laki yang tidak se-kufu'!
berarti
memberi aib kepada keluarganya. Karena itulah hukumnya tidak boleh kecuali para walinya ridha. Jika para wali dan perempuannya ridha maka ia boleh dikawinkan. Begitu juga sebaliknya. Kalau mereka sudah setuju, maka hilanglah halangannya. Golongan Syafi'i berkata, ''Wali bagi perempuan adalah orang yang dapat menjadi walinya dalam urusan harta.'' Akan tetapi Imam Ahmad dalam suatu riwayat mengatakan, ''Perempuan itu hak bagi seluruh walinya, baik yang dekat ataupun jauh. Jika salah seorang dari mereka tidak ridha dikawinkan dengan laki-laki yang tidak kufu' maka ia berhak membatalkan.'' Kufu' diukur ketika berlangsungnya akad nikah. Jika selesai akad nikah terjadi kekurangan-kekurangan, maka hal itu tidaklah mengganggu dan tidak dapat pula membatalkan apa yang terjadi serta tidak mempengaruhi hukum akad nikahnya. Syarat-syarat perkawinan hanya diukur ketika berlakunya akad nikah. Jika pada waktu berlakunya akad nikah suami pekerjannya mulia dan mampu memberi nafkah istrin!
ya, kemudian di belakang hari terjadi perubahan, maka akad nikahnya tetap sah seperti sebelumnya. Manusia tidak selamanya langgeng keadannya. Karena itulah suami-isteri harus dapat menerima kenyataan, bersabar, dan bertakwa kepada Allah. Karena sabar dan bertakwa kepada Allah merupakan watak orang-orang yang besar. dam/dari buku fikih sunnah karya sayyid sabiq
( dam )

No comments:

Post a Comment