Rabu, 12 April 2006.
Menekan Mark Up Pengadaan Alutsista
Urusan membeli senjata di republik ini biasanya harus melalui jalan yang panjang. Biasanya berbuntut panjang pula, dan melahirkan kasus korupsi karena penggelembungan dan pengemplangan. Di masa lalu, kasus-kasus korupsi tak pernah tersentuh. Para rekanan TNI yang menjadi penyedia senjata pun dengan suka rela berbagi-bagi komisi hasil mark up dengan para oknum militer. Sebelumnya kasus-kasus seperti itu jarang sekali terungkap karena pembelian senjata selalu dilakukan oleh tiap angkatan. Maka, Menteri Pertahanan, Juwono Sudarsono, mulai menutup pintu-pintu pembelian alat utama sistem persenjataan (alutsista) dari tiap angkatan. Melalui Kepmen nomor 1/20005 dan nomor 5/2005, Juwono hanya menyisakan satu pintu di Departemen Pertahanan (Dephan). Namun ternyata langkah itu belum cukup ampuh untuk menangkal para pemburu rente. Dikhawatirkan kolusi akan berpindah dari barak tentara ke gedung Dephan. Karena dana pembelian alutsista semua angkatan dikuasai oleh Dephan. Seperti !
korupsi Rp 21 miliar dalam pembelian helikopter MI-17 yang saat ini ditangani oleh Kejaksaan Agung. Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor) yang pertama kali mengusutnya telah menyatakan keterlibatan pejabat Dephan. Kasus ini sebenarnya terjadi sebelum diterapkannya Kepmen no 1/2005 itu. Maka, jurus lain pun ditempuh. Kini, Dephan sedang mempersiapkan revisi Kepmen no 1/2005 tentang pembelian alutsista dari luar negeri dengan kredit ekspor (KE) dan Kepmen no 15/2005 tentang pengadaan barang dan jasa secara umum atau dengan APBN murni (non KE). Kedua peraturan itu baru berumur satu tahun. Sekjen Dephan, Letjen Sjafrie Sjamsoeddin, mengatakan beberapa klausul seperti otoritas dan pengawasan ada yang belum masuk. Nantinya, pengawasan internal akan dilakukan oleh Inspektur Jenderal (Irjen) Dephan. Dephan juga akan lebih memprioritaskan pembelian barang dari pabrik ataupun dealer resmi. Jadi, bagaimana nasib para rekanan Dephan yang menjadi suplier barang atau j!
asa? Sjafrie meyakinkan para suplier yang bukan produsen (pabr!
ik) atau
penjual resmi barang tak akan diterima. Khusus untuk pembelian alutsista tetap lewat Dephan sedangkan pembelian barang-barang lain seperti seragam, ransum prajurit, kendaraan operasional menjadi tanggung jawab tiap angkatan. Pintu pembelian alustista dari luar negeri yang selama ini menjadi lahan jarahan utama para suplier tampaknya benar-benar akan ditutup rapat. Pembelian dilakukan dengan mekanisme government to government (G to G), atau Dephan hanya berurusan dengan agen resmi pemerintah atau pabrik pembuat alutsista. Menurut Aris Santoso, pengamat militer dari Intitut Studi Arus Informasi (ISAI), proses pengadaan alutsista dari luar negeri biasanya bermasalah karena melibatkan rekanan yang melakukan mark up. Kasus paling mencolok di zaman orde baru adalah pengadaan 100 tank Scorpion dari Inggris pada tahun 1994 senilai 160 juta poundsterling. Komisi Pemberantasaan Tindak Pidana Korupsi (KPK) menyatakan terjadi mark up oleh rekanan hingga 40 persen. Namun Indonesia Corru!
ption Watch (ICW) memberi angka lebih besar lagi. Thailand membeli satu tank Scorpion hanya 1 juta dolar sementara Indonesia 2,5 juta dolar AS. Tak jarang barang yang dibeli lewat rekanan itu dalam keadaan rusak. Seperti pembelian 2 helikopter MI-2 dari Rusia senilai 9,5 juta dolar AS untuk TNI AL pada tahun 2002. Helikopter itu tidak bisa terbang karena masalah suku cadang. Staf Litbang ICW Bidang Pertahanan dan Keamanan, Adnan Topan Husodo, menganggap pengadaan senjata cukup murah jika dilakukan secara transparan dan langsung ke produsennya melalui sistem G to G. Kenyataannya, pola itu jarang dilakukan. Rekanan masih dilibatkan dalam proses pengadaan. Anggota Komisi I DPR, Yuddy Chrisnandi, mendukung upaya G to G dalam pengadaan alutsista karena akan meningkatkan efisiensi. Menurut Yuddy, penggunaan rekanan biasanya menimbulkan penggelembungan anggaran karena ada biaya tambahan untuk survei dan entertainment (lobi). Namun dia mengingatkan kelemahan utama proses G to G ada!
lah cenderung tertutup dan tidak adanya fungsi pengawasan. Kar!
ena itu
dia meminta agar ada kemauan politik dari Dephan untuk bersikap transparan kepada DPR.
(rto )
No comments:
Post a Comment