Selasa, 8 Oktober 2002.
Belajar dari 'Perang' BinjaiDenny J.A. Direktur Eksekutif Yayasan Dan Akademi JAYABAYA
Sepuluh orang tewas, terdiri dari empat anggota Brimob, satu anggota TNI, dua anggota Polres, dan tiga warga sipil. Mereka korban langsung dari kontak senjata selama sembilan jam, antara pasukan TNI AD dari Batalion Lintas Utara (Linud) 100/Prajurit Setia (PS), dan aparat kepolisian dari pasukan Brimob Kompi A Polda Sumatra Utara di kota Binjai.
Peristiwa ini niscaya akan dicatat sebagai salah satu titik paling hitam gerakan reformasi di bidang keamanan. Bentrok antara tentara dan polisi di Binjai itu bukan yang pertama. Sebelumnya sudah pula terjadi bentrok serupa antara keduanya di Ambon, Jakarta, Sampit, sampai Madiun. Pemicu konflik juga beragam, mulai dari berebut kavling keamanan, perlindungan terhadap provokator kerusuhan, beking atas narkoba, sampai masalah rusaknya koordinasi.
Apa yang salah dengan gerakan reformasi? Mengapa setelah reformasi aparat keamanan dan pertahanan yang seharusnya menjadi garda terdepan pelindung masyarakat malah baku tembak di antara mereka sendiri?
Gerakan reformasi agaknya memang tidak memberi perhatian yang memadai pada perubahan di lingkungan tentara dan polisi. Akibatnya, komplikasi perubahan internal di tubuh aparat keamanan dan pertahanan itu, tidak benar-benar diantisipasi. Tak ada skenario perubahan atas aparat keamanan dan pertahanan yang sistematis untuk mengurangi kemungkinan saling tembak di antara mereka.
Efek yang diberikan gerakan reformasi kepada polisi dan tentara sangat berbeda. Sebelumnya, secara kelembagaan, polisi (Polri) adalah mitra junior tentara. Kepala Polisi Republik Indonesia (Kapolri) dan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), misalnya, berada dalam posisi yang sejajar. Dua petinggi polisi dan Angkatan Darat itu tunduk kepada panglima ABRI, yang dulu acap kali dijabat oleh petinggi tentara.
Sebelum reformasi, wilayah keamanan juga menjadi otoritas bersama antara tentara dan polisi. Karena tentara secara kelembagaan lebih berkuasa, pelaku dari tentara yang lebih menguasai lapangan keamanan secara de facto. Petinggi polisi hanyalah pelaksana dan mitra junior dari tentara.
Namun, reformasi sudah mengubah hubungan tentara dan polisi. Kini Kapolri langsung berada di bawah presiden. Sementara itu, KSAD, yang dulu sejajar dengan Kapolri, berada di bawah panglima TNI. Adapun panglima TNI sendiri harus pula berkoordinasi dengan Menteri Pertahanan yang juga tokoh sipil. Buah dari gerakan reformasi, secara kelembagaan, posisi polisi (Kapolri) kini jauh di atas tentara (KSAD).
Reformasi telah pula mengubah wilayah yurisdiksi. Kini persoalan keamanan sepenuhnya wewenang polisi. Tentara tidak lagi mengurus keamanan, tapi pertahanan saja. Persoalan keamanan yang basah, seperti tempat hiburan, narkoba, perjudian, sekarang sepenuhnya wilayah polisi. Seandainya ada pungutan liar di bidang itu, oknum polisilah yang memperolehnya. Oknum tentara kehilangan otoritas de jure untuk dapat juga membeking tempat hiburan itu. Bagi oknum polisi atau oknum tentara, jelas pembagian wilayah ini menjadi masalah yang sangat besar.
Sementara itu, polisi mendapatkan posisi yang lebih tinggi, lebih berdaulat, akibat reformasi, tentara justru semakin terpinggirkan. Pelan-pelan aneka hak khusus tentara dihilangkan karena tuntutan perubahan. Tentara aktif tidak lagi diperbolehkan menduduki jabatan publik, mulai dari menteri, gubernur, sampai duta besar. Dwifungsi TNI dihilangkan, disimbolkan dengan dihapuskan bidang sosial politik aparat keamanan.
Pada mulanya, tentara aktif masih dibolehkan duduk di DPR/MPR sampai 2009. Namun, amandemen 2002 berujung pada hilangnya tentara dari DPR/MPR lebih cepat di tahun 2004. Kini, bisnis tentara juga dipermasalahkan. Sementara itu, diketahui, anggaran dari Anggaran Pengeluaran Belanja Negara (APBN) untuk pertahanan tak pernah mencukupi. Kesejahteraan prajurit juga sangat rendah.
Memang benar depolitisasi itu tak hanya melanda tentara, tapi juga polisi. Namun, berbeda dengan tentara, polisi sudah diberi kompensasi berupa kemandirian Kapolri yang langsung berada di bawah presiden, dan yurisdiksi mutlak atas wilayah keamanan negara di kala politik normal. Toh, sejauh ini, belum ada kompensasi untuk kalangan tentara. Petinggi mereka bahkan kini banyak yang dikejar oleh isu pelanggaran hak asasi manusia.
Reposisi polisi dan tentara yang tak berimbang turut menjadi konteks bentrokan keduanya. Gerakan reformasi membuat nasib kedua organisasi keamanan ini sangat berbeda. Di satu sisi, oknum polisi mungkin masih overacting dengan posisinya yang baru, yang lebih berkuasa, dan tidak lagi tunduk kepada tentara. Di sisi lain, oknum tentara memang secara de jure sudah kehilangan kontrolnya atas polisi, namun secara mental masih merasa lebih senior.
Ketika terjadi proses penyidikan ataupun pengusutan, baik atas kasus narkoba, perjudian, sampai pada provokasi kerusuhan, tak jarang oknum polisi dan tentara bertemu di lapangan. Bentrokan pun terjadi. Karena kedua belah pihak memanggul senjata, "perkelahian" tidak terjadi di ruang diskusi atau polemik di koran sebagaimana politisi sipil. Perkelahian itu terjadi secara nyata dengan peluru, dengan darah, dan dengan kematian pihak lawan.
Solusi yang komprehensif mengenai tentara dan polisi niscaya harus ditemukan. Sangat berbahaya keamanan sebuah negara jika aparat yang memanggul senjata tidak puas. Kita pernah mengalami ketidakpuasan tentara sejak kemerdekaan sampai lahirnya Orde Baru.
Saat itu, isu rasionalisasi tentara menjadi isu besar. Jumlah tentara ingin dipangkas secara drastis dan diprofesionalkan. Akibatnya, ada sejumlah petinggi dan prajurit rendah yang akan diberhentikan. Apalagi parlemen saat itu begitu keras pula terhadap tentara. Kebijakan pemerintah pusat atas komunisme juga mengecewakan tentara.
Akibat ketidakpuasan aparat yang memanggul senjata, lahirlah aneka pemberontakan di daerah. Dewan Banteng didirikan. Daerah memberontak. Bahkan lahir pula peristiwa 17 Oktober 1952 yang memboyong tentara untuk menyerbu istana. Ujungnya adalah pergolakan yang melahirkan G30S-PKI, dan tumbangnya Orde Lama.
Ketidakpuasan yang rasional dari tentara itu jelas harus diakomodasi. Kesejahteraan prajurit mesti ditingkatkan. Bisnis tentara boleh dinasionalisasi, namun anggaran tentara seharusnya seratus persen ditanggung pemerintah. Di sisi lain, disiplin secara keras harus pula diterapkan kepada anggota tentara yang melenceng dari sikap tentara profesional.
Gerakan reformasi memang harus lebih mengistimewakan tentara dan polisi. Tak ada negara yang kuat jika mayoritas aparat keamanan dan pertahanan secara ekonomi menjadi paria dan fakir. Mesti ada upaya sistematis pemerintahan untuk menyejahterahkan mereka, namun pada saat yang sama membuat mereka benar-benar menjadi abdi negara yang profesional.
Upaya sistematis untuk menyejahterakan polisi dan tentara perlu dilakukan sedini mungkin sebelum semuanya terlambat. Jika tidak, bentrokan bersenjata di Binjai itu akan terulang, bahkan mungkin terjadi di level nasional.
No comments:
Post a Comment