Jumat, 19 November 2004.
Jamu, Mas Jamu...Sebuah papan bertulisan: Wisata Agro, Tanaman Obat dan Jamu Godok Khas Yogyakarta. Orang menyebut tempat itu Merapi Farma. Tepatnya berada di Dusun Sidorejo, Hargobinagun, Pakem, Sleman. Dari obyek wisata Kaliurang, hanya berjarak sekitar empat kilometer.
Kebun tanaman obat itu seluas 3.200 meter persegi. Ada 739 jenis tanaman. Selain sebagai apotek hidup, tempat itu juga digunakan untuk pembibitan, sekaligus tempat menimba ilmu para pelajar, mahasiswa, maupun ibu-ibu PKK. Ada yang sekadar ingin tahu atau mengambil bahan untuk penelitian. Salah satunya kerja sama dengan Fakultas Farmasi UGM. Seorang karyawan, Alex, mengatakan bahwa tercatat 30 ribu macam tanaman obat di seluruh dunia. "Namun, kami di sini baru bisa mengumpulkan 739 jenis tanaman obat," ujar Sidik Raharjo, 28 tahun, pemilik Merapi Farma.
Agar bisa mengumpulkan tanaman itu, ia harus berburu ke berbagai gunung di Sumatera, dan hampir seluruh gunung di Jawa seperti Taman Nasional Meru Betiri, Gunung Slamet, Lawu, Sindoro, Sumbing, dan Merapi. Berbagai pengalaman dilaluinya dengan suka cita. Salah satu pengalaman yang tak ia lupakan, ketika ia bersama rekannya, Darsono mendaki Gunung Lawu mencari purwoceng.
Seorang ibu muda bersama suaminya tampak asyik mengobrol di kedai seluas 6x8 meter. "Kami menunggu jamu. Sedang diracikkan," ujarnya. Aroma masoyi menyelinap di sela hidung. Di Paris, kulit kayu aromatik ini biasa digunakan untuk campuran bahan minyak wangi. Di Indonesia, masoyi digunakan untuk pelengkap jamu-jamuan. "Aromanya khas, menyegarkan," kata Sidik.
Dalam pencariannya, Sidik tidak melewati jalan setapak, tetapi masuk semak belukar. Kebetulan waktu itu, kabut turun. Jarak pandang pun terhalang. Tiba-tiba Darsono terperosok ke jurang. Pikiran Sidik sudah macam-macam. Spontan dia memanggil-manggil temannya itu. Tak lama Darsono menyahut dan mengatakan dirinya selamat. Bahkan ia meminta Sidik menyusul terjun ke bawah pelan-pelan. Begitu sampai di bawah, ternyata Darsono mengalami lecet pun tidak. Padahal dalam jurang diperkirakan puluhan meter. Di tempat itu, ia mendapat tanaman obat bernama ceguk.
Di Merapi Farma, seperti halnya kedai jamu, tampak sebuah rak susun tiga penuh plastik ramuan jamu siap rebus dipajang di salah satu sisi tembok. Sidik, yang juga ketua Asosiasi Agribisnis Tanaman Obat ini, melalui berbagai uji cobanya, berhasil meracik sekitar 520 jenis jamu godok untuk berbagai penyakit. Bahkan penyakit berat seperti kanker leher rahim, kanker payudara, kista di ginjal, juga ada.
Sidik juga menyiapkan racikan berdasarkan konsultasi penderita. Cukup melontarkan keluhannya, ia sudah bisa membuat ramuannya. Ramuan dibagi menjadi tiga, bahan utama, bahan pembantu, dan pelengkap. Bahan utama tujuannya untuk menghantam langsung titik pengobatan. Bahan pembantu biasanya mengandung unsur diuretik untuk menghilangkan gejalanya. Jika ada peradangan bisa menggunakan kunyit atau untuk menghilangkan rasa sakit menggunakan daun sambiloto. Dan bahan pelengkap lebih pada rasa agar tidak terlalu terasa pahit, misalnya adas, kapulogo, masoyi, dan cengkeh.
Menurut dia, banyak orang berpendapat bahwa pengobatan alami memiliki efek sembuh yang lama. "Saya kira tidak semua begitu. Untuk analgesik atau pati rasa, mungkin benar. Tapi untuk virus dan kanker, berdasarkan pengalaman justru lebih cepat sembuhnya. Karena pro-alam, maka lebih sempurna," katanya.
Kesempurnaan itu, kata dia, karena ramuan jamu itu terdiri dari beberapa tanaman obat yang masing-masing memiliki khasiat berbeda. Obat kimia kanker biasanya hanya meningkatkan stamina sementara ramuan jamu godok terdiri dari macam-macam tanaman dengan khasiat sekaligus membunuh virus, menghilangkan gejala, dan meningkatkan stamina. "Yang jelas lebih kompleks karena efek sampingnya jauh lebih sedikit," ucap Sidik.
Ia menambahkan pengobatan dengan tanaman obat tidak bisa dilakukan hanya dengan satu jenis tanaman. Ada orang bilang, minum rebusan daun mimba bisa mengobati kanker atau lever. "Hal itu salah," kata Sidik. Malahan berbahaya karena daun mimba pada zaman dulu digunakan untuk pestisida alami.
Hasil racikan Sidik itu kini telah tersebar ke seluruh penjuru Nusantara, dari Medan hingga Sorong (Papua). Omzetnya memang belum terlalu banyak. "Saya ingin semua berjalan alami. Pelan-pelan, tumbuh seperti pepohonan. Tapi yang paling utama, niat saya bukan murni bisnis tetapi kemanusiaan," ujar lajang kelahiran Lampung ini.
Selain itu, Sidik telah melebarkan usahanya dengan membuat cabang, yang difungsikan sebagai tempat produksi dan kedai. Tempatnya di Jalan Monumen Yogya Kembali, Yogyakarta, dengan lahan seluas 1.200 meter persegi. Sebelas orang karyawan yang bekerja digilir untuk melayani wisatawan dan pembeli di kedua lokasi itu. Rumah produksi itu dilengkapi ruangan yang berfungsi sebagai oven, luasnya 7x6 meter. Keduanya dilengkapi kedai untuk melayani pelanggan yang minum di tempat.
Saat ini banyak orang ingin kembali hal-hal alami. Karena itu banyak orang memilih obat-obatan alami. Padahal ahli tanaman obat masih langka. Kalaupun ada, kebanyakan sudah tua. "Kata hati saya, ini peluang dan tantangan. Karena itu saya tertarik menekuni bidang ini. Kuliah saya di Teknik Sipil Unila yang hampir selesai, saya tinggal," ujar Sidik yang punya hobi menanam ini.
Rupanya Sidik memang sudah mantap menekuni jamu godok. Dengan modal pinjaman dari teman-temannya, Sidik akhirnya meraih sukses meski prosesnya sangat lambat. Ia mengawali usahanya pada 1997. Sebagai orang awam yang tidak mengerti seluk-beluk tanaman obat, Sidik lalu mengikuti berbagai pelatihan dan seminar yang diselenggarakan Balai Penelitian Tanaman Obat. Saat itulah ia bertemu ahli tanaman obat R. Broto Sudibyo, Kepala Sentra Pelayanan Pengembangan dan Pengobatan Tradisional DIY, juga pengasuh obat tradisional majalah Trubus.
Dari belajarnya itu, Sidik akhirnya menguasai tiga masalah utama yang harus dikuasai seorang peracik obat tradisional, yaitu mengetahui fungsi tanaman obat, mengetahui penyebab, gejala, dan komplikasi penyakit seseorang. Terakhir, dia harus menguasai komposisi obat. "Setiap membuat ramuan baru, saya selalu mencoba. Supaya rasanya pas," kata Sidik. ln idayanie
No comments:
Post a Comment