Cari Berita berita lama

Tempointeraktif.com - Melacak Moyang di Seberang Sungai

Jumat, 11 Mei 2007.


Melacak Moyang di Seberang Sungai
Jum'at, 11 Mei 2007 | 00:18 WIB
TEMPO Interaktif, Jakarta:

Cerita tentang asal usul itu ada di seberang sebuah sungai yang mengalir deras. Airnya coklat dan gemuruh, sepintas menciutkan nyali.

Sungai bernama Karama itu bisa dicapai dengan perjalanan selama sehari penuh dari Kota Mamuju, ibukota Provinsi Sulawesi Barat. Melintasinya harus dengan sebuah biduk kecil, yang terguncang-guncang di permukaan riak air.

Di seberang, perjalanan tertumbuk pada sebidang tanah berumput dan bersemak cukup lebat, tak jauh di tepi sungai. Itulah kawasan situs arkeologi Kalumpang.

Terletak di kawasan hulu Sungai Karama, situs itu mengandung artefak-artefak arkeologi dari nenek moyang masyarakat penutur Austronesia, yang berciri kebudayaan Neolitik (Lihat "Nenek dari Zaman Batu").

Ke Kalumpang, Harry Truman Simanjuntak dan sekelompok arkeolog melakukan penggalian selama dua pekan pada pertengahan April lalu. Mereka datang dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional dan Balai Arkeologi Makassar.

Para arkeolog itu juga melakukan ekskavasi di situs lain tak jauh dari Kalumpang. Situs Minanga Sipakko namanya. Kalumpang dan Minanga terbilang sebagai kawasan permukiman yang tertua, yang pernah didiami oleh penutur Austronesia.

Harry mengatakan penutur Austronesia dari masa prasejarah inilah yang kelak melahirkan generasi di nusantara kini. "Kalau mau bicara asal-usul kita, harus bercerita dari mereka ini," kata Harry kepada Tempo pada kamis pekan lalu.

Berdasarkan penanggalan pada artefak dan ekofak yang ditemukan, diketahui bahwa situs itu berasal dari 3.600 Sebelum Masehi. Terbilang tua lantaran penutur Austronesia kuno memasuki wilayah nusantara sekitar 4.000 SM.

Harry mengatakan masyarakat itu menyusuri kawasan pesisir Sulawesi Utara lalu masuk ke muara-muara sungai. "Kalau sumber daya alamnya menjanjikan mereka tinggal, tapi bila tidak mereka meneruskan perjalanan ke arah hulu," katanya.

Di kawasan hulu itu mereka menetap untuk jangka waktu yang cukup lama, kurang lebih 1.000 tahun. Mereka hidup dengan memanfaatkan biota alam sekitarnya, baik sungai maupun hutan. Di sana, selain artefak, juga ditemukan ekofak berupa sisa tulang-tulang hewan hasil konsumsi, seperti babi, rusa, dan kerbau.

Memang ada kemungkinan bahwa Kalumpang bukanlah permukiman yang pertama, mengingat para penutur Austronesia masuk dari muara. "Mungkin ada yang lebih tua di kawasan pantai atau muara, tapi kita belum temukan," katanya.

Sejauh ini, situs-situs neolitik yang ditemukan di kawasan pesisir dan pantai di Sulawesi berusia lebih muda, antara 1.000 sampai 3.000 SM.

Di Minanga Sipakko dan Kalumpang para arkeolog itu berhasil menemukan puluhan alat batu seperti beliung dan kapak batu. Model semacam itu juga amat umum ditemukan di situs-situs neolitik lainnya di Sulawesi.

Beliung dan kapak batu itu rupanya ditemukan pula di Filipina, Jepang, dan Taiwan. Alat ini juga tersebar sampai ke Pulau Jawa, Sumatera, dan Malaysia. "Persebaran ini terkait dengan migrasi," kata Harry.

Para arkeolog itu juga menemukan peralatan dari gerabah atau tanah liat yang dibakar. Bentuk-bentuknya variatif, mulai dari mangkuk sampai tempayan, dan kaya dengan ragam hias. Bahkan ada ragam hias yang bersifat lokal, yang tak ditemukan pada situs-situs neolitik lain di nusantara.

Artefak-artefak itu, kata Harry, ditemukan setelah menggali sampai kedalaman 150 sentimeter dari permukaan tanah. Lapisan tanah yang menutupi temuan-temuan itu merupakan lapisan pasir dan sedimentasi sungai.

Diperkirakan, situs permukiman itu terpendam oleh banjir besar dan longsoran gunung. Kedua bencana telah membuat situs terpendam lapisan sedimentasi sungai (alluvial) dan tanah longsor (colluvial).

Bencana alam inilah yang diperkirakan membuat permukiman di sana berakhir. Tapi bencana itu juga membawa keuntungan lantaran sedimentasinya telah mengawetkan segala peninggalan arkeologis itu. Kalumpang dan Minanga pun terbilang sebagai situs neolitik terlengkap di Indonesia.

Bagaimana dengan manusia? Rupanya hingga kini belum ditemukan. "Yang kita temukan baru gigi-gigi lepasan yang tak tersusun dalam satu rangkaian anatomi," kata Harry.

Harry mengatakan, ada kemungkinan kuburan memang ada di sekitar situs, namun belum tergali. Di sisi lain, ada yang menyebut kemungkinan kandungan tanah di sana tak baik bagi pengawetan kerangka manusia.

Namun adanya temuan ekofak tulang belulang hewan yang terawetkan mengabaikan kemungkinan kedua. "Tahun-tahun mendatang kami akan mencari lokasi penguburan itu," kata Harry.

Bila berhasil, maka kemungkinan besar akan diketahui bagaimana upacara penguburan dan model kepercayaan masyarakat serta bekal kuburnya.

Adapun jalur migrasi masyarakat penutur Austronesia masih menjadi perdebatan di antara para ahli. Sebagian ahli berpendapat, migrasi itu berlangsung dari utara, dari kawasan Taiwan menuju selatan. "Data arkeologi yang ada tidak bertentangan dengan itu, tapi kita masih cari data baru," kata Harry.

Ahli lintas ilmu seperti Stephen Oppenheimer dari Inggris, Sumet Jumsai dari Thailand, dan Bunkminster Fuller misalnya, menyatakan migrasi justru terjadi dari timur, yakni dari kawasan Paparan Sunda yang telah tenggelam setelah masa mencairnya es.

Ketiganya mengatakan penutur Austronesia bermigrasi lantaran mencairnya es di kawasan kutub. Mencairnya es menaikkan permukaan laut sehingga menenggelamkan Paparan Sunda seperti keadaan saat ini.

Terlepas dari perdebatan itu, jejak-jejak penutur Austronesia neolitik di Indonesia terekam di Sulawesi, Kalimantan, Sumatera, dan Pulau Jawa, dengan usia yang beragam. Di kawasan Sulawesi misalnya, ditemukan sekitar 30 situs.

Di Song Keplek, Jawa Timur, dan di salah satu situs di Kalimantan, tercatat ada situs yang berusia setua Kalumpang dan Minanga. Namun Harry meragukannya. "Masih harus diuji lagi karena di sekelilingnya berusia antara 2.000 sampai 1.000 SM," kata dia.

DEDDY SINAGA

INDEKS BERITA LAINNYA :

No comments:

Post a Comment