Senin, 20 Maret 2006.
Syariat Islam di Aceh (1)
Menuju Islam yang Kaffah
Nur Raihan - detikcom
Nur Raihan/detikcom
Banda Aceh -
Aksi kejar-kejaran antara beberapa remaja dan polisi Syariat Islam atau lebih dikenal dengan polisi wilayatul hisbah (WH) mewarnai dimulainya aksi panggung grup band Peterpan beberapa pekan lalu di Stadion Harapan Bangsa, Banda Aceh.
Pasalnya, beberapa remaja pria menerobos pemisah dan berbaur ke tempat para remaja putri. Karena Syariat Islam sudah diterapkan, penonton pria dipisahkan dengan penonton wanita. Duo RATU juga terpaksa menutup rambut mereka dalam konser Sabtu malam di tempat yang sama.
Dalam konser Peterpan dan RATU, pembatas yang terdiri dari batang-batang bambu dan kain-kain spanduk yang diikat pada kayu yang mirip barikade akhirnya jebol seiring dengan bertambahnya jumlah penonton yang hampir mencapai 30 ribu orang. Pria dan wanita kemudian berbaur. Para remaja yang datang berpasangan kemudian berdekatan dengan pasangan-pasangannya, bahkan banyak di antaranya terlihat bermesra-mesraan.
Tak hanya sampai di situ, beberapa remaja putri yang semula berjilbab, mulai menanggalkan penutup rambutnya itu yang kemudian diikat di pinggang. Setelah itu, mereka mulai berjingkrak-jingkrak seiring hentakan musik.
Spanduk di pintu masuk yang bertuliskan, Warga Kota Banda Aceh Diwajibkan Memakai Busana yang Islami, untuk Wanita Harus Menutup Aurat dan Tidak Boleh Memakai Baju Ketat dan Tipis seolah tak dihiraukan. Polisi WH juga dianggap angin lalu. Akhirnya, para polisi WH hanya berjaga-jaga di pintu masuk saja.
Seperti apa sebenarnya pelaksanaan Syariat Islam di Bumi Serambi Mekkah ini?
Syariat Islam mulai berlaku di Aceh sejak dikeluarkannya UU No.14 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, waktu itu Aceh belum bernama Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Pemberian Syariat Islam oleh pemerintah merupakan salah satu buntut dari aksi ribuan masyarakat Aceh yang mengusung ide referendum bagi Aceh.
Tak heran, ketika Syariat Islam diberlakukan di Aceh, banyak yang menilai pemberlakuan Syariat Islam di Aceh hanya untuk kepentingan segelintir elit.
Meski begitu, Syariat Islam jalan terus. Para wanita yang dilaporkan melakukan zina diusung keliling kota dan dipangkas rambutnya oleh orang ramai di halaman Masjid Raya Baiturrahman. Tempat-tempat biliar dan salon-salon kecantikan dirazia, para pemain biliar ditangkap berikut para perempuan yang bekerja di tempat-tempat tersebut.
Kala itu, belum ada polisi WH. Aksi razia dan penangkapan dilakukan oleh kelompok-kelompok mahasiswa dan kelompok santri dari pesantren yang menyebut diri mereka sebagai Taliban dan kelompok-kelompok mahasiswa.
Di beberapa tempat, para ibu juga ramai melakukan razia terhadap pria-pria yang tidak melakukan salat Jumat. Warung-warung tutup ketika salat Jumat. Plang-plang yang bertuliskan Daerah Wajib Jilbab juga berdiri di mana-mana. Razia jilbab acap dilakukan. Tulisan-tulisan Arab melayu juga terpampang di sejumlah instansi dan sejumlah toko-toko di Aceh.
Tapi ini tak berlangsung lama. Seiring waktu, pelaksanaan Syariat Islam yang "kasat mata" ini semakin jarang terlihat, bahkan nyaris tak ada. Banyak kaum hawa yang melepas jilbabnya dan warung-warung tetap buka meski salat Jumat tengah dilaksanakan.
Razia Digiatkan
Tapi kini, razia kembali ditingkatkan sejak Aceh, khususnya Banda Aceh sebagai ibukota provinsi, ramai didatangi orang-orang dari luar Aceh dan juga orang-orang asing. Hukuman cambuk terus bergulir kepada pelanggar Qanun (Perda) minuman khamar (alkohol), maisir (perjudian) dan khalwat (mesum).
Hukuman cambuk tak hanya berlaku bagi warga Banda Aceh yang melanggar aturan Syariat Islam. Tapi juga bagi warga pendatang, dengan catatan beragama Islam. Seperti beberapa pekan lalu, seorang warga Medan terpaksa merasakan pedihnya cambuk rotan dari algojo karena kedapatan berjudi. Empat temannya yang juga tertangkap tak ikut dicambuk karena non muslim.
Tapi sejauh ini, hukuman cambuk baru dilaksanakan untuk pelanggar Qanun khamar, maisir dan tindakan mesum.
"Belum ada tambahan qanun baik dari tahun lalu maupun sekarang," jelas Kepala Dinas Syariat Islam NAD, Alyasa Abubakar, pada detikcom, Senin (20/3/2006).
Jika merujuk pada buku Himpunan Undang-undang Keputusan Presiden, Peraturan Daerah/Qanun, Instruksi Gubernur, Edaran Gubernur, Berkaitan Pelaksanaan Syariat Islam yang dikeluarkan Dinas Syariat Islam NAD dan dirilis Juni 2004, sudah 18 qanun yang disahkan.
"Qanun yang berkaitan langsung dengan Syariat Islam itu ada lima. Sejak tahun 2005 sampai sekarang belum ada tambahan qanun," katanya. Selebihnya merupakan qanun tentang tata pemerintahan, kebudayaan dan tugas serta wewenang kepolisian daerah.
Ditambahkannya, pelaksanaan Syariat Islam di Aceh tak akan merujuk ke negara-negara yang sudah melaksanakan Syariat Islam. "Itu sudah komitmen sejak awal. Karena kita akan menerapkan pelaksanaan Syariat Islam itu secara kaffah. Artinya, ajaran Islam itu sendiri total, keseluruhan. Jadi penafsirannya itu dengan cara memahaminya seluas kehidupan itu sendiri. Islam yang total," ujarnya.
Foto:
Duo Ratu yang juga harus menutup rambutnya.
(
nrl
)
No comments:
Post a Comment