Kamis, 19 Desember 2002.
AFTA dan Regionalisasi Ekonomi di Asia TimurAri A.
Perdana PENELITI CSIS, PENGAJAR FEUI
Pada 1 Januari 2003 mendatang,
kesepakatan ASEAN Free Trade Area (AFTA) sudah setahun berlaku secara efektif di
enam negara anggota awal. Dibentuk pada 1992 pada KTT ASEAN IV di Singapura,
AFTA bertujuan meningkatkan daya saing negara-negara ASEAN di pasar
internasional. Selain itu, AFTA juga diarahkan untuk meningkatkan perdagangan
intrakawasan, yang pada akhirnya membuat kawasan Asia Tenggara makin menarik
bagi investasi asing.
Namun, tak bisa dihindari adanya kesan bahwa
pembentukan AFTA lebih merupakan reaksi ASEAN atas percepatan implementasi
perdagangan bebas di tingkat global, ditandai oleh pembentukan Organisasi
Perdagangan Dunia (WTO). AFTA juga dibentuk menyusul tren pembentukan blok-blok
kerja sama di kawasan lain seperti NAFTA dan APEC. Artinya, adanya AFTA lebih
merupakan pragmatisme ketimbang didasarkan atas suatu ide atau desain yang
komprehensif. Ini menjadikan nuansa politis sering lebih banyak berperan
dibandingkan kalkulasi ekonomi.
Mengutip Soesastro (2000), AFTA adalah
sebuah kerja sama ekonomi yang didorong oleh motivasi politik. Apalagi, setelah
hampir 10 tahun AFTA disepakati, dan hampir 30 tahun ASEAN dibentuk, integrasi
ekonomi di antara anggotanya belum mencapai suatu tingkat ketika satu sama lain
merupakan partner ekonomi yang dianggap penting.
Ada beberapa hal yang
terkait dengan kesan seperti itu. Pertama, dorongan untuk meningkatkan kerja
sama ekonomi di antara anggota sering kali diimbangi oleh daya tarik untuk
menjalin hubungan yang lebih erat dengan negara di luar anggota. Contohnya,
pembentukan sejumlah Free Trade Area (FTA) bilateral antara Singapura dan
Selandia Baru, Australia, dan Jepang.
Kedua, pemerintah sebuah negara
yang melihat integrasi ekonomi sebagai keuntungan dari sisi politis cenderung
ingin mempercepat proses integrasi lebih cepat dari jalur yang alami. Contohnya
adalah keinginan Brunei beberapa tahun lalu untuk mempercepat
No comments:
Post a Comment