Cari Berita berita lama

Republika - Juru Kampanye Dinar dari Cimanggis

Sabtu, 18 November 2006.

Juru Kampanye Dinar dari Cimanggis












Perawakannya yang kecil gampang mengecoh orang yang belum sempat berbicara dengannya. Begitu pula sikap kesehariannya yang mengesankan seorang pendiam. Tetapi ajaklah Muhaimin Iqbal bicara soal ekonomi syariah, atau tentang dinar, misalnya. Sekejap, kita akan menemukan bapak tiga anak itu berubah. Ia segera akan menjelma seorang CEO kelas wahid. Suaranya yang tegas, dengan intonasi tertata akan mengalirkan arus kata-kata yang tak mudah dibantah. Itulah Muhaimin Iqbal. Pembicaraan soal ekonomi syariah dan dinar,--yang juga telah memaksanya menulis buku dalam dua bahasa, Inggris dan Indonesia, itu seolah menjadi mantra yang bisa membuatnya 'bertiwikrama'. Itu pula yang terpampang di hadapan wartawan Republika Wulan Tunjung Palupi, dan fotografer M. Syakir, saat berbincang dengan Muhaimin di kantornya yang asri di kawasan Fatmawati, Jakarta Selatan, pertengahan pekan ini. "Menggunakan dinar itu penting karena menguntungkan kedua pihak yang bertransaksi," katanya, mengawal!
i pembicaraan. "Nilai mata uang kertas, bahkan dolar AS sekalipun, cenderung turun. Itu yang tidak pernah terjadi dengan dinar yang berbasis emas." Setelah itu obrolan dengan dirut PT Asuransi Bintang dan presiden komunitas pengguna dinar di Indonesia, DinarClub, itu pun mengalir deras. Petikannya. Apa kira-kira dampak turunnya BI rate terhadap industri asuransi tahun depan? Secara umum ada dua sisi. Walaupun BI rate turun, kalau industri asuransi hanya mengandalkan produk-produk yang ada, tidak akan ada perkembangan yang signifikan. Saya terus terang tidak merasa optimistis akan ada perkembangan berarti. Mengapa? Anda boleh lihat, pemain di sektor asuransi kerugian saja jumlahnya sekitar 90 perusahaan. Di asuransi jiwa, katakanlah, 50 lebih. Sedangkan kita lihat, produk yang ditawarkan relatif sama. Sudah begitu hampir tanpa inovasi. Padahal pasarnya kan masih segitu-segitu saja. Jadi walaupun BI rate turun atau kalaupun bunga deposito semakin kurang menarik, pengaruhnya p!
ada industri asuransi tidak banyak. Namun di sisi lain, pasar !
asuransi
ini masih besar. Bagi pihak-pihak yang kreatif menciptakan hal baru, pasar yang belum tergarap masih amat terbuka. Menurut Anda, apa yang menyebabkan industri asuransi kita sulit berkembang? Sekarang ini masih banyak produk yang belum berorientasi kepada kebutuhan. Perusahaan asuransi cuma menawarkan apa yang bisa mereka buat. Kalau produk didasarkan pada kebutuhan konsumen, orang pasti akan tertarik. Bintang pernah berada di puncak krisis. Waktu itu industri asuransi kita begitu terpuruk. Dengan yakin, pada 1998 kita keluarkan produk asuransi yang sampai sekarang pun belum memiliki pesaing. Kita mengeluarkan asuransi yang mengcover terorisme dan sabotase. Apa yang membuat Anda berkesimpulan bahwa saat ini belum banyak produk asuransi yang menjawab kebutuhan masyarakat? Ambil contoh. Misalnya produk asuransi jangka panjang. Mengapa produk itu masih susah dijual? Karena nasabahnya belum merasakan nilainya. Contoh kasus yang gampang, ada seorang rekan yang membeli produk asur!
ansi pendidikan. Saat anaknya lahir tahun 1988, ia beli produk yang harganya Rp 22,5 juta, yang akan jatuh tempo pada saat anaknya masuk perguruan tinggi, 18 tahun kemudian. Ia memaksakan diri membayar premi bulanan, yang saat itu memotong hampir 20 persen dari gajinya. Ia ingin anaknya mendapat jaminan pendidikan yang baik. Ketika jatuh tempo tahun ini, si anak diterima di ITB. Perusahaan asuransi memang membayar kewajibannya. Namun jumlah yang diterima itu masih jauh dari cukup untuk membayar biaya pendidikan di ITB. Uang Rp 22,5 juta itu hanya cukup membayar separuh dari uang muka. Jadi, produk jangka panjang yang ada, tidak menjawab kebutuhan yang ada. Ada yang salah di sini, tentu. Bukankah itu karena persoalan inflasi, yang memang wajar terjadi? Ya, karena memang sulit memprediksi faktor-faktor itu dalam beberapa puluh tahun mendatang. Tapi ada masalah lagi yang lebih mendasar. Teman-teman di industri syariah, terutama, mereka berupaya mencari produk yang bebas dari h!
al-hal yang tidak jelas (ghoror), sehingga bisa lebih adil. Sa!
ya sendi
ri berpandangan, persoalannya terletak pada soal mata uangnya. Pada rujukan yang baku. Dengan contoh kasus di atas, uang senilai Rp 22,5 juta itu pada 1988 ekuivalen dengan 227 dinar. Sedangkan di tahun 2006, Rp 22,5 juta hanya setara dengan 32 dinar. Jika rekan tadi membeli produk asuransi berbasis dinar, maka ketika cair ia akan menerima Rp 161 juta. Ini bukan cuma cukup membayar uang masuk ITB, bahkan bisa membiayai pendidikan hingga selesai. Bisa dijelaskan mengapa bisa begitu? Mata uang dinar itu baku, tidak terdevaluasi. Dari zaman kekhalifahan Umar Bin Khattab sampai sekarang standarnya sama: satu dinar setara 4,25 gram emas 22 karat. Sedangkan dirham adalah perak murni yang beratnya 2,975 gram. Dulu di zaman Rasulullah, harga kambing itu 2 dinar. Saat ini 2 dinar itu kurang lebih Rp 1,4 juta rupiah. Nah, sebenarnya ini kan sebuah peluangnya apa bagi industri asuransi. Hingga saat ini belum ada produk asuransi yang menggunakan dinar. Makanya saya meng-encourage kawan-!
kawan. Banyak sekali yang mesti dipersiapkan. Tentu saja mereka harus bisa membuka rekening dalam dinar juga kan. Di Kelantan, Malaysia, sudah bisa membuka rekening dinar. Memang dalam satu negara tidak boleh ada dua mata uang. Tapi kalau sebagai simpanan, mestinya boleh. kalau dolar saja boleh, mestinya dinar juga boleh. Apa saja kendala yang dihadapi sebelum dinar bisa masuk industri keuangan kita? Yang paling jelas, di bank kita belum bisa membuka rekening dinar. Juga berbagai kendala regulasi yang ada. Sebenarnya kita sudah sama-sama bergerak, dunia asuransi, begitu juga teman-teman di perbankan. Paling awal, kita berupaya agar bank bisa menerima uang dinar. Masak seperti zaman dulu, kalau mau membayar kita harus membawa-bawa uang sekian banyak? Di dunia asuransi, kita kan menghindari apa yang disebut currency mismatch. Kalau perusahaan asuransi punya produk dalam dinar, maka dananya juga harus dalam dinar. Saya belum tahu sikap BI bagaimana. Tugas saya mendidik industr!
i asuransi, kawan-kawan di perbankan bertugas menyosialisasika!
nnya pad
a regulator perbankan. Selain hal tadi, adakah contoh konkret soal penggunaan dinar ini? Secara individual, bukan sebagai alat transaksi, sudah banyak dari kita yang menggunakan dinar. Itu merupakan peluang kita untuk mandiri, bebas dari permainan mata uang. Lihat saja, bahkan dolar AS saja tidak stabil nilai tukarnya. Misalnya saya membeli produk asuransi pada 1996 seharga 100 ribu dolar, jatuh tempo 19 tahun kemudian yaitu di 2006. Jika pada 1996 uang 100 ribu dolar bisa membeli 258 ons emas, pada 2006 hanya dapat 160 ons. Kalau dulu banyak orang orang menganggap ini sebagai kenyataan hidup, sekarang sudah mulai banyak gerakan yang mempertanyakan hal itu. Kita tidak sadar bahwa saat ini kita sudah berada dalam krisis seperti di 1998. Kenapa kita tidak sadar, karena jika patokannya adalah dolar AS, nilai dolarnya sendiri juga bergerak. Tidak menggunakan benchmarking yang tetap. Yang kita gunakan sebagai patokan juga sesuatu yang tidak tetap, rapuh dan bergerak. Berkaitan de!
ngan industri asuransi syariah saat ini, bagaimana Anda melihatnya? Saya lihat perkembangannya belum memuaskan. Ada potensi yang luar biasa besar, yang membuat industri asuransi syariah bisa booming kapan saja. Misalnya begini, tiap kali ada restoran waralaba baru yang masuk Indonesia, mereka pasti mencari sertifikasi halal. Pasalnya, bila terbukti haram, mungkin akan dijauhi orang. Itu membuktikan orang sudah sadar dalam hal makanan, dengan mencari yang halal. Di industri keuangan, kesadaran itu belum terjadi sepenuhnya. Nah, saat masyarakat paham dan sadar, itulah saat industri asuransi syariah booming. Ini sangat potensial. Menurut Anda, apa yang membuat industri asuransi kita nyaris jalan di tempat? Inovasi. Miskin inovasi. Bayangkan, ada sekitar 100 pemain di industri asuransi. Mereka semua menawarkan produk yang sama. Apa kelebihan produk mereka satu sama lain? Hampir tidak ada. Selanjutnya yang terjadi adalah banting harga, perang premi. Karena itu, bila terus melaku!
kan cara-cara konvensional, industri asuransi kita akan lambat!
berkemb
ang. Dalam hal produk, pelayanan, mesti ada inovasi. Dari situ akan ada peluang. Sekarang banyak pemain, inovasi sangat jarang. Kenapa pemahaman masyarakat tidak banyak berkembang, begitu saja dari dulu? Tidak lain karena produknya juga tidak mengandung inovasi. Kami masih mendingan, kami bisa mengcover sabotase dan terorisme. Sejak 1999 sampe sekarang, baru satu pemegang asuransi itu yang membatalkan. Kontribusinya sekarang 26 persen dari premi. Dalam waktu dekat rencananya kita akan luncurkan produk asuransi kesehatan syariah. Idealnya, berapa banyak pemain bisa hidup di industri asuransi? Kalau para pemain yang sekarang beroperasi bisa mengeksplorasi pasar yang ada, potensinya masih sangat besar. Contoh kecilnya saja, daerah pinggiran Jakarta seperti Depok, Bekasi, Tanggerang, ada berapa perusahaan asuransi yang punya kantor di sana? Tidak banyak. Padahal di sana itu daerah potensial. Kalau produk konsumen, minuman misalnya, orang membeli setelah melihat iklan dan tahu te!
mpat pembelian. Sedangkan untuk asuransi, masih banyak yang tidak tahu dimana bisa membeli. Jadi kalau mau berusaha keras, pasarnya masih sangat luas. Mengenai Asuransi Bintang sendiri, berapa atau apa target untuk 2007? Untuk 2007 target pertumbuhan premi sekitar 25 persen, dengan harapan didorong produk kesehatan syariah yang akan kita luncurkan. Pada 2006 sendiri asuransi kebakaran masih 50 persen dari premi, disusul asuransi terorisme dan sabotase, dan asuransi kerugian. Tahun ini kami tumbuh sekitar 10 persen, Rp 190 miliar. Asuransi kan bukan seperti kita jual mobil atau makanan, dimana makin banyak yang kita jual, makin besar untungnya. Walau kita jual sebanyak mungkin, kalau coverage price-nya tidak sesuai, justru berpeluang rugi. Tentang dinar, adakah negara lain yang sudah berhasil memasukkan penggunaan ke dalam industri keuangan mereka? Yang benar-benar berhasil memang belum ada. Tapi saya melihat banyak gerakan ke arah itu. Sederhana saja, masih banyak orang mem!
andang ini aneh. Saat ini orang terlena, tidak sadar bahwa kit!
a tengah
dilanda krisis. Masalahnya yang dijadikan tolak ukur keberhasilan ekonomi juga bergerak. Cadangan devisa dalam dolar AS diatas 40 miliar dolar, nilai tukar rupiah atas dolar membaik dibandingkan 1998. Tapi itu karena dolarnya sendiri nilainya berkurag. Sama saja kita mengukur keberhasilan, tapi alat ukur keberhasilannya itu bergerak. Mau lompat tinggi, kita berhasil lompat, tapi kalau standar yang dipakai 10 tahun lalu dan saat ini berbeda jadi lebih rendah , ya bukan berhasil namanya. Muhaimin Iqbal -Nganjuk 17 Maret 1963 -Alamat: Griya Tugu Asri A3/3 Cimanggis Depok -Menikah dengan 3 anak (Qurrota A'yun, Choirunnisa Humairo, Ilma Amalia Qona'ah) -Pendidikan dan afiliasi: Agricultural Engineer, IPB Chartered Insurer-CII , London, UK Fellow of Insurance Insitute of New Zealand Hobi: fotografi, menembak (sempat ikut klub menembak) -Presiden Direktur Asuransi Bintang -Ketua Islamic Insurance Society -Presiden DinarClub (komunitas para pengguna dinar emas).
( )

No comments:

Post a Comment