Cari Berita berita lama

Banjir Mobil Bodong di Pasar Gelap

Jumat, 5 Desember 2003.
Banjir Mobil Bodong di Pasar GelapWARNA-warni mobil keren menjadi pemandangan sehari-hari di Pusat Perniagaan Nagoya New Town, jantung kota Batam. Mobil dagangan itu memang tumpah di jalanan, karena ruang-ruang pamer yang umumnya seukuran dua ruko tak mampu menampungnya. Apa boleh buat, mobil-mobil yang gagah dan cantik itu harus rela terguyur air hujan dan tersengat terik matahari jalanan.

Di sebuah showroom di ujung blok, tampak sebuah Honda City 2003, Mercedes E-300 New Eyes, Land Cruiser VXR, Land Cruiser Cygnus, BMW seri 5, dan jenis mobil "wah" lainnya yang menunggu majikan baru.

Karena tergolong "kelas dua", Mitsubishi Storm double cabin 1998, Mitsubishi Space Wagon 1998, sedan Toyota Camry Grande 2000, Mitsubishi Lancer GTi, Toyota Altis 2000, dan Unser, yang tak lain adalah saudara kembar Toyota Kijang, harus dipajang di pinggir jalan bersama belasan mobil lainnya.

Memang, semuanya mobil bekas, tapi sungguh masih mulus. Ada yang eks Singapura, Malaysia, Thailand, bahkan Jepang. Harganya dijamin miring. Maklum, mobil-mobil itu masuk ke Batam tanpa bea masuk dan pajak penjualan barang mewah.

Land Cruiser VRX mulus buatan 1998, built up dari Jepang, di ruang pamer Golden Star di Nagoya New Town ditawarkan Rp 145 juta. On the road. Honda City 2003 bisa dibawa pulang dengan harga Rp 100 juta saja. New Eyes E-300 tahun 1999 bisa diboyong pula cuma dengan "mahar" Rp 130 juta.

Kalau mau agak lebih murah, ya, boleh pilih Mitsubishi Space Wagon, Mitsubishi Storm, atau sedan Lancer GTi yang berumur empat-lima tahun, harganya bisa di bawah Rp 50 juta. Sedangkan Unser eks Malaysia, 1.800 cc 2001, automatic, harganya Rp 70 juta.

Batam kini seperti surga bagi penggemar mobil, yang berduit tentu. Di pulau mungil dengan penduduk sekitar 650.000 jiwa itu, terdapat lebih dari 50 showroom mobil bekas. Hampir segala merek ada di sana, termasuk sedan Mitsuoka yang bermesin Nissan dan berbodi Rolls Royce, Jaguar, Mercedes-Benz S-600, hingga sedan biasa seperti Lancer atau Altis.

Populasi mobil membengkak. Jalanan macet. Maka, sambil menyeka keringat, Ilham Yasin, sopir taksi, menggerutu panjang lebar. "Entah bagaimana kemacetan lima tahun mendatang," katanya.

Kemacetan membuat mobilitas Ilham tersendat. Sementara saingan makin membludak. Pemasukannya pun tersumbat. Ia mengaku kini hanya bisa membawa pulang Rp 30.000-Rp 40.000 setelah dipotong uang setoran Rp 60.000 dan uang bensin. "Mana cukup?" katanya kepada GATRA, yang mengunjungi Batam menjelang Lebaran lalu.

Yasrianto, pemilik lima sedan taksi pelat hitam, pun mengeluh. Dulu, dari lima taksinya ia bisa mendapat setoran Rp 1 juta. Kini cuma Rp 300.000. "Batam sudah kelebihan mobil," katanya.

Sejak dua tahun terakhir ini, Batam memang kebanjiran mobil bekas dari warehouse di pelabuhan Singapura. Bisnis mobil di Batam pun tumbuh bak jamur di musim hujan. Jumlah importir mobil, menurut seorang pedagang otomotif kawakan di tempat ini, tumbuh dari sekitar 15 menjadi hampir 130 perusahaan.

Bisnis mobil baru tentu tercekik. Boni, petugas penjualan di Agung Otomall, sebuah dealer mobil gres di Batam, mengaku daya saing mobil baru menjadi jeblok. Konsumen memilih Toyota Altis bekas umur dua tahun seharga Rp 80 juta-Rp 90 juta ketimbang yang gres tapi harganya Rp 225 juta. "Sekilas, toh tak ada bedanya," ujar Boni.

Namun, belakangan pasar mobil tweedehand di sana mulai jenuh juga. Momentum Lebaran pun tak mengatrol penjualan. "Size pasar mobil di Batam memang, ya, terbatas, sebulan rata-rata hanya terjual 300 unit," tutur seorang importir kelas kakap di Batam yang tak mau disebut identitasnya. Sebulan belakangan, ia tak bisa menjual mobil barang satu biji pun.

Stagnasi penjualan, katanya, dialami hampir semua dealer. Padahal, stoknya ada ribuan unit. "Mau nggak mau, mobil-mobil itu mengalir ke luar, terutama ke Jakarta," katanya. Diselundupkan? "Iya-lah, mau dibilang apa lagi," katanya.

Adanya praktek haram itu diakui seorang perwira di Kepolisian Resor Kota Besar (Poltabes) Batam. "Kadang, ya, melibatkan oknum aparat juga," katanya. Tak cuma satu-dua yang diboyong ke Jawa. "Sekali angkut bisa 80 unit," ujarnya. Yang dipiih adalah mobil-mobil kelas menengah, seperti Toyota Altis, Camry, dan Honda CRV.

Kepala Satuan Reserse Poltabes Batam, Ajun Komisaris Polisi Susanto, pertengahan November silam, membeberkan kasus penyelundupan enam unit Toyota Harrier. "Kami bisa cegah sebelum mobil-mobil itu dikirim ke Jakarta untuk dijual kepada pihak ketiga," katanya. Sumber lain di Poltabes menyebutkan, praktek itu melibatkan oknum juga.

Namun, pengiriman yang lebih rame tentu lewat jalur swasta murni. Sumber GATRA di kalangan pemilik showroom mengakui, kelompok partikelir ini punya kemampuan membawa mobil dalam jumlah lebih besar ke Jawa. "Mereka punya duit, jaringan, dan akses ke pasar," kata sumber GATRA itu.

Praktek haram itulah yang membuat gemas Syamsul Bahri Paloh, 37 tahun, mantan pengusaha properti yang kini memimpin lembaga swadaya masyarakat (LSM) Badan Anti-Korupsi Independen (Bakin) di Batam. Ia menganggap banjir mobil ini gara-gara kebijakan yang salah dari Wali Kota Batam, Nyat Kadir.

Syamsul lantas menggugatnya lewat Pengadilan Tata Usaha Negara Pekanbaru. Gugatan ini didaftarkan awal bulan lalu oleh tim kuasa hukumnya dari Kantor Pengacara Andi Wahyudin and Partners, Jakarta.

Yang digugat adalah Surat Keputusan (SK) Wali Kota Batam Nomor 9 Tahun 2003, yang berlaku per 8 September lalu. SK bermasalah itu bertajuk "Tata Cara Pemasukan Kendaraan Bermotor dan Alat Berat yang Digunakan di Kawasan Berikat Pulau Batam dan Dalam Daerah Kota Batam". Dalam sidang pertamanya, 13 November lalu, berkas gugatan Bakin dianggap lengkap.

Yang dipersoalkan Syamsul, SK wali kota itu tidak saja memberikan peluang bagi praktek penyelundupan. Lebih dari itu, bertentangan dengan --ia disebut melawan-- peraturan yang lebih tinggi, yakni Undang-Undang Nomor 22/1999 tentang Otonomi Daerah, serta Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 299/1997 tentang Impor. "SK wali kota itu harus dibatalkan," ujarnya.

SK Nomor 9/2003 itu sebetulnya hanyalah revisi SK wali kota sebelumnya, yakni Nomor 11/2001, yang sebelumnya sempat diperbaiki pula melalui SK Nomor 6/2002. "Ketiganya sama saja, membuka peluang KKN dan penyelundupan," Syamsul Paloh menambahkan. Dampak lainnya, banjir mobil.

Peraturan tata niaga impor mobil bekas ala Batam itu sendiri telah mencoba mencegah membanjirnya kendaraan bermotor, terutama jenis mobil pribadi seperti sedan, jip, station wagon, dan minibus. Di sana ada ketentuan, kendaraan pribadi impor itu paling tua tiga tahun, dan untuk tiap satu unit yang diimpor disyaratkan ada satu mobil tua yang di-scrap, diafkir.

Syarat scrapping itu berlaku pula bagi taksi. Hanya saja, untuk sedan niaga itu, prasyarat umurnya lebih longgar: lima tahun. Prinsipnya, peraturan itu mengatakan, satu mobil masuk, satu pula diafkir. One in one out.

Perusahaan scrapping pun muncul atas dasar penunjukan wali kota. Tugasnya, ya, melakukan penghancuran atas badan mobil-mobil tua. Berikutnya, mereka menerbitkan dokumen scrap dengan persetujuan satuan lalu lintas di Poltabes, Dinas Perhubungan, dan Dinas Perindustrian Batam.

Di lapangan, kenyataannya berbeda. Prinsip one in one out seperti itu mudah diakali. "Mana ada mobil di-scrap. Yang berlaku, kita beli dokumen scrap. Harganya Rp 6 juta selembar," ujar seorang importir.

Meski mahal, importir toh menubruknya. Apa boleh buat, dokumen itu menjadi syarat bagi mereka untuk memperoleh izin kuota impor mobil, yang disebut izin alokasi. "Kalau punya 10 dokumen scrap, kita bisa masukkan 10 mobil," tutur importir tersebut.

Pelabuhan Batu Ampar, begitu menurut SK wali kota itu, adalah satu-satunya pintu masuk bagi semua jenis kendaraan bermotor dan alat berat eks luar negeri. Pengelolaan Pelabuhan Batu Ampar itu sendiri ditangani PT Pesero Batam, perusahaan pelat merah yang dibangun sebagai penunjang di pulau industri itu. Jadi, segala urusan bongkar-muat dilakukan awak PT Pesero Batam.

Sebelum mobil dibawa masuk ke areal parkir, kata Kasimun, Direktur Operasi Pesero Batam, dokumen pengapalannya diperiksa, terutama manifesnya. "Jangan sampai dalam manifes disebut sedan, ternyata minibus," kata Kasimun.

Pengecekan lainnya menyangkut dokumen invoice, packing list, dan keterangan surveyor independen yang memastikan bahwa mobil itu dalam keadaan laik jalan. Kalau memang semua beres, pihak Pesero menerbitkan dokumen entry bounded zone (EBZ), yang menjamin urusan pengapalannya beres. "Tapi, untuk memastikan mobil itu legal atau tidak, itu kewenangan Bea dan Cukai," Kasimun menambahkan.

Berikutnya, giliran Bea dan Cukai melakukan pemeriksaan, mulai izin alokasi, nomor sasis, nomor mesin, dan spesifikasi teknis lainnya, hingga dokumen ekspor-impornya. Kalau semua oke, Bea dan Cukai menerbitkan form BB. "Kalau tidak beres, kami kandangkan karena termasuk barang selundupan," kata Rachman Natawidjaya, Kepala Kantor Pelayanan Bea dan Cukai Batam.

Rachman menyatakan, banyak juga mobil yang disitanya. Ia pun menunjuk ke halaman kantornya di kawasan Batu Ampar, yang berisi 124 unit mobil bodong. "Ini hasil sitaan Bea dan Cukai, polisi, dan Angkatan Laut," ujar pria kalem itu. Ia menegaskan pula, tanpa dokumen EBZ dan form BB, jangan harap importir bisa memajang eks Singapura itu di showroom mereka.

Namun, baik Kasimun maupun Rachman mengakui adanya dokumen EBZ dan form BB yang dipalsukan untuk mendapat STNK. Dari mana mobil-mobil itu masuk? "Ya, mungkin masuk melalui pelabuhan tikus," kata Kasimun.

Kerawanan di pelabuhan tikus, nama lain untuk pelabuhan tak resmi, diakui pula oleh Wakil Kepala Poltabes Batam, Ajun Komisari Besar Polisi Drs. Heru Winarko. "Pelabuhan tikus di Batam, Rempang, dan Galang itu ada 65 buah," katanya. Ia pun mengakui, jajarannya tak sanggup memonitor semuanya. "Aparat kami terbatas," ujarnya, menyebut alasan klasik. Kalaupun tak bisa mendapat STNK, kendaraan haram itu tetap saja gentayangan sebagai mobil bodong, dan memperparah kemacetan lalu lintas Batam.

Meski telah menimbulkan kemacetan, catatan tentang populasi mobil di Batam sendiri tak jelas. Rachman, yang baru bertugas tujuh bulan di Batam, mengakui bahwa pihaknya tak memiliki data jumlah mobil resmi yang masuk Batam. "Kami baru melakukan pencatatan sejak 2003 ini," katanya. Dalam catatannya, kendaraan bermotor yang masuk ke Batam antara Januari dan November 2003 sebanyak 4.193 unit.

Poltabes Batam juga tak tahu persis jumlah mobil impor yang masuk. Data populasi cuma bisa mengacu pada STNK yang diterbitkan (lihat kurva). Sejak Oktober 2001 hingga September 2003, Poltabes Batam menerbitkan 8.840 STNK untuk mobil penumpang, mobil beban, dan bus. Jumlah mobil ber-STNK secara keseluruhan, sampai Oktober 2003, adalah 32.561 unit.

PT Pesero Batam juga tak punya catatan lengkap. Namun, sebagai ancar-ancar, Imron Nawawi, Wakil Direktur Operasi Pesero Batam, mengatakan bahwa sejak adanya "deregulasi" impor oleh wali kota, mobil bekas mengalir deras dari Singapura. "Dalam sebulan rata-rata 1.000 lebih," katanya.

Tempat parkir seluas setengah hektare di areal pergudangan PT Pesero sering penuh. "Kadang, pagi datang, sorenya sudah dibawa ke showroom," ujar Imron ketika mendampingi Kasimun menemui GATRA.

Taruhlah rata-rata sebulan 1.000 unit. Dalam dua tahun, ada 24.000 mobil masuk. Jika dalam kurun itu hanya 8.840 mobil yang di-STNK-kan, berarti yang lain menjadi mobil bodong di Batam, atau kabur ke Jawa dan Sumatera. Jumlahnya hampir lebih dari 15.000 unit. Jika diasumsikan yang mem-bodong 3.000 unit, yang diselundupkan ke pulau lain, ya, 12.000 unit lebih dalam dua tahun.

Jakarta menjadi tujuan utama. Lewat Pelabuhan Tanjungpriok? Yang pasti, Kepala Satuan Reserse Kesatuan Pelaksana Pengamanan Pelabuhan (KP3) Priok, Ajun Komisaris Polisi Sarjiyo, mengatakan bahwa tak ada kasus penyelundupan mobil di wilayahnya. "Setidaknya selama enam bulan terakhir," kata Sarjiyo kepada wartawan GATRA Eric Samantha, Selasa lalu.

Toh, pada hari yang sama, di Priok santer beredar kabar bahwa kapal Srikandi, yang biasa mengangkut pasir timah, mencoba merapat ke dermaga dengan membawa enam unit truk eks Batam. Sayang, baik pihak Bea dan Cukai maupun KP3 belum bisa mengonfirmasikannya.

Apa pun, bagi kalangan pengusaha showroom besar di Jakarta, ihwal mobil eks Batam itu bukan hal asing. "Ya, memang banyak mobil eks Batam di showroom-showroom," ujar Ferry Suryawan, sebut saja begitu, pemilik dealer mobil bekas di Jakarta Selatan. Harganya tentu lebih miring.

Ruang pamer itu cuma salah satu gerai. Banyak pula penjual lepas yang menawarkan mobil eks Batam itu melalui jaringan relasi, atau diiklankan di koran-koran dengan kode BU, butuh uang. "Mereka itu cuma tenaga sales dari sindikat kuat," kata pemilik showroom lain di Jakarta Pusat, sebut saja namanya Ardi Santosa.

Melalui jalur mana mobil-mobil eks Batam itu sampai ke showroom? Pelabuhan-pelabuhan di Jawa adalah salah satu pintu masuk. Tapi, ada juga yang dari Batam diseberangkan ke Riau daratan, kemudian dijual di Pekanbaru, Medan, atau Jakarta. Belakangan, mobil eks Batam itu mendapat saingan dari mobil Sabang, Aceh.

Jalur impor langsung dari Singapura bisa saja ditempuh. "Tapi lebih berisiko, rumit, karena ada larangan impor mobil bekas," kata Ardi Santosa. Lewat Batam, meski ongkosnya lebih mahal, tetap lebih aman.

Toh, mobil-mobil itu kemudian bisa dilengkapi dokumen bea cukai dan terdaftar resmi di kepolisian untuk memperoleh STNK. Berapa biayanya? "Yah, yang jelas bisa dapat untung Rp 50 juta-Rp 75 juta untuk mobil kelas Mercedes S-450 atau Land Cruiser Cygnus," jawab Ardi. Keuntungan itu lebih besar ketimbang laba mobil halal yang Rp 10 juta-Rp 15 juta.

Banyak pula pemain amatiran seperti Surya Chandra, bukan nama sebenarnya, profesional di perusahaan sekuritas yang berkantor di Jalan Sudirman, Jakarta. Ia tergoda membeli mobil Batam karena harganya murah. Setahun lalu, ia memborong sebuah Mitsubishi Storm 1998 dan satu Mitsubishi Space Wagon 1997. Surya keluar duit Rp 55 juta untuk keduanya. Blas, ndak ada dokumennya!

Toh, pemilik showroom berbaik hati membawanya pada dua orang oknum Batam yang bersedia mengurus segalanya. Mereka bersedia membawa mobil itu ke Jakarta, lewat Riau, dengan ongkos Rp 5 juta per unit. Mereka juga mengurus STNK-nya di Jakarta dengan biaya Rp 20 juta per unit.

Surya tak perlu lama menunggu. "Tak sampai seminggu, mobil sudah masuk garasi rumah," ujarnya sambil terbahak. Lantas, dengan alasan BU, ia jual Space Wagon-nya. "Laku Rp 120 juta. Untung gede saya," ia menambahkan. Kecanduan? "Nggak, ah. Deg-degan terus," katanya.

Lewat jalur apa pun, bagi aktivis LSM Bakin, Syamsul Paloh, luberan mobil eks Batam itu tak bisa dibiarkan. Taruhlah, katanya, ada 6.000 mobil yang diselundupkan per tahun. Karena umumnya mobil-mobil itu tergolong kelas menengah-atas, pajak penjualan barang mewah dan bea masuk yang dikenakan setidaknya Rp 75 juta. "Kerugian negara Rp 450 milyar. Apa itu harus kita dibiarkan," ujarnya.

Syamsul pun merasa malu, karena laku haram itulah pers Malaysia sempat menyebut Batam "tempat transit kereta curi". Berita Harian, medio November lalu, mensinyalir mobil-mobil mewah hasil curian dari Kuala Lumpur dan Johor itu dibawa ke Singapura, untuk kemudian masuk Batam. Polisi Malaysia cuma bisa mencak-mencak.

Alih-alih praktek haram itu terhenti. Justru cerita sukses Batam itu menginspirasi munculnya tempat transit baru, Sabang dan Pontianak, sebagai pelabuhan yang siap mengirim mobil bodong ke pasar gelap. Siapa berminat?

Putut Trihusodo, Heru Pamuji, dan Bambang Sukmawijaya
[Laporan Utama, GATRA, Edisi 4 Beredar Jumat 5 Desember 2003]

No comments:

Post a Comment