Kamis, 28 Maret 2002.
OJK, Butuh Tapi Tak SiapPada sebuah petang, segerombolan wartawan mengerumuni Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Anwar Nasution. Maksud hati akan menanyakan soal fit and proper test (uji kelayakan dan kepatutan) terhadap para bidder (penawar) divestasi PT Bank Central Asia Tbk. Eh, bukannya menjawab, tiba-tiba Anwar membuka tasnya. Tangannya mengeluarkan sehelai kertas. Apakah itu?
Ternyata, cuma sebuah undangan seminar. Topiknya pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Anwar tersenyum. Sambil mengibas-ngibaskan undangan itu, iapun berkata, "Lebih baik kau tanya saja soal o-je-ka, ini bakal lebih seru ketimbang isu divestasi BCA."
Anwar mungkin bercanda tapi kemudian terbukti ada benarnya. Buktinya, baru juga sebulan, ide OJK ini dibuka kembali, segunung persoalan bermunculan.
Tak banyak orang tahu, apakah lembaga yang menjuluki dirinya Otoritas Jasa Keuangan (OJK)? Secara ringkas bisa dijelaskan bahwa ini adalah sebuah otoritas yang punya fungsi ganda. Sebagai supervisor (pengawas), sekaligus sebagai regulator (pengatur) bagi lembaga keuangan.
Awalnya, OJK sebenarnya direncanakan bernama Lembaga Pengawasan Jasa Keuangan (LPJK). Lembaga ini sebagaimana direkomendasikan dalam Pasal 34 UU 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia bertugas untuk mengawasi perbankan. Sesuai ketentuan UU itu pula, seharusnya pembentukan lembaga ini dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2002.
Antara OJK dan LPJK jelas ada perbedaan. LPJK hanya berfungsi mengawasi tapi tidak berfungsi mengatur. Namun OJK, format baru lembaga ini punya keduanya. Tak hanya regulasi, tapi juga pengawasan. "Kalau fungsinya hanya pengawasan, OJK tidak akan efektif," kata Dirjen Lembaga Keuangan Depkeu, Darmin Nasution.
Alasannya, mengawasi suatu bidang kegiatan usaha jika tidak dibarengi dengan power untuk menutup, maka tidak akan jalan. OJK harus punya 'taring' sebagai sebuah lembaga pengawas. Jika tidak, bisa-bisa laporan hasil supervisi OJK hanya jadi "pepesan kosong". Tidak didengar oleh institusi keuangan manapun karena dianggap tidak punya 'gigi'.
Kabarnya, pihak Bank Indonesia sendiri sudah setuju jika OJK diberi dua fungsi. Malah menurut pejabat Departemen Ekonomi Inggris, Maximilian Hall, lebih menguntungkan bagi BI jika wewenang menutup bank itu dilimpahkan saja ke OJK (di Inggris disebut Financial Service Authority/FSA).
Kredibilitas BI sebagai Bank Sentral memang pernah tercoreng ketika harus menutup 16 bank nasional pada tahun 1998. Saat itu, tak sedikit orang yang menuding BI gagal menjalankan fungsi pengawasan perbankan.
Kini, dengan memindahkan kewenangan itu kepada OJK, praksis resiko bakal kehilangan pamor sebagai bank sentral gara-gara harus menindak bank-bank bermasalah, bakal berkurang. "Jadi itu seperti memindahkan risiko akan hilangnya kredibilitas bank sentral, apabila ada bank yang ditutup,"ujar Hall.
Akibat Konglomerasi
Kenapa Indonesia begitu ngotot memiliki OJK padahal negara semaju AS saja belum memisahkan fungsi pengawasan perbankan dari bank sentralnya (The Federal Reserve/Fed)? Kenapa pula IMF yang didominasi oleh AS bersitegang dengan pemerintah selama hampir 1,5 tahun sebelum akhirnya menyetujui ide OJK?
Pemerintah setidaknya punya dua alasan untuk menjelaskan ini. Pertama, di negeri ini, konglomerasi sudah terlanjur lahir dan berkembang. Usahanya menggurita. Ada di sektor riil, perbankan, asuransi dan perusahaan pembiayaan.
Jika pengawasan lembaga keuangan terpecah-pecah seperti sekarang ini, peluang ini akan digunakan para konglomerat untuk melakukan praktek patgulipat untuk melanggar BMPK. Jelas, praktek ini bakal sulit dideteksi oleh pengawas.
Baru pada saat krisis melanda. Keliatan aslinya. Banyak sekali pemilik bank yang menggunakan perusahaan pembiayaan untuk menyembunyikan pelanggaran BMPK. Artinya, menurut Darmin, para taipan itu melakukan pemberian pinjaman melalui perusahaan pembiayaan.
Alasan kedua, produk dari industri keuangan sedemikian berkembang sehingga semakin sulit dicari batas antara produk asuransi, perbankan, dana pensiun. Banyak produk itu di -mix. Misalnya, jika ada nasabah yang membuka rekening deposito, dia sekaligus bisa mendapat fasilitas asuransi dari bank yang sama. "Kalau pengawasannya dipisah, akan timbul kesulitan. Tapi kalau dijadikan satu atap, kalaupun di-mix akan lebih gampang mengawasinya," ujar Darmin lagi.
Lembaga Raksasa
Dilihat dari jumlah lembaga yang akan diawasi, OJK bisa dipastikan akan menjelma menjadi lembaga pengawasan berskala raksasa. OJK versi Australia, yang disebut APRA (Australian Prudential Regulation Authority) mengawasi sekitar 12.200 lembaga keuangan. Lalu Inggris 10 ribu dan Swedia 2500 lembaga.
Di Indonesia sendiri, jumlah bank nasional dan BPR saja mencapai 7900-an. Belum termasuk asuransi, dana pensiun, koperasi kredit, modal ventura, leasing company dan sekuritas.
Menurut hitung-hitungan ekonom senior INDEF Dradjat Wibowo, jika seluruh bank ditotal, OJK paling tidak harus mengawasi sekitar 20-25 ribu lembaga. Dua kali lipat Australia! Itupun institusi seperti multi level marketing belum dimasukkan. "Tentunya juga harus diawasi karena berpotensi melakukan tindak pidana dan perdata keuangan,"kata Dradjat.
Pertanyaannya, dengan skala yang cukup besar itu, dari mana OJK mendapatkan dana operasionalnya? Apalagi, lembaga ini didisain tidak boleh membebani keuangan negara (baca:APBN).
Di negara lain, sumber dana OJK adalah levy atau retribusi yang dipungut dari semua lembaga keuangan yang diawasi oleh lembaga itu. Besarnya retribusi adalah 'sekian' persen dari total asetnya. Persentasenya sendiri berbeda untuk setiap jenis lembaga.
Di Australian, APRA mengenakan retribusi 0,012 persen dari asetnya. Sedangkan cabang bank asing dikenakan 0,006 persen, dan bagi asuransi dan dana pensiun dikenakan 0,025 persen.
Jika ini diterapkan di Indonesia, katakanlah untuk BCA, maka dengan nilai aset mereka sekarang (Rp 99 triliun) retribusi yang harus disetor ke OJK adalah Rp 11,8 miliar per tahun. Dengan total asset perbankan nasional yakni Rp 1015 triliun, maka potensi retribusi yang bisa diperoleh OJK dalam setahun sekitar Rp 121 miliar (US$ 12,2 juta)
Lalu, berapa kebutuhan dana untuk operasional OJK dalam setahun. Patokannya ambil saja APRA. Setahun, otoritas ini membutuhkan A$ 60 juta (Rp 300 miliar dengan kurs Rp 5000/A$). Asumsikan standar gaji pegawai OJK nanti sekitar 70 persen dari APRA. "Pengawasan kan selalu rawan korupsi, maka karyawannya harus digaji memadai dong," ujar Dradjat.
Lalu, dengan cakupan pengawasan OJK yang dua kali lipat APRA maka setiap OJK diperkirakan membutuhkan paling tidak Rp 410-520 miliar. Dengan kata lain, ada kekurangan dana sekitar Rp 300-400 miliar dari setoran levy atau retribusi perbankan tadi. Masalahnya, darimana kekurangan itu akan ditutupi?
Retribusi dari lembaga non bank bisa dipastikan tidak akan terlalu signifikan. Apalagi jika dilihat dari total aset mereka yang masih jauh di bawah perbankan (Aset dana pensiun Rp 2 triliun, asuransi Rp 40 triliun, bank Rp 1015 triliun). Kalau mau jujur, kemampuan perbankan membayar retribusi pun sebenarnya diragukan jika dikaitkan dengan tingkat kesehatan bank saat ini.
Untuk membantu meringankan beban perbankan, dalam kaitannya dengan levy, pemerintah sudah punya satu rencana. Nantinya levy perbankan akan diambil langsung dari bunga GWM (Giro Wajib Minimum) mereka di BI. Dijelaskan oleh Darmin, selama ini GWM (sejumlah dana yang wajib ditempatkan oleh bank di BI) tidak pernah dikenakan bunga. Direncanakan, untuk selanjutnya GWM akan diberikan bunga oleh BI. Nanti, pendapatan bank dari bunga GWM itulah yang akan diserahkan ke OJK sebagai retribusi mereka. "Untuk usulan ini kami akan bicarakan dulu dengan BI. Tapi intinya kami tidak ingin menambah beban perbankan," kata Darmin, berjanji.
Depkeu sendiri kini tengah disibukkan dengan berbagai persiapan pembentukan OJK. Memang, banyak pihak yang masih bertanya-tanya. Di tengah simpang siurnya kondisi politik ekonomi Indonesia, kok pemerintah 'ngotot' membentuk OJK.
Seperti yang dikatakan Julieete Healey dari Central Bank of England, Inggris saja harus menunggu sampai kondisi mereka kuat secara finansial sebelum mereka memulai pembentukan (bukan pengoperasian!) FSA. Sementara di Indonesia, dengan country risk dan tingkat bunga masih sangat tinggi, nilai tukar masih rentan, perbankan masih mengais-ngais sumber dana, demokrasi kebablasan, korupsi merajalela, transparansi dana koordinasi masih barang langka. Kalau diibaratkan manusia, sebenarnya negeri ini masih berjalan terseok-seok karena memikul beban yang begitu berat dipundaknya. Sekarang harus bertambah lagi beban pembentukan OJK. Butuh? Kita memang butuh OJK, tapi apa pemerintah sudah siap...?febrina siahaan
No comments:
Post a Comment