Cari Berita berita lama

KoranTempo - Cairan Infus pun Diminum

Minggu, 13 Pebruari 2005.
Cairan Infus pun DiminumGaya tubuhnya seperti orang manja. Bergoyang kanan-kiri saat menjawab pertanyaan. Cara menjawabnya seperti anak kecil. Malu-malu. Suaranya tidak terlalu terdengar. Namanya Sukriyah. Dia korban tsunami.

Sepintas dia biasa saja. "Kalau mau ke kamar mandi dia masih minta diantar. Masih takut pada air," ujar sang ibu yang setia menemaninya. Dia fobia air. "Itu termasuk gejala skizofrenia," ujar Dokter Peony Supriyanto yang merawatnya di Rumah Sakit Kesehatan Daerah Militer Iskandar Muda, Banda Aceh.

Sejak 26 Desember dia dirawat. Seminggu lebih sejak dirawat, dia tidak pernah bergerak dalam posisi telentang di pelbet rumah sakit tersebut. "Buang air besar, kecil, ya di situ," ujar sang dokter.

Masih empat pasien yang menjadi tanggung jawabnya. Amirizal, Milidar, Saefulhan, adalah teman-teman Sukriyah. "Kondisinya sudah membaik," ujar psikiatri lulusan Universitas Indonesia itu.

Yang paling menderita, Sukriyah, tidak bisa lepas dari masalah air. Wajar, air laut yang menjadi temannya selama 29 tahun menggulungnya dari tempat tinggalnya di Ulee Lheue, Banda Aceh. Dia pun nyangsang di Simpang Surabaya. "Di genting rumah mahasiswa Universitas Syiah Kuala," ujarnya. Mahasiswa tersebut yang mengantarnya ke rumah sakit tentara itu.

Februari ini, pasien-pasien tidak lagi berjejalan di tiap lorong rumah sakit. Kamar mayat tidak lagi menumpuk mayat. Cuma ada satu mayat yang ada di tengah ruangan. Tapi bau tengik, campuran darah, bensin, dan bau manusia, masih menyengat hidung, dari ujung lorong menuju kamar mayat.

Namun, tengoklah 26 Desember lalu, satu setengah jam setelah tsunami. Saat itu ribuan orang menjejali RS Kesdam dan dua rumah sakit lain karena RS Zainoel Abidin, rumah sakit terbesar di Aceh, lumpuh dihantam tsunami.

"Saya heran ini jenazah anak kecil kok basah, celananya sobek-sobek," ujar ahli bedah ortopedi Jursal Harun yang kebetulan sedang menunggu di ruang instalasi gawat darurat. "Saya pikir pasti banyak korban gempa. Bukan tsunami. Saya saja nggak ngerti tsunami sampai saat itu," ujar Jursal. Dia menginstruksikan para perawat supaya bersiap menerima korban gempa yang diakuinya sangat dahsyat.

Tak sampai satu jam, ratusan orang menggotong korban. Meninggal atau hidup sudah tidak bisa dibedakan lagi. "Tenaga saat itu terbatas. Dokter mungkin hanya ada tiga, perawat mungkin cuma lima atau enam," kata Jursal. Seingat Jursal, selain dirinya ada Andi Faturrachman, Kepala IGD, dan Hanafi.

Sementara itu, Peony baru sampai pada pukul sepuluh malam bersama Kepala Kesdam dan Kepala Rumah Sakit Taufiqurahman dari Lhokseumawe. Peony menjadi "penjaga malam". Sendirian. Itu berlangsung hingga beberapa hari setelah bantuan di hari ketiga berdatangan.

Tenaga medis yang terbatas juga disebut Aronica Tounso Abdenour, dokter Bulan Sabit Merah Indonesia, yang tiba di Aceh 27 Desember malam. "Saya kaget waktu banyak mayat. Kota gelap sekali, seperti kota mati," ujarnya.

Pada hari ketiga Aronica bersama empat dokter dari BSMI beraksi di Kesdam. "Saya ketemu Peony. Dia kelihatan depresi," ujar Aronica. "Saya lihat orang-orang itu, astagfirullah, luka sobek di seluruh lengan, kepala yang sebagian kulit kepalanya keluar. Saya belum pernah lihat yang seperti ini. Saya sempat merinding," ujarnya.

"Wah orang teriak-teriak minta diobati duluan. Celana saya sampai ditarik-tarik. Yang ada dalam pikiran saya bekerja dan bekerja. Saya tidak sempat kencing," ujar Aronica.

Aronica menggambarkan kurangnya obat dan alat-alat pembersih standar. Cuma ada kapas, Betadine, obat suntik antibiotik, Amoxycilin. "Amoxycilin bisa apa sih? Cuma obati tenggorokan doang," katanya. Sementara pensteril luka tidak ada atau sangat kurang. "Yang saya lihat luka ditutup tapi tidak dibersihkan. Masih penuh lumpur."

Beruntunglah, selain rumah sakit tentara itu, pada hari ketiga ada bantuan dari rumah sakit swasta Fakinah. Memang, dengan enam rumah sakit di Banda Aceh, praktis hanya ada tiga rumah sakit yang berfungsi saat itu. Rumah Sakit Meuraksa yang termasuk besar bersama RS Zainoel Abidin sudah diterjang air laut. RS Zainoel Abidin hingga kini masih belum bisa digunakan sepenuhnya.

Selama tujuh hari atau 168 jam para dokter itu berjibaku melawan malaikat maut. Lantaran tak ada air minum, para dokter itu pun minum cairan infus. "Saat itu cairan infus isi glukosa yang kami minum," ujar Peony.

"Selain aspirasi pneumonia, banyak korban tsunami meninggal karena hypothermia dan dehidrasi," ujar Jursal. Pasokan air bersih yang kurang, kain kassa yang terbatas, dan pencuci luka steril yang tidak seimbang jumlahnya membuat banyak korban meninggal akibat kurang terurus.

Sekarang, di samping gudang rumah sakit tentara itu, ratusan botol infus tergeletak begitu saja. Masih baru dan terbungkus plastik. Itu adalah bantuan dari rumah sakit di luar Aceh yang datang setelah pasien sembuh atau dievakuasi. "Untuk apa sekarang? Kemarin kami lebih membutuhkan," ujarnya. yophiandi

No comments:

Post a Comment