Cari Berita berita lama

Republika - Pelajaran dari Konflik Timor Leste

Rabu, 7 Juni 2006.

Pelajaran dari Konflik Timor Leste












Aris Santoso Pengamat TNI Wilayah Timor Leste sangat identik dengan militer Indonesia pasca Orde Baru. Bagi sebagian besar prajurit TNI, mulai dari tamtama sampai perwira, Timor Leste adalah kenangan tersendiri --baik manis maupun pahit-- sebagai wilayah operasi yang keras, yang taruhannya adalah nyawa. Kini, ingatan terhadap Timor Leste kembali terngiang, saat menyaksikan konflik yang meluas, khususnya di kota Dili. Akar masalah konflik demikian kompleks, tumpang tindih antara masalah etnis, diskriminasi, konflik elite, kemiskinan, dan --yang paling mengerikan-- konflik antara pihak yang memegang senjata: tentara reguler, polisi nasional, dan kelompok desertir. Bisa kita bayangkan dampaknya, bila pihak yang memegang senjata saling bertikai. Bagi TNI, sebagai pihak yang dulu dianggap paling berperan ketika Timor Leste masih bagian RI (1975-1999), adakah pelajaran yang bisa dipetik dari konflik yang meluas di Timor Leste akhir-akhir ini? Setidaknya ada dua hal yang bis!
a kita pelajari dari situasi terakhir di Timor Leste. Pertama, bagaimana memosisikan kembali para perwira TNI yang dulu sempat dituduh melakukan pelanggaran HAM pascajajak pendapat. Kedua, bagaimana antisipasi TNI bila konflik di Timor Leste semakin berlarut, khususnya dalam pengamanan garis perbatasan. Potensi konflik Melihat konflik di Timor Leste, khususnya di Dili, yang demikian keras dan meluas, kita boleh menduga bahwa terdapat unsur dendam lama yang belum tuntas, yang berlangsung lintas generasi. Artinya, apa yang terjadi dulu pasca jajak pendapat, bisa disebut masih dalam rangkaian tradisi kekerasan tersebut. Konflik ini tampaknya sudah mengarah ke perang saudara. Maka kini cukup alasan untuk mempersoalkan kembali, seberapa jauh keterlibatan TNI dalam kerusuhan tahun 1999 dulu, yang perdebatannya belum selesai hingga hari ini. Sampai kini pun, insitusi TNI masih menanggung beban sejarah itu, meski pengadilan HAM di Jakarta sudah membebaskan seluruh perwira yang dian!
ggap bertanggung jawab pada kerusuhan tahun 1999. Sesaat setel!
ah isu k
erusuhan 1999 reda, kembali muncul masalah, ketika TNI dianggap mengabaikan aspirasi yang berkembang, termasuk desakan dunia internasional, dengan tetap mempromosikan para perwira mantan penugasan Timor Timur. Bila dihubungkan dengan situasi Timor Lorosae sekarang, sikap TNI untuk tetap mempromosikan para perwira tersebut, telah mendapatkan momentum pembenarannya. Karena ternyata, potensi konflik itu sudah ada sejak lama. Sementara TNI juga memiliki kepentingan sendiri atas pengembangan karier perwira tersebut. Karena perwira-perwira yang ditugaskan ke Timtim sejak tahun 1975 umumnya adalah perwira-perwira yang baik. Sekadar ilustrasi, bisa kita sebut nama Brigjen TNI M Noer Muis (Danrem Timtim terakhir, Akmil 1976) dan Mayjen TNI Tono Suratman (Danrem Timtim sebelum M Noer Muis, Akmil 1975). Seandainya tidak terganjal kasus Timtim, bisa jadi perjalanan karier mereka bisa lebih lancar. Kini masa penantian bagi Brigjen TNI M Noer Muis telah berakhir, dengan pengangkatannya pa!
da pos strategis sebagai Kasdam IV/Diponegoro. Demikian juga dengan Mayjen TNI Tono Suratman, yang telah menjabat Aspam KSAD. Penempatan perwira-perwira tersebut pada pos strategis, bisa dijadikan pertanda, bahwa kasus pelanggaran HAM pascajajak pendapat di Timtim, tidak lagi relevan dipersoalkan. Terlebih setelah adanya kesepakatan membentuk Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) antara RI dan Timor Leste, Maret lalu, yang merupakan upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat di Timtim tahun 1999. Patroli perbatasan Masalah lain yang perlu dicermati TNI adalah patroli perbatasan antara RI dan Timor Lorosae (TL). Dari segi geografis, garis perbatasan terhitung panjang, lebih dari 200 km. Bentangan sepanjang itu sangat rawan penyusupan, mengingat banyaknya 'jalan tikus'. Potensi penyusupan mutlak diwaspadai, mengingat hubungan RI (khususnya TNI) dan TL senantiasa sensitif. Adanya penyusupan bisa menjadi titik masuk munculnya teori konspirasi soal keterlibatan TNI. Kita sudah !
cukup berpengalaman menghadapi berbagai macam teori konspirasi!
, yang s
ebenarnya lebih pantas disebut sebagai black mail, karena memang tidak jelas asal-usulnya. Rasanya tindakan yang paling tepat untuk menghadapi fenomena seperti itu adalah dengan cara mengabaikannya. Demikian krusialnya masalah perbatasan, ada baiknya bila TNI memperkuat satuan tempur pada garis itu. Satuan inti yang sedang bertugas sekarang, yaitu Yon Armed 8/Divif 2 Kostrad, sudah bertugas sejak kerusuhan di Dili belum lagi dimulai. Mengingat eskalasi konflik yang semakin tinggi, perlu juga satuan Yon Armed tersebut untuk di-back up satuan lain, terutama dari komponen infanteri. Untuk garis batas sepanjang itu, yang dibutuhkan kini adalah satuan yang sudah terlatih untuk penugasan long range patrol (patroli jarak jauh). Tentu saja itu merujuk pada satuan infanteri. Kabarnya Yonif 744/SYB, satuan yang dulu berbasis di Dili, sudah merapat ke perbatasan. Akan lebih bagus lagi kalau satuan berkualifikasi raider, seperti Yonif 900/Raider Kodam Udayana. Kita tidak tahu, bagaimana!
pertimbangan pihak Mabes TNI dulu, kenapa satuan armed yang akhirnya dipilih untuk menjaga perbatasan, meski sebenarnya tidak sesuai peruntukannya. Satuan armed, sesuai fungsinya adalah untuk bantuan tempur (banpur). Mungkin saat itu belum sampai pada perkiraan bahwa eskalasi konflik di Timtim akan tinggi dan meluas seperti sekarang. Sementara untuk menjaga perbatasan, dengan tanda perbatasannya masih berupa hutan dan gunung, yang lebih dibutuhkan adalah satuan infanteri. Agak percuma kalau satuan armed yang dikirim, sementara persenjataan utamanya, seperti meriam, ditinggal di markas. Dalam kasus Yon Armed 8, satuan ini sebenarnya diperlakukan sebagai satuan infanteri. Kebijakan yang sebenarnya kurang pas. Bila situasinya berkembang semakin buruk, ada baiknya lebih diperkuat lagi dengan unit helikopter, baik itu MI-17 (Dinas Penerbad) atau Puma TNI AU, untuk mengisi kebutuhan misi intai. Sebagaimana diberitakan beberapa media akhir-akhir ini, bahwa pesawat tempur F-5E Tig!
er ikut memperkuat pengamanan perbatasan, dengan berbasis di L!
anud El
Tari, Kupang. Mudah-mudahan media tersebut salah kutip. Untuk menjaga perbatasan, yang lebih dibutuhkan adalah pesawat dengan kemampuan intai (helikopter), atau pesawar baling-baling berkecepatan sedang, semisal OV-10 Bronco. Kualifikasi F-5E Tiger adalah buru sergap, yang kurang efisien untuk misi pengintaian.
( )

No comments:

Post a Comment