Senin, 23 April 2007.
Pungutan, Pungutan, Pungutan
Sekolah-sekolah di Indonesia dinilai masih korup.
Sekolah di negeri ini sarat pungutan. Pungutan sudah menunggu sejak anak belum lagi menginjakkan kaki di sekolah. Macam-macam pungutan itu. Ada uang bangku, uang gedung, dan lain-lain. Di tengah jalan, mereka harus sering mengganti buku pelajaran. Menjelang lulus, pungutan atas nama ujian dan perpisahan pun kembali menghadang. Sampai kapan terus begini? Ironisnya, pungutan tetap semarak kendati telah ada sejumlah subsidi seperti Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dari APBN dan Bantuan Operasional Pendidikan (BOP) dari APBD. BOS ini terdiri atas BOS reguler dan BOS buku. Masih ada pula sumber pendanaan lain yang masuk ke sekolah seperti sumbangan rutin bulanan (SRB) dari siswa dan donasi pihak ketiga. ''Turunnya BOS dan BOP tak mengurangi pungutan di sekolah. Sekolah-sekolah di Indonesia sampai saat ini masih menjadi pasir hisap, masih korup. Sudah ada BOS dan BOP, sekolah malah menciptakan item-item pungutan baru,'' kata Manajer Divisi Monitoring Pelayanan Umum Indon!
esia Corruption Watch (ICW), Ade Irawan, kepada Republika, di Jakarta, pekan lalu. Korupsi di sekolah itu, ungkap Ade, antara lain terjadi lewat modus pembiayaan ganda (double budgeting). Ada kegiatan pendidikan yang sudah dibiayai dari APBN dan APBD, tapi tetap dipungut dari orang tua. Sayangnya, kata dia, pungutan-pungutan itu juga lahir dari perkongsian kepala sekolah dengan komite sekolah yang seharusnya mewakili kepentingan orang tua. Survei ICW pada tahun 2005 --bersamaan dengan turunnya dana BOS untuk pertama kalinya-- setidaknya memperlihatkan hal itu. Saat itu, ICW menyigi sejumlah sekolah dasar (SD) di Jakarta, Garut, dan Kupang. Hasilnya cukup membuat miris: Setiap tahun, orang tua murid menghabiskan sekitar Rp 3,4 juta untuk sekolah anaknya. Itu baru untuk biaya satu orang anak SD! Dana Rp 3,4 juta itu secara umum terbagi dua. Sebanyak Rp 1,5 juta adalah biaya yang langsung dikeluarkan untuk sekolah seperti iuran komite, buku pelajaran, pendaftaran ulang, dan!
kegiatan ekstrakurikuler. Sebanyak Rp 1,9 juta untuk membiaya!
i kegiat
an pendidikan yang tidak secara langsung diberikan kepada sekolah. Misalnya uang transportasi, tas, dan seragam. Saat survei dilakukan setahun kemudian di 10 daerah, hasilnya tetap tak jauh berbeda. Padahal dana BOS sudah hampir dua tahun menyisip ke kas sekolah-sekolah. Ke-10 daerah yang disurvei ICW pada tahun 2006 adalah Jakarta, Tangerang, Garut, Padang, Banjarmasin, Sumba Barat, Lombok Tengah, Bau-bau, Makassar, dan Manado. Hasil yang setali tiga uang juga didapatkan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) saat menggelar Bulan Pengaduan Pendidikan pada periode Mei-Agustus 2006. Ada 123 laporan yang masuk dan sebagian besar soal pungutan. Pungutan dikeluhkan karena sangat beragam, pengambilan keputusan pungutan tidak partisipatif, besaran pungutan, serta lemahnya akuntabilitasnya. Turunnya BOS, seharusnya memang meringankan. Sebab sejumlah item yang selama ini menuntut pembiayaan dari orang tua murid, sudah bisa di-cover oleh BOS. Antara lain biaya penerimaan siswa !
baru, ulangan harian, ulangan umum, ujian sekolah, listrik, air, telepon, honor bulan guru honorer, pembelian buku teks di luar BOS buku, bahan-bahan habis pakai, bahkan uang transportasi bagi siswa tidak mampu. Manajer BOS DKI Jakarta, Bemmy Indianto, bahkan berani menyatakan bahwa turunnya BOS didampingi BOP dari Pemda DKI Jakarta yang mengucurkan 20 persen APBD--nya untuk pendidikan sudah bisa membuat banyak sekolah di DKI Jakarta digratiskan. ''Seharusnya tidak ada pungutan lagi,'' katanya. Kenyataannya, hitung-hitungan itu masih jauh panggang dari api. Teguh Imawan, ketua Badan Pengurus Aliansi Orang Tua Peduli Transparansi Dana Pendidikan (Auditan), juga menilai turunnya BOS, BOP-apalagi ditambah SRB dan donasi pihak ketiga sudah bisa menekan pungutan. ''Tapi itu kalau penyusunan APBS (anggaran pendapatan dan biaya sekolah, red) dibuat transparan. Sayangnya APBS sering jadi rahasia sekolah,'' keluhnya. Prof Suyanto PhD, Direktur Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar !
dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional, membantah anggapa!
n sekola
h-sekolah di Indonesia masih korup. Menurut dia, dugaan itu terlalu didramatisasi, karena tidak bisa menunjukkan data kuantitatif. ''Yang tidak melakukan pungutan kan tidak diberitakan,'' katanya kepada Republika, pekan lalu. Sambil mengungkapkan data hasil penelitian, Suyanto membantah hasil survei yang mendiskreditkan BOS. ''BOS itu tepat sasaran, tepat jumlah, dan tepat waktu. Efektivitasnya sampai 95 persen,'' katanya. Salah satu dampak BOS yang bisa langsung terlihat, kata Suyanto, adalah meningkatnya kesejahteraan guru dan berkurangnya jumlah siswa yang putus sekolah (drop out). Soal masih adanya pungutan-pungutan untuk keperluan sekolah, Suyanto menilai sebagian masih bisa dimengerti. Sebab pendidikan di Indonesia sampai saat ini masih dibiayai di bawah standar atau underfinance. Unit cost seorang anak SD per tahun, kata dia, seharusnya Rp 1,2 juta. Tapi, sampai saat ini, BOS baru bisa memberi Rp 245 ribu untuk setiap anak SD per tahun. Karena itu, kata dia, bila sek!
olah ingin meningkatkan kualitas, harus ada subsidi. Bisa dari BOP pemda, bisa dari perusahaan, bisa pula dari orang tua murid. ''Ongkos kualitas itu memang mahal. Itu sebabnya sekolah-sekolah swasta yang baik-baik itu mahal,'' katanya. Hanya saja, ke depan, Suyanto mengatakan pungutan-pungutan itu perlu dibenahi lewat standardisasi biaya pendidikan.mg01/run Dana BOS Tahun Jumlah 2005 Rp 2006 Rp 10,3 triliun 2007 Rp 11,2 triliun
( )
No comments:
Post a Comment