Cari Berita berita lama

Republika - Boarding School Bukan Tempat Penitipan Anak

Senin, 21 Januari 2008.

Boarding School Bukan Tempat Penitipan Anak






Sekolah di asrama memupuk kemandirian dan meningkatkan kecerdasan emosi.





Anak-anakmu, kata penyair Khalil Gibran, laksana anak panah. Dan, para orang tua--tulis Gibran dalam Cinta, Keindahan, Kesunyian--adalah busur panah,''Yang membidikkan ke mana anak panah akan meluncur.'' Namun, Gibran juga mengingatkan bahwa anak-anakmu bukan sepenuhnya milikmu. Mereka akan melangkah kemana mereka mau. Sejak lulus SD pertengahan 2006, Arif (11 tahun) tak lagi tinggal di rumah. Orangtuanya mengirim dia ke sekolah berasrama (boarding school) pesantren Urug Nangoh di Kecamatan Bayongbong, Kabupaten Garut, yang berjarak puluhan kilometer dari kediamannya. Hingga pada sebuah shubuh, di bulan ketiga mesantren, Sarifah (33 tahun), ibu Arif, dikejutkan oleh kemunculan buah hatinya itu di depan pintu rumah. Wajah Arif kusut. Tangan kanannya menenteng tas kecil berisi pakaian. ''Kok kamu pulang? Kan libur dua bulan lagi,'' ujar Sarifah menirukan, Kamis (17/1). Arif bungkam. Anak yang tak pernah menangis itu sekonyong-konyong berlinang air mata, lantas masuk ke!
dalam kamar. Pertahanan jiwanya bobol : Arif didera home-sick yang tak tertanggungkan. Meski ia kembali ke pesantren sepekan kemudian, toh, setelah 1,5 bulan ia kembali kabur dari asrama dan tak pernah kembali. Belasan juta rupiah sempat dirogoh Elly Risman dari koceknya untuk memasukkan anak bungsunya ke boarding school. Tiga tahun sudah Elly mempersiapkan anaknya agar cukup tangguh bersekolah dan hidup di asrama. Sayangnya,''Dia keluar tiga bulan kemudian karena selalu sakit,'' tutur psikolog dari Yayasan Buah Hati itu. ''Apakah itu migrain, sesak nafas, jantung, atau mag,'' lanjutnya. Ini, menurut Elly, merupakan ekses lantaran anak tak tahan berpisah dengan ibunya. (Republika, 22/6/2003) Boarding school kian berjamuran di negeri ini. Yang terbilang fenomenal adalah pondok pesantren Al Quran KH Abdullah Syafi'ie Assyafi'iyah, Pulo Air, Sukalarang, Sukabumi, yang menyediakan boarding school untuk siswa TK! Selama berada di asrama, para santri didampingi oleh wali asrama!
sebagai pengganti orangtua. Tingkatan TK sampai SD kelas IV d!
idamping
i sepasang suami istri, sementara di atas Kelas IV SD hingga tingkatan SMA hanya didampingi seorang pendamping. Tentu saja, model sekolah jauh dari orangtua--yang di AS sudah ada sejak 1786--itu harus berhadapan dengan dunia anak yang bagaikan jaring laba-laba : rapuh. Elly, belajar dari pengalaman, tak setuju jika anak-anak harus terpisah jarak dan emosi dari orangtuanya, terlebih pada usia dini (0 hingga 8 tahun). Pada masa-masa krusial ini,''Seharusnya bejana jiwa mereka harus diisi kasih sayang, terutama sentuhan ibu,'' kata Elly, Rabu (16/1). Toh, sekolah-sekolah berasrama laris manis. Alih-alih berperan sebagai tempat penitipan anak, orangtua menganggap boarding school sebagai oase yang sejuk. Ada satu hal yang pasti dari sekolah-sekolah asrama : anak-anak dipantau selama 1x24 jam. Di pesantren Ibnu Salam, Nurul Fikri, Banten, misalnya, para guru dan staf sekolah bahkan turut mondok di asrama. Mereka mengawasi si upik atau si buyung dari segala penjuru mata angin : mu!
lai dari laporan akademis hingga absensi shalat tahajud. Di boarding school, anak-anak ini memiliki orang tua pengganti yang, boleh jadi, lebih awas ketimbang orang tua mereka sendiri yang sibuk mencari nafkah. Maka pengawasan penuh ini laksana benteng yang kokoh dari serbuan virus kenakalan remaja. Paling tidak,''Narkoba atau seks bebas nggak bakal lah masuk asrama,'' kata sekertaris yayasan Nurul Fikri, M Damiri. Bandingkan jika anak-anak tinggal di 'alam bebas'. ''Peluang terpapar hal-hal negatif dipastikan jauh lebih besar,'' katanya. Pantas jika orangtua, terutama yang supersibuk, lebih tentram mengkuasakan pendidikan anaknya di boarding school. Kontrol moral adalah satu hal. Kemandirian pada anak adalah lain hal. Yang terakhir ini, menurut Fuad Nashori, dekan Fakultas Psikologi dan Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia (UII), khasiat boarding school yang diyakini banyak orang tua. Tinggal di asrama, anak dituntut mengandalkan kemampuan diri sendiri dalam menyele!
saikan seluruh masalah. Situasi ini berbeda dengan di ruma, ta!
tkala pe
lbagai keperluan anak umumnya disediakan orangtua. ''Atau diselesaikan pembantu rumah tangga,'' katanya. Bukan cuma itu. Mustaghfirin, kepala SMP boarding school Internat Al Kausar, Sukabumi, menyebut boarding school sebagai 'sekolah kehidupan'. Di asrama, anak belajar menyesuaikan diri dengan pelbagai kondisi yang tidak ditemuinya di rumah. Anak, misalnya, harus belajar makan bareng dengan lima rekannya, jika sebelumnya cukup bertoleransi dengan saudaranya yang mungkin cuma satu orang di rumah. Jika diterapkan dengan baik, kata pengamat pendidikan Prof Dr Arief Rahman, Mpd,''Ini bisa meningkatkan emotional quotient (EQ) anak.'' Hal senada diamini Fuad Nashori. Tak mudah bagi anak-anak hidup bersama orang lain. Kesempatan tinggal selama 24 jam sehari memungkinkan mereka peka terhadap kondisi emosi teman-temannya. Hal ini,''Membantu anak untuk mengembangkan kecerdasan emosinya,'' tambah Fuad. ''Mereka disadarkan oleh situasi bahwa setiap orang memiliki cara berpikir dan cara !
bertindak yang khas, yang unik.'' Pelajaran menyesuaikan diri inilah, tambah Mustaghfirin, bab penting dari studi tentang hidup. Hasilnya, begitu keluar dari sekolah, kata Mustaghfirin, anak-anak tidak canggung lagi menghadapi keberagaman dalam masyarakat. Soal /home sick/? Itu bukan perkara. Seperti pepatah 'Alah bisa karena biasa',''Awalnya saya memang sedih harus berjauhan sama orangtua,'' kata pelajar kelas 3 SMP, Humaira Fathma Gardilla (13 tahun),''Tapi lama kelamaan jadi biasa,'' lanjut putri anggota DPR RI yang sudah setahun belajar di pesantren Al Quran KH Abdullah Syafi'ie Assyafi'iyah, Pulo Air, Sukabumi,. Jauh-jauh dari Jakarta, Humaira memang ingin menempa dirinya menjadi sosok remaja tangguh. Diakuinya, tinggal di boarding school merupakan pilihannya sendiri. Lihat apa yang ia peroleh kini : Humaira telah memulai aktifitas rutinnya sejak 03.30 WIB!, jauh lebih pagi ketimbang teman-teman seusianya. Ia baru berhenti belajar dan beraktifitas pukul 21.00 WIB. Jad!
wal kegiatannya padat dan menerapkan disiplin ketat. ''Kedisip!
linan me
mang kunci penting untuk hidup sukses,'' tambah Fuad Nashori. Tapi Elly Risman kurang sepakat. ''Tubuh anak-anak tidak didesain untuk mengalami stres panjang,'' kata dia Rabu (16/1). Ia juga mengingatkan agar orang tua tak merampas masa bermain anak-anak. Setidaknya, tutur dia,''Jangan rampas terlalu cepat.!'' ind/nri/rig/ren/vie/imy Membedah Isi Perut Sekolah Asrama Ada kultur unik yang disodorkan boarding school. Berbeda-beda, tetapi memiliki kemiripan secara prinsipil : yakni sama-sama membangun tembok tebal untuk melindungi anak didik dari pengaruh buruk lingkungan. Mari kita tengok secara sekilas apa yang terjadi di dalam sejumlah sekolah-asrama itu. Pesantren Ibnu Salam, Nurul Fikri Boarding School Kampung Cihideung, Serang, Banten Pembinaan aqidah dan akhlak menempati porsi besar di pesantren ini. Inilah alasan ponpes Nurul Fikri bagai mengisolasi diri ke tempat terpencil, jauh dari hiruk pikuk kota. ''Kita ingin menciptakan lingkungan kondusif untuk menempa jiwa m!
ereka,'' kata M Damiri, sekretaris yayasan ponpes Ibnu Salam. Lebih jauh, tujuan pembinaan 'tertutup' selama 6 tahun (SMP hingga SMA) ini adalah untuk menciptakan imunitas (kekebalan) dalam diri anak didik supaya tak mudah terpapar oleh nilai-nilai destruktif yang berseliweran di 'dunia luar'. Ada 430 siswa di sini dan 65 guru. Pengawasan terhadap siswa didik dilakukan 24 jam. Guru dan staf sekolah ikut menginap di asrama. Setiap guru secara khusus memantau 7 hingga 12 anak didik. Yang dipantau antara lain kegiatan belajar anak saban hari, kedisiplinan, absensi shalat lima waktu, hingga shalat tahajud. Ponpes ini memiliki 14 asrama. Setiap asrama memiliki dua orang keluarga guru yang bertugas sebagai wali asrama. ''Para wali asrama bisa melakukan inspeksi mendadak untuk memeriksa barang-barang apa yang ada di dalam kamar siswa,'' ujar Damiri. ''Kita ingin memastikan tak ada barang yang macem-macem.'' Ponsel dilarang di lingkungan pesantren. Kecuali pada dua hari terakhir !
saban pekan. Itu pun hanya untuk menghubungi orang tua. Ini di!
latarbel
akangai kekhawatiran akses terhadap kawan-kawan lama siswa bisa memberi dampak negatif. Dua tahun ke belakang, internet diberlakukan di sini. ''Kita sempat kewalahan juga,'' kata Damiri. ''Tapi kita beri pemahaman agar siswa tak berinternet untuk macem-macem.'' Merokok dilarang keras. Pengawasan terhadap interaksi anak-anak diawasai secara ketat untuk menghindarkan adanya praktik bullying. Anak-anak hanya diperbolehkan keluar asrama tiga kali dalam setahun, antara lain saat libur ramadhan (tiga minggu), libur semester (dua minggu) dan libur kenaikan kelas (tiga minggu). Usai liburan para guru harus 'bekerja keras' untuk kembali mempertebal iman dan aqidah para siswa didik. Sebab,''Kadang-kadang ada pengaruh dari teman lama.'' imy/vie Pesantren Al-Qur'an KH Abdullah Syafi'i Assyafi'iyah Pulo Air, Sukalarang, Sukabumi Sejak mesantren di sini, Humaira Fathma Gardilla (13 tahun) sudah terjaga pukul 03.30 WIB. Saat itulah proses belajar dimulai : Humaira mengikuti latihan bahasa!
Arab dan menjawab latihan soal bersama temannya sembari menunggu adzan shubuh. Usai shalat berjamaah, ia diharuskan mengulang dan menambah hafalan Al-Qur'an. Kegiatan belajar kembali bergulir sejak pukul 07.00 WIB dan baru berhenti pukul 21.00 WIB. Pelbagai materi dilahap sepanjang hari, dari program kepesantrenan, tahfidz dan takhasshus, komputer, olahraga, pembinaan Al-Qur'an dan tahfidz, serta materi akademik umum. ''Kita ingin membentuk lulusan yang kuat di agama dan di pendidikan formalnya,'' kata kata Kepala Sekolah SMP Islam HM Jamaludin, SE, MM. Aturan ketat diterapkan. Para siswa tak boleh membawa ponsel, tidak boleh menonton televisi kecuali hari libur (Ahad siang) dan tidak boleh ke luar lingkungan Ponpes. Siti Masruroh (18), pelajar asal Cikarang, Bekasi, mengaku cuma pulang ke rumah dua kali dalam setahun yakni saat libur semester dan Idul Fitri. Meski begitu, tambah Jamaludin, orang tua siswa diperkenankan menjengguk anaknya saban 40 hari sekali. Soal makana!
n, menurut Ira, menu yang disajikan Ponpes sudah cukup dan seh!
at. Maka
nan diantar ke masing-masing asrama sehingga para santri tidak perlu repot pergi ke kantin. rig SMP Internat Al-Kautsar Boarding School Parung Kuda, Sukabumi, Jawa Barat Ini boarding school untuk kalangan berkocek tebal. Tahun lalu, uang masuk per murid dipatok Rp 30 juta. Juli mendatang, jumlahnya naik menjadi Rp 32,5 juta untuk tiga tahun masa belajar. SPP setiap bulannya? ''Rp 3,25 juta,'' kata kepala sekolah Internat Al-Kautsar, Mustaghfirin. Biaya per bulan tersebut digunakan sebagai pengganti ongkos makan dan snack sehari dua kali, laundry, ekstrakurikuler, asrama, hingga study tour. Menu makanan dijamin bergizi. ''Kita punya konsultan gizi,'' tambah dia. Wajar mahal. Sekolah ini memang memiliki seabrek fasilitas, salah satunya adalah kolam renang dengan standar Olimpiade. Jumlah murid di sekolah berhawa sejuk ini 87 orang, sementara satu kelas dibatasi hanya untuk 20 murid. Sistem yang diterapkan adalah moving class atau murid berpindah kelas setiap kali mata pelajara!
n berubah. Internat Al-Kautsar, kata Mustaghfirin, ingin menelurkan siswa berkepribadian Islami, menguasai iptek, terampil dan mandiri. Meski ingin mempertebal kemandirian siswa, sekolah tetap memberi akses bagi murid berhubungan dengan orangtua. Keduanya dapat bersua saban dua pekan sekali. ''Anak boleh dibawa keluar asrama, tetapi harus dikembalikan paling lambat maghrib,'' tutur dia. Saban Sabtu hingga Ahad anak dibolehkan menerima telepon dari orangtuanya. Internat Al Kausar tak sembarang memilih guru. Guru anyar di sekolah ini mesti menjalani pendidikan psikologi remaja sebelum mengajar. Peran guru amat penting, terutama guru wali yang berfungsi sebagai pengganti orang tua. Mustaghfirin mengibaratkan guru wali seperti sahabat murid. Tempat murid berkeluh kesah dan bersikap terbuka tentang problem apa saja. Di Internat Al Kausar, satu guru wali memonitor 10 murid. Internat Al Kausar tak begitu saja menerima calon murid. Hasil tes psikologi menjadi penentu. Tes ini me!
ngukur kemampuan anak untuk sekolah dan tinggal dalam lingkung!
an asram
a. ''Kalau tidak bisa hidup susah, boleh jadi, anak itu tidak diterima,''terang Mustaghfirin. ind
( )

No comments:

Post a Comment