Rabu, 1 Pebruari 2006.
Menjalani 'Panggilan' & Nobel (Boston, Stockholm)
Jakarta, KCM
Kirim Teman | Print Artikel
Berita Terkait:
- Kisah Keluarga: Anak, Warisan & Jodoh (Amerika, Australia)
- Puaanass, Duingiin, Jalan-jalan (Eropa, Australia, China)
- Suami-suami, Sampah, Bbbrr... (AS, Australia, Swedia)
Hai pembaca,Isi kolom hari ini gado-gado ya. Bung Janto Marzuki tertarik menulis Nobel, tentu ada hubungannya dengan berita Presiden SBY dinominasi pemenang Nobel Perdamaian 2006.
Pria lain yang menulis adalah Bung Sarimin-San, meski tengah berada di luar kota, antara lain California dan Ohio, ia masih sempat membagi ilmunya untuk kita. Tulisannya masih bertema panggilan dan merupakan lanjutan dari 2 tulisan sebelumnya."Panggilan", Penyembuhan Holistik & Tanah Viking (Jakarta, Manila, Boston)dan Kehidupan Ilmuwan, Kisah Pedro & Christmas Season (Boston, St. Croix, Marseille)
Beragam tanggapan terhadap artikel yang dimuat kemarin, Kisah Keluarga: Anak, Warisan & Jodoh (Amerika, Australia), juga pengalaman Dwikoen di Eropa yang rumahnya dirampok, ikut mengisi kolom ini. Kira-kira perlu nggak ya, ia ikutlatihan menembak seperti Bung Rhodius di AS?
*************************
BAGIAN I: SURAT-SURAT ANDA
Bagaimana menjalani "Panggilan"?(Sarimin-San, Amerika)
Zeverina:
Ini bagian ketiga dari sekuel mengenai "Panggilan". Topik kali ini ialah "Bagaimana menjalani �Panggilan�?" Untuk menjalani panggilan tentu saja orang harus tahu panggilan hidupnya. Kebalikan dari orang yang tahu panggilan hidupnya adalah orang yang tidak tahu panggilan alias orang "bingung", ragu-ragu atau orang yang terombang-ambingkan ombak. Ini saya sedang menyentil diri sendiri karena saya juga sering bingung.
Mengenal sebuah panggilan bukan sebuah proses yang "ujug-ujug", melainkan diperlukan banyak waktu dan pengujian. Apa yang kita yakini sebagai sebuah "panggilan" bisa jadi bukanlah panggilan yang sebenarnya.
Waktu saya kanak-kanak di mBantul dulu, ada seorang ibu yang marah-marah karena merasa anaknya itu alim sekali (dan tentu saja pinter), tidurnya saja di mushola, aktif di pengajian, kegiatan muda-mudi masjid, tetapi setelah lulus Madrasah Aliyah, ternyata tidak diterima di IAIN. Pengalaman itu sering sekali kita alami, seperti misalnya kita melamar pekerjaan atau sekolah, dan merasa kitalah yang paling qualified untuk pekerjaan atau masuk sekolah tersebut, dan ternyata kita tidak diterima.
Ada banyak faktor mengapa orang menjadi "bingung" dengan panggilannya. Yang pertama, orang "bingung" karena mendengar banyak "suara" di sekitarnya, entah itu suara orang tua, suara teman, suara dosen/guru, dsb. Suara yang pertama adalah "pesan sponsor", seperti orang tua yang ingin anaknya menjadi dokter, lepas dari benar atau tidaknya anak tersebut memang terpanggil menjadi dokter. Suara kedua adalah apa kata orang mengenai talenta yang ada pada diri seseorang yang menunjang panggilan orang tersebut. Suara yang skeptik mengatakan, "Kamu harus tahu �batas kemampuan�mu" sedangkan suara yang optimistik, yang biasa digunakan oleh para motivational teacher, mengatakan, "Kamu harus memaksimalkan potensi yang ada dalam dirimu." Suara siapakah yang harus kita dengar?
Dulu waktu masih kanak-kanak di mBantul, keluarga saya beternak ayam kampung. Tetapi keluarga saya bukan satu-satunya; karena tetangga-tetangga pun banyak yang beternak ayam kampung. Namanya juga ayam "kampung" (jenis ayam yang tidak bisa dipelihara di kandang seperti ayam broiler), ayam-ayam itu kalau pagi "dilepas" untuk mencari makanan sendiri (berkeliaran di kampung) sedangkan kalau sore otomatis pulang kandang sendiri. Ya tidak semua... kadang-kadang seekor atau dua ekor tidak pulang, entah karena dicuri orang/binatang atau pulang ke kandang ayam milik tetangga.
Pada jam-jam tertentu (kalau tidak salah dua kali sehari), ayam-ayam ini kami "panggil" untuk kami beri makan. "Panggilan" tersebut sangatlah khas, sehingga hanya ayam-ayam milik keluarga saya yang datang untuk makan, dan ayam-ayam milik tetangga biasanya tidak ikut datang. Iya deh, seekor atau dua ekor ada yang ikut datang. Mengapa demikian? Karena sebelum mereka kami "lepas", mereka kami "latih" dulu dengan suara panggilan dari keluarga kami.
Sampai di sini pasti banyak di antara anda yang merasa dongkol, masak manusia disamakan dengan ayam? Tetapi ada sebuah kalimat religi yang berbunyi, "Seekor domba akan mengenali suara tuannya (bukan suara domba lain, tuan lain, atau suara serigala)." Bagaimana bisa mengenali? Karena mereka "dilatih". Namanya juga "latihan" seperti halnya latihan naik sepeda, pasti sering salah atau jatuh, dan diperlukan banyak waktu, tenaga dan kesabaran.
Sekarang mengenai "kemampuan" (talenta, bakat, kepinteran, dsb) yang mendukung panggilan kita. Mana yang benar: "kemampuan" kita itu sebenarnya "terbatas" atau "nyaris tanpa batas"? Menurut Sarimin-san, manusia sesungguhnya "dicukupkan dengan segala sesuatu" yang ia butuhkan untuk hidup menurut panggilan yang diberikan kepadanya. "Cukup" itu tidak "berlebih" atau tidak "berkekurangan", melainkan "cukup" saja... atau "just enough". Lalu... mengapa ada orang-orang yang prestasinya sangat eksepsional seperti Bill Gates atau Michelle Kwan? Itu karena "dampak" nya dalam masyarakat melalui apa yang mereka kerjakan sangat luar biasa. Media massa seperti CNNtidak pernah mengekspos secara besar-besaran, misalnya, seorang tukang becak di Yogyakarta yang melakukan manuver-manuver yang hebat (spinning and spiraling) di atas satu roda (dua roda lain diangkat) sebagaimana Michelle Kwan melakukan spinning and spiraling di atas es dengan satu kakinya. Tukang becak seperti itu, walaupun menu!
rut saya sangat hebat, tidak akan dikirim ke Olympiade atau dibayar jutaan dollar. Dibayar Rp 10.000 saja sudah untung.
Kalau demikian, perlukah manusia menimbulkan "dampak" yang luar biasa (gaji yang besar, kedudukan yang tinggi, menjadi terkenal, dsb) dalam masyarakat dalam menjalankan panggilannya? Inilah masalahnya! Sejak kecil kita dididik menjadi "komoditi". Waktu memilih jurusan di perguruan tinggi dulu, kita disuruh memilih jurusan yang "banyak dibutuhkan masyarakat (di masa depan)" dan bukan jurusan yang mempersiapkan kita untuk menempuh panggilan kita yang sesungguhnya. Makanya, jurusan-jurusan seperti Kedokteran, Hukum (di USA tentunya, sebab jurusan ini kalau di Indonesia tidak terlalu bergengsi), Teknik, dsb diserbu peminat dan tingkat persaingannya tinggi sekali.
Perguruan tinggipun didesak untuk menghasilkan lulusan-lulusan yang "siap pakai". Manusia diperlakukan seperti cabe rawit, beras, sayur-sayuran yang, seperti dituliskan oleh Rhodius dari Amerika, berlaku hukum "permintaan dan penawaran". Kalau permintaan besar tetapi penawaran kecil, komoditi itu akan "dihargai sekali" (digaji besar atau dibuat senang, kalau tidak...pindah ke perusahaan lain mah seperti membalik telapak tangan), seperti para software engineer yang datang ke Amerika dengan visa H1B pada masa "dot com boom" itu. Tetapi kalau permintaan kecil tetapi penawaran sangat banyak, seperti terjadi pada masa resesi, ya sudah...mereka yang pegang visa H1B tetapi kena lay-off harus menyanyi, "Pulangkan saja aku pada ibuku" atau kalau berani, main kucing-kucingan sama INS (Dinas Imigrasi AS) dengan cara bekerja secara ilegal di toko-toko7-11. Lha wong namanya juga "komoditi".
Sarimin-san secara pribadi tak pernah mau menjadi "komoditi". (Tetapi tentu saja orang kan beda-beda. Ada juga orang yang tidak keberatan menjadi komoditi.) Entah berapa kali Sarimin-san ditawari jabatan ini itu (termasuk di Indonesia ditawari jabatan tinggi) yang harus Sarimin-san tolak karena, walaupun menggiurkan, bukanlah panggilan Sarimin-san yang sesungguhnya. Bukannya tidak penting atau tidak mau membangun tanah air, tetapi ada orang lain yang lebih terpanggil untuk menjalankan tugas-tugas mulia tersebut. Kalaupun dipaksa, Sarimin-san akan menjadi pejabat yang kurang baik, yang performancenya buruk, yang nilai rapot dari rakyatnya akan merah dan akhirnya Sarimin-san pun akan merasa gagal dalam hidupnya.
Mungkin ada yang bertanya, "Belum dicoba kok sudah pesimis?" Jawab Sarimin-san, "Karena Sarimin-san mengenali panggilannya yang crystal clear". Sarimin-san dipanggil untuk menjadi dalang dalam kisah mengenai spin-spin elektron yang berdegenerasi dalam berbagai macam konjugasi molekul yang Insya Allah di Cambridge "nobody explains it �ndeso-er� (more ndeso) than Sarimin" melalui jargon-jargon yang Sarimin-san dapatkan di mBantul dulu sewaktu mengumpulkan empik (kutu daun yang berwarna-warni), bunga-bunga liar yang mirip alat kelamin pria atau nama-nama ikan yang Sarimin-san tangkap di kali bersama anak-anak kampung yang lain. Memang dengan panggilan seperti itu, Sarimin-san tidak digaji tinggi dan juga tidak pernah masuk koran (kecuali KCM) walaupun pada akhirnya Sarimin-san akan berbahagia sebab sudah menjalankan panggilannya dengan baik.
Salam, Sarimin-san, Cambridge, MA, USA (yang masih suka nyebur di Kali Charles/Charles River)
Catatan: Sarimin-san sangat berterimakasih kepada pembaca yang ingin berkorespondensi atau bahkan ingin bertemu. Karena kesibukan dan cah ndeso yang satu ini sangat pemalu karena �mrongos�... hehehe... untuk sementara Sarimin-san belum bisa menyediakan waktu. Tetapi, Sarimin-san berjanji untuk tetap menulis di kolom Zeverina ini, asal jangan dijadikan sinetron...hehehe... malu, ah!
******Nobel(Janto Marzuki-Swedia)
Mbak Zev,Baca Kompas dotcom"SBY Dinominasikan Untuk Hadiah Nobel Perdamaian 2006�, National 29/01/2006, 16:04 WIB.
Menarikkah bagi anda berita tersebut? Apanya yang menarik bagi saya, sebagai salah satu bangsa Indonesia yang tinggal di Swedia? Silahkan ikuti tulisan saya hari ini...
Kebanyakan dari kita penggemar KCM tentunya mempunyai anak, dan ingin sekali anak kita masuk sekolah untuk dapat belajar suatu ilmu pelajaran. Kita masukkan anak ke SD, kemudian SMP terus ke SMA. Kita mendapatkan rapor, tidak tahu berapa bulan sekali, yang menunjukkan kemajuan dan prestasi belajar anak-anak kita. Banyak dari kita yang memacu anak-anak untuk lebih pintar, mendapatkan rangking di kelas, juga disekolahnya. Kadang, menambah dengan mengirim anak kita sore/malam hari beberapa kali seminggu untuk mendapatkan pelajaran extra agar supaya semakin pintar dan mencapai prestasi yang anak (sering kita) inginkan. Semuanya dengan tujuan agar nantinya sianak dapat naik kelas, atau lulus dengan nilai yang memuaskan. Kita sebagai orang tua akan bangga akan prestasi mereka. Sayapun begitu juga, saya ingin anak saya pintar.
Tidak berhenti disini, setelah lulus SMA tentunya banyak yang mendorong anak untuk masuk PT (Perguruan Tinggi), kalau dapat PTN (Negeri) yang terbaik, kalau tidak yah, swasta tidak apa-apa dan tentunya yang sebaik mungkin reputasinya. Malahan banyak dari kita yang sampai mengeluarkan uang dengan jumlah yang sangat besar dan tidak terbayangkan bagi saya, saya yang tinggal di LN, uang sebesar itu hanya untuk ingin menyekolahkan si anak dengan harapan agar anak semakin pintar dan kemudian mendapatkan pekerjaan yang bagus, pekerjaan yang sesuai dengan bidang yang dipelajarinya plus kalau memungkinkan berhasil mendapatkan gaji yang besar pula.
Ada yang masih kurang puas dengan hanya tingkatan sarjana atau S1, oleh karena di Indonesia terlalu banyak saingan atau banyak sudah yang menyandang S1. Juga bentuk pekerjaan yang kita dapatkan dan lakukan serta sistem penggajian di tanah air masih cenderung kurang �fair�, tergantung dengan hanya dari tingkatan �S� dari yang kita sandang. Inilah menurut saya, satu dari banyak alasan mengapa �S� dijual belikan.
Kurangnya penghargaan ditanah air atas kemampuan/ketrampilan seseorang didalam menjalankan suatu pekerjaan, terpaksalah, kita bersusah payah untuk mengambil tingkatan yang lebih tinggi, yaitu S2. Sampai-sampai ditingkatan inipun berusaha orang untuk bersaing, dalam arti kalau dapat, mendapatkannya dari PT di LN, dengan harapan tentunya menjadikan sipenyandang lebih �atraktif�, lebih menarik dari saingannya nantinya didalam mencari dan mendapatkan suatu pekerjaan. Masih ada beberapa yang merasa masih kurang, masih haus ilmu, dengan berbagai alasan yang ada dan masuk akal, dilanjutkanlah ketingkatan lebih tinggi lagi S3, tingkatan paling tinggi didalam perkara S, S-an.
Wuaow,... Jangan dikira hanya cukup berhenti disini, masih tinggi lagi ilmu yang perlu diraih. Pepatah seperti, �semakin banyak kita belajar, semakin banyak yang kita tidak tahu� ada benarnya. Ditekunilah sang profesi, sebagai pengajar di PT, atau sebagai peneliti dibidang penelitian untuk menambah si ilmu dan mungkin akhirnya sebutan profesor atau ahli peneliti utama berhasil disandangnya. Saya angkat topi untuk beliau-beliau yang berhasil sampai tingkatan ini. Sudah puaskah kita? Jangan dikira...
Kalau kita mau berfikir, semuanya tadi yang dari mulai rapor yang didapat dari walikelas oleh sianak sewaktu SD, dan diperlihatkan itu kekita sebagai orang tua, sampai titel yang anak berhasil raih, S1 kemudian ada beberapa yang S2, tidak semuanya S3, kemudian mencapai profesor atau ahli peneliti utama, hanyalah suatu patokan dari ilmu pelajaran seseorang. Atau ditingkatan yang paling tinggi, tingkatan seseorang menguasi ilmunya serta seberapa berhasil menerapkannya. Dapat dikoreksi kalau saya salah mengartikannya ...
Ternyata masih ada satu lagi, suatu tingkat perhargaan yang banyak orang harapkan untuk mendapatkannya, bukan oleh kita sebagai orang awam, tapi bagi mereka �mereka yang tingkatan sekolahnya kebanyakan sudah mentok, atau mempunyai jiwa �kebesaran�, �amal� serta �damai� yang tinggi, yaitu suatu pengakuan atau penghargaan international diatas dari tingkatan yang telah saya sebutkan diatas.
Penghargaan yang satu ini, kalau dilihat jumlah uangnya tidak seberapa dengan ukuran kehidupan di Eropa, diberikan hanya bagi mereka yang telah menjalankan profesinya sesuai dengan bidangnya dan...jangan lupa, plus sepenuh hati menjalankan pekerjaannya atau telah menciptakan suatu penemuan baru yang nantinya dapat meringankan atau dapat berguna bagi suatu perkembangan dikehidupan manusia didunia ini. Ternyata, sampai tingkatan inipun masih ada saingannya.
Nah, sekarang anda boleh tebak, penghargaan apa itu? Tidak lain adalah penghargaan Nobel, Nobel Prize! Oleh karena itu, ingin saya menambah wawasan bagi yang mau, dengan dasar berita yang ada kemarin di KCM, tidak lain, SBY adalah orang Indonesia, presiden negara saya Indonesia dan bahwa Nobel itu adalah seorang bangsa Swedia! Swedia, dimana saya tinggal, dinegara nun jauh disana. Kadang kalau saya yang menulisnya seperti negara dongeng.
Nobel Prize Ceremony, pesta dan penyerahan hadiahnya diadakan di City Hall Stockholm - Swedia, setiap tggl 10 Desember. Gedung ini letaknya dipinggir danau M�laren, tidak jauh dari gedung parlemen, seratus meter dari hotel Sheraton dan Central Station, 5 menit pakai sepeda dari KBRI Stockholm. Di pesta itu akan hadir raja Swedia Carl Gustav sekeluarga, para menteri, duta besar dan orang pintar dari pelosok dunia. Sedangkan untuk hadiah dibidang perdamaian dilakukan pestanya di Oslo, Norwegia. Bagi yang ingin tahu, besar hadiah uang th 2005, sekitar 10 juta SEK (sekitar 12 milyard Rp).
Siapakah Alfred Nobel itu? Alfred Nobel dilahirkan th 1833, dan sewaktu berumur 17 th pergi mengembara untuk belajar, antara lain sampai ke Amerika. Di th 1859, ayah Alfred yang bernama Immanuel pulang dari Rusia dalam keadaan bangkrut. Setelah sampai di Stockholm, anak dan si bapak mendirikan suatu laboratorium, dimana si Alfred menemukan suatu penemuan yaitu pemicu bahan peledak. Memang si Alfred dan bapaknya senang sekali utak-utik, senang menciptakan sesuatu yang baru. Menurut para ahli peneliti, itu adalah langkah pertama dia untuk menjurus ke teknik peledakan, dimana yang selanjutnya �serbuk hitam� peledak terciptakan.
Terbayang, jaman dulu, dilihat dari segi keamanan yang tidak menunjang, suatu ketika meledaklah laboratorium mereka, dan yang mengakibatkan 5 orang meninggal, diantaranya adik si Alfred, yaitu Emil. Kegundahan yang berlarut-larut, tidak lama kemudian, si bapak terkena infark jantung. Terpaksalah, si anak muda Alfred bertanggung jawab menanggung kehidupan seluruh keluarganya.
Sebetulnya, ledakan-ledakan dan beberapa kecelakan itu diakibatkan oleh ketidak stabilan dari bahan peledak yang ada pada saat itu, yaitu cairan nitroglycerin. Oleh karena itu, Alfred Nobel dengan sepenuh tenaga berusaha untuk menemukan suatu cara bagaimana dapat memindahkan bahan peledak itu secara aman. Akhirnya pada th 1867, dia temukanlah suatu cara antara lain dengan dapat mengubah bentuk bahan peledak tersebut, yang dia beri nama dynamit!
Tahun berikutnya terjadilah jaman exploatasi disegala penjuru dunia, terutama di Eropa dan Amerika. Dengan bersamaan dimulainya pengenalan hak patent dibeberapa negara, dengan penggunaan dynamit dimana-mana menjadikan Alfred Nobel semakin kaya. Nobel tidak hanya berkecimpung didunia peledakan, tapi masih ada beberapa penemuan yang cukup berarti, seperti sutera tiruan, pengolahan kulit juga motor dengan bahan gas. Mendekati umur, pindahlah Alfred ke San Remo dekat kota Genoa di Italia, dan meninggal dunia 10 Desember th 1896. Alfred Nobel sampai detik meninggalnya tidak pernah menikah.
Meskipun Alfred Nobel penemu bahan peledak yang menjadikan sekeliling dapat berantakan, dibaliknya adalah seorang pencinta perdamaian, dia sangat membenci kekerasan. Di Eropa dia adalah salah satu pengusaha yang kaya raya dan dapat berbicara 5 bahasa dengan lancar. Sebelum meninggal, dia sempat menyumbangkan sebagian besar dari hartanya kesuatu �institusi� atau �foundation�, dimana dia wanti-wanti nanti dari �bunga� kekayaannya untuk dapat dibagikan sebagai hadiah penghargaan bagi siapa saja yang berhasil didalam bidang ilmu fisika, kimia, kesehatan, sastra dan bidang perdamaian yang telah melakukan sesuatu dan dapat �meringankan dan berguna bagi suatu kehidupan manusia,�.
Aturan yang ada pada saat itu masih merupakan suatu peraturan yang ngambang, belum pasti. Baru th 1900, organisasi dan aturan dapat ditetapkan, dan tahun berikutnya, yaitu th 1901 mulailah penghargaan diberikan kepara pemenangnya sampai sekarang.
Diatas adalah suatu refleksi saya setelah membaca berita yang dimuat di KCM hari ini. Dimana tercantum nama yang ada �bau� Swedia. Saya usahakan menulis beberapa garis, mungkin dapat menambah pengetahuan untuk anda yang mau meluangkan waktu untuk baca tulisan saya ini. Ternyata Alfred Nobel, sipenakluk bahan peledak, penemu dynamit adalah orang Swedia. Bagi pecinta KCM yang ingin mengetahuinya...
Betapa besar dan bangganya para si penerima hadiah, suatu pengakuan yang luar biasa, tapi betapa lebih besar lagi jiwa si�penderma�nya, Alfred Nobel. Saya, sebagai salah satu bangsa Indonesia akan bangga sekali kalau ada seorang bangsa Indonesia berhasil mendapatkan hadiah Nobel. Ini akan merupakan pertama kalinya disejarah tanah air kita Indonesia. Dan akan merupakan suatu pengakuan international yang tinggi sekali terhadap seorang anak bangsa yang bergulat untuk membenahi kekusutan negaranya.
Sebagai sumber tulisan; �Nya M�l 3 Natur och Kultur� dan �wikipedia � Alfred Nobel�
Salam; Janto Marzuki (...duh kecilnya saya ini), Stockholm - Swedia
*****Pengalaman menembak(Rhodius-Amerika)
Dear Zeverina,
Sekian lama saya membaca kolom ini, belum ada rasanya yang menceritakan pengalaman yang saya ceritakan berikut ini sehingga saya jadi tertarik untuk menulis tentangnya.
Seperti yang banyak pembaca ketahui, di negara paman Sam senjata api dijual hampir bebas. Dikatakan hampir karena untuk kategori senjata tertentu, seperti pistol misalnya anda hanya perlu menunjukkan kartu identitas, mengisi formulir data diri dan menunggu hasil background check. Sistim ini sering di-komplain karena masih banyak lubangnya. Bukan ini yang ingin saya ceritakan, saya ingin menceritakan mengenai pengalaman saya latihan menembak di sini. Mungkin karena saya sudah terbiasa, what�s the big deal sering2 ke shooting range (lapangan tembak). Teman2 maupun papa saya sendiri sampai terpesona saat diajak menembak ke lapangan tembak. Sehingga saya pikir menarik juga untuk menceritakan pengalaman ini.
Saya tidak pernah menembak dan tidak pernah memiliki senjata api sewaktu di Indonesia. Sekarang inipun saya sendiri tidak berniat membeli senjata api, walau dengan uang dari kurang lebih sepuluh kali menyewa saya sudah bisa membeli pistol jenis yang sama karena buat saya ini hanya hobby dan saya cukup mengerti bahayanya mempunyai senjata api di rumah,.
Biasanya shooting range di sini berada dalam gedung, karena alasan keamanan (safety). Di dekat rumah saya, shooting range merangkap jadi tempat menjual senjata api dan perlengkapannya sekaligus juga terima service senjata api. Ada berbagai macam pistol lainnya yang bisa disewa seperti pistol murah meriah Glock, Colt revolver standard, Colt Magnum, sampai jenis senapan seperti shotgun bahkan senapan semi-otomatis jenis AR15, atau yang terkenal dgn nama M16, yang pernah menjadi senapan standar banyak tentara di dunia. Tentunya semakin canggih senjata-nya semakin mahal sewanya sampai ke jenis peluru. Selain itu kita bisa menyewa kacamata pelindung dan tutup telinga, salah satu tamu saya menghadiahkan kacamata dan tutup telinga sehingga saya tidak perlu menyewa lagi. Untuk gampangnya saya juga biasa membeli peluru dan sasaran untuk menembak di tempat yang sama.
Kemudian setelah meninggalkan kartu identitas dan mengisi formulir yang intinya menyatakan kita bertanggung jawab atas diri sendiri dan tidak bisa menyalahkan pemilik tempat menembak kita dipersilahkan masuk ke ruang menembak. Ruang menembak mempunyai dua lapis pintu sehingga ada semacam �buffer zone� supaya suara letusan senjata api bisa teredam sekaligus supaya bisa mempersiapkan diri untuk menembak. Saya sendiri suka menggunakan buffer zone ini untuk menerangkan dan memperagakan pemakaian pistol ke tamu2 saya. Setelah kita memakai kacamata pelindung dan tutup telinga, barulah kita masuk ke ruang menembak sesungguhnya. Di situ biasanya ada shooting ranger (pengawas) yang bertugas menerangkan masalah safety selama di ruangan itu, memperagakan pemakaian pistol sekaligus bertugas sbg �satpam� meminta pemakai keluar seandainya terjadi masalah.
Biasanya saya menyewa pistol jenis beretta 9 mm karena pistol ini sangat practical dan gampang untuk digunakan serta mempunyai safety feature cukup baik. Dalam hal ini karena hobby saya lebih ke arah menembak tepat, buat saya pistol kaliber besar lebih kurang practical karena hentakannya lebih besar. Selain itu pistol jenis beretta bisa diisi sekitar 15 peluru sehingga bisa dipakai lebih lama tanpa harus mengisi ulang karena biasanya saat isi ulang adalah saat istirahat, dimana konsentrasi saya buyar sejenak. Selain itu ternyata ada lho yang sudah ikut wajib militer di negaranya tapi ternyata belum pernah pegang pistol. Katanya pistol itu hanya untuk perwira, sedangkan dia latihan menembak dengan senapan. Sehingga sewaktu saya ajak ke shooting range di sini dia amat senang bisa menembak dengan pistol.
Ruang tembak di sini adalah berupa lapangan dalam ruangan (indoor) dengan puluhan lane seperti tempat main bowling. Bedanya adalah adanya gantungan buat target dan masing2 lane punya kotak masing2, tempat di mana kita berdiri untuk menembak. Kotak ini bisa berupa setengah sekat atau sekat penuh memisahkan lane satu dari yang lainnya. Antara kotak tempat kita menembak dengan tembok ujung lapangan tertutup ada tanda2 jarak supaya kita bisa mengetahui seberapa jauh jaraknya sasaran tembak yang kita set.
Setelah kita mengambil lane kita sesuai dengan nomor yang diberikan, biasanya saya mempersiapkan sasaran dan jarak sasaran. Baru setelah itu perhatian saya beralih pada pistolnya karena saya tidak mau perhatian saya terpecah saat memegang senjata api. Saya juga membiasakan diri untuk selalu menujukan moncong pistol ke arah tanah pada saat apapun juga kecuali jika sudah siap untuk menembak, selalu men-set safety lock pada pistol kecuali kalau siap digunakan dan menset lock kembali sesudah menggunakan pistol dan selalu membawa pistol dalam keadaan kosong (tanpa peluru) jika harus berpindah lane ataupun apalagi kalau keluar ruangan menembak, termasuk mengecek jangan sampai ada peluru yang masih ketinggalan di firing chamber. Peluru yang ketinggalan di firing chamber bisa dikeluarkan dengan mengokang pistol atau dengan menembakan pistol tsb.
Buat yang belum pernah, kegiatan mengisi peluru mungkin kelihatannya luar biasa. Mungkin anda sering menonton film action, saat2 si jagoan mempersiapkan diri sebelum bertemu musuhnya, mengisi peluru, mengecek pistol dllsbnya. Mengisi peluru sesungguhnya lumayan susah dan membosankan. Ini dikarenakan cartridge tempat peluru berisi per yang bertujuan menaikkan peluru ke firing chamber di atas sedangkan anda mengisi peluru dengan menekan peluru ke dalam cartridge, gerakan yang melawan per, sehingga membutuhkan tenaga lumayan. Ini terutama karena per dibuat dengan �kekerasan� (ngga tau istilah lain yg lebih cocok) tinggi mungkin supaya pistolnya tidak gampang macet dan tahan dipakai lama. Setelah menghabiskan beberapa kotak peluru (baca: beberapa ratus peluru) biasanya ujung jari2 yang dipakai mengisi peluru bisa jadi merah lebam. Tentunya ada alat yang bisa mempermudah mengisi peluru, saya tidak punya karena saya masih belum cukup serius, ini semua hanya hobby untuk saya. Selai!
n itu kegiatan mengisi peluru merupakan kesempatan saya istirahat dari konsentrasi menembak, harga peluru pun lumayan mahal, jadi ngapain cepat2? Hehehe Di tempat langganan saya, sewa beretta sekitar $40 dan harga per kotak peluru kalo ngga salah $10.
Setelah cartridge diisi, dimasukkan ke dalam pistol, safety lock off, saatnya paling menyenangkan adalah menembak sasaran. Kebanyakan sasaran tembak memberikan angka paling tinggi untuk tembakan di tengah sasaran misalnya daripada kalau hanya kena di pinggir, buat saya yang penting dimana saya tuju, asalkan saya bisa menembak tepat sasaran tsb, dan kemudian bisa mengulang-ulang hal yang sama (bolongnya sasaran kadang jadi tambah besar) ini sudah tercapai tujuan ketepatan menembak saya. Ini dikarenakan sasaran di tengah biasanya sudah bolong besar, sedangkan keseluruhan sasaran masih utuh, jadi sayang kalo selembar sasaran tersebut dibuang. Jadi kemudian saya berusaha menembak bagian2 lainnya asal saya bisa menembak tepat bagian tersebut beberapa kali (kalau cuman sekali kena bisa karena keberuntungan kan?)
Setelah selesai menembak, kotak peluru kosong dan bekas sasaran tembak kita buang sendiri ke tong sampah sebelum keluar ruangan menembak. Kemudian kita ke tempat pembayaran untuk mengambil kartu identitas kita, sebelum meninggalkan gedung saya membiasakan diri mampir ke toilet untuk mencuci bersih jari2 tangan, supaya residu gun powder tidak ada yang ketinggalan.
Akhir kata saya berharap cerita saya di atas memberikan pengalaman baru kepada pembaca yang belum pernah menembak. Jika ada yang menganggap saya terlalu berhati-hati, silahkan saja, menurut saya pribadi, semua alat yang bisa digunakan untuk melukai/membunuh harus diperlakukan dengan hati2. Saya tidak pernah bermain-main pisau sewaktu saya bekerja menggunakan pisau (nantikan artikel saya tentang memasak), senjata api pun harus diperlakukan sama atau bahkan lebih (hati2). Sekian,Rhodius (Amerika).
******Enaknya punya asuransi dan paket(Dwikoen di Eropa)
Dear Zeverina,Saya harap anda selalu dalam kondisi yg maksimal, apalagi habis di charge dg week end yg mengesankan, jadi siap menjalankan tugas utk seminggu kedepan.
Wah sudah lama saya nggak ikut nimbrung, habis tahun baru, rupanya si komputer. kecapekan dan ngambek, jadilah saya ketinggalan kereta api, tambah seru juga ya, saya sempat membaca artikel -artikel terdahulu dan saya merasa jauh ketinggalan kalau membaca tulisan Mas Janto Marzuki, pengalamannya itu lho, enak juga ngebacanya ya..........(memang pantas, krn jam terbang tinggal di luar negrinya juga jauh ketinggalan).Seperti Mas Janto, saya juga hanya ingin menulis pengalaman pribadi selama tinggal jauh dari kampung halaman. Maaf ya kalau kali ini agak panjang soalnya ngerapel, ada dua masalah yg akan saya ceritakan semoga tidak keberatan membacanya.Seperti yang sudah kita ketahui, kalau di luar negeri semua sudah serba asuransi, baik dari mobil, tempat tinggal seisinya, bahkan anak sekolah pun harus diasuransi.Pengalaman saya kali ini ttg asuransi appartement (krn memang dapatnya saat ini di appartement, yg lebih mudah utk anak-anak, baik utk sekolah dan kegiatan ekstra kuriku!
lernya). Yah bukan hanya ditanah air saja yang ada rumah kerampokan dll, disini dinegara majupun masalah yg satu itu selalu ada, tapi mungkin lebih sopan dan lebih manusiawi daripada yg ditanah air, krn kalau saya baca Liputan 6, seram-seram juga ya, udah dirampok dibunuh pula.
Di sini perampokan biasanya musiman dan dicari rumah yg tidak ada penghuninya, hal ini banyak terjadi pada musim panas, krn di musim tsb banyak yang meninggalkan rumah baik satu bulan atau bahkan dua bulan penuh, sesuai dg libur yang mereka manfaatkan. Nah pengalaman saya, bukannya krn meninggalkan appartemen kelamaan, tapi kami menginap di gunung, tidak jauh dari kota tempat kami tinggal, sementara appartemen ditunggu oleh keponakan yang sedang training di kota kami. Saya pikir, toh tidak ditinggal dalam keadaan kosong, jadi aman-aman saja.......
Hari terakhir di gunung, kami menghubungi keponakan memberitahu jam berapa kami akan sampai dirumah (tentu saja melalui hp, krn dia masih di kantor). Dia mengatakan bahwa dia akan terlambat pulang, krn hari terakhir jadi acara makan-makan bersama teman-teman kantor, kami sih ok-ok saja. Sesampai dirumah, begitu membuka pintu yg kearah ruang tamu, anak saya yg bungsu berteriak; ��Eh...komputernya kok nggak ada?��(ternyata setelah lama berlibur, dia sudah kangen utk main game di komp.) Saya sempat menenangkan diri,��Mungkin dipakai keponakan dan ditaruh di kamarnya.�� Saya segera kedapur, tadinya sih mau ambil minuman di lemari es, eh kok pintu dapur terbuka.....saya langsung berteriak memberitahu suami, dan segera memeriksa kamar-kamar. Ternyata memang kami kerampokan disiang bolong, yang diambil terutama barang-barang elektronik; layar komp, game anak, handycam dll. Yang lucu, waktu itu saya sempat menyimpan uang cash utk siap-siap pulang kampung eh...diambil juga, cuman uan!
g dollarnya masih lengkap.
Begitu juga dg perhiasan masih aman ditempatnya, krn saya simpan dlm kotak jahit hadiah dari ibu saya, jadi mereka tidak menyangka kalau dlm kotak tsb ada perhiasannya. Kami langsung lapor ke polisi, mereka datang 5 menit kemudian dan mencatat segala sesuatunya. Karena kejadiannya hari sabtu, suami saya bilang dia akan menghubungi asuransi hari seninnya, saya yg tentu saja belum berpengalaman dg asuransi, sudah membayangkan betapa rumitnya urusan yg akan kami tempuh. Padahal liburan belum selesai, krn kami sudah booking tempat didaerah dekat tempat tinggal mertua.
Suami saya mengatakan bahwa saya harus tenang, memang sudah terjadi dan dia akan menghubungi asuransi lewat telpon, �apa mungkin� dalam hati saya bertanya...Senin pagi menuju tempat mertua, ditempat peristirahatan di jalan tol, suami menelpon ke asuransi ternyata mereka tidak banyak cingcong, hanya menanyakan barang apa saja yg hilang, harganya berapa, apakah kami masih punya faktur pembelian dll. Yang lucu utk handycam, krn belinya sudah jaman baheula, suami bilang tidak ada lagi fakturnya, mereka hanya minta dikirim �manual directory�, setelah menjelaskan bahwa kami sedang dlm perjalanan utk berlibur, mereka hanya memberitahu suami, nomer kasus kami dan diminta kembali menelpon setelah liburan selesai.
Sayapun dg tenang menyelesaikan liburan yang tinggal dua minggu lagi dg mertua. Selesai liburan, suami kembali menelpon ke asuransi dan mengirim faktur dan buku petunjuk yg mereka minta, tiga hari kemudian mereka memberitahu lewat telpon, bahwa barang-barang tsb dapat kami beli lagi sesuai dg harga baru, tapi tentu saja ada batasnya. Maksudnya, misalnya utk handycam, krn modelnya sudah kuno, maka saya diperbolehkan membeli model baru dg batas harga sekitar 600 euros, kalau mau lebih boleh saja, tapi kelebihannya dari kantong sendiri. Setelah pihak asuransi mentransfer uang ke account kami, mulailah saya membeli barang-barang yg hilang, dan semua faktur pembelian dikirim ke pihak asuransi.Ternyata urusannya tidak serumit yg saya bayangkan.Lain lagi pengalaman adik dan ibu saya ditanah air, karena waktu pulang kampung kemaren, biarpun sudah dipersiapkan dg matang, eh ....ternyata masih juga ada yg ketinggalan, (termasuk kado ultah utk keponakan tercinta) jadi setelah kembali k!
erumah, barang-barang yg ketinggalan saya paketkan. Tiga minggu kemudian waktu menelpon ibu, beliau mengatakan bahwa paket sudah sampai di jakarta dan harus diambil di kantor pos tapi harus bayar sekitar satu juta rupiah......!
Wah saya kaget juga, jadi saya katakan pada ibu bahwa beliau hrs sabar, mungkin menjelang lebaran, coba nanti saja setelah lebaran lewat dicek kembali, saya tekankan juga kepada adik saya, kalau memang hrs bayar segitu, direlakan saja deh (maksudnya tidak usah diambil) dan saya berjanji tidak akan kirim paket lagi. Mending kirim uang lewat UT, tidak ada resiko.
Dua minggu setelah lebaran, ibu mendapat telpon lagi dari kantor pos, kali ini hanya diberitahu ada paket yg harus diambil dan beliau harus datang ke kantor pos langsung, krn paketnya lebih dari 4 kg. Setelah mengisi formulir dan menunjukan KTP, ibu saya hanya disuruh menuju loket pengambilan barang dan memang paketnya sudah terbuka, tapi isinya sih komplet. Paket yg amburadul diambil, ibu saya tanda tangan dan ketika menanyakan hrs bayar berapa, bapak tsb menyebutkan 7000 rupiah saja, saking senangnya ibu saya langsung memberinya 20.000 rupiah, krn tidak ada 5.000 an. Ketika saya menelpon keesokan harinya, kami semua tertawa lega, ternyata memang hrs sabar kalau mau berurusan dg kantor pos di Jakarta, tentu saja keponakan saya senang sekali, krn dia tidak tau riwayat kado ultah yg diterima tepat pada waktunya, jalannya cukup berliku.Saya tidak ingin membandingkan keadaan ditanah air dg dimana tempat saya tinggal sekarang, karena dinegara maju, mereka tentu saja jauh lebih d!
ulu dlm segala hal, baik demokrasi, administrasi, tata tertib dll, sedangkan dinegara kita khan baru belajar berdemokrasi, jadi ya nggak bisa dibandingkan lah ya....Akhir kata, salam manis utk pembaca semua dan saya harap tidak bosan, kompak selalu melalui rurik kesehatan di KCM.
****************************
BAGIAN II: TANGGAPAN ARTIKEL & SURAT-SURAT PENDEK
Tanggapan buat WES di OZ dan Linda di BdgKisah Keluarga: Anak, Warisan & Jodoh (Amerika, Australia)(R.Linggoputro-New Zealand)
Buat Linda di Bandung dan juga WES di OZ,
Manusia memang cenderung melihat rumput tetangga lebih hijau, yang biasa belanja di supermarket modern di swiss kepingin mblusuk2 di pasar becek di Jogja misalnya. Yang lagi manyun kena macet di Tomang gara-gara jalurnya diambil busway kepingin nyoba nyamannya naik subway di Paris. Ada yang betah sampai lama di tempat dengan suasana baru tersebut, tetapi ada yang "kaget" seperti yang terhadi di NY. Jadi kembali ke niatnya, kalau melihat suatu masalah dipandang dengan "gelas isinya tinggal setengah", hidup akan capai dan membosankan dimana saja. Tetapi kalau hidup dipandang sebagai "gelas yang isinya masih setengah" hidup akan lebih ceria, menarik dan penuh peluang,istilahnya kambing dibedakin terlihat cuantiiiik sekali he..he.. Memang lebih gampang diucapkan susah dikerjakan. Tapi ya itu yang harus dipegang. Salam.
******Tanggapan untuk WES- Australia (Rian-Jerman)
Hallo Zev, kolommu semakin menarik aja. Bahkan saya sampe curi-curi baca di sela waktu kerja saya. Yah, itung-itung sebagai penghibur dan penambah wawasan. Apalagi tulisan tulisan bpk. Janto � di Swedia, sangat menarik untuk saya. Oh ya, tolong emailku jangan dipublikasikan, privasi. Terima kasih sebelumnya kalo surat saya dimuat.
Ah ya, panggil saya Rian. Tulisan WES � Australia sangat menarik bagi saya. Ada hal � hal yang saya sependapat ada pula yang tidak. Saya sependapat dengannya mengenai ambisi ratna yang berlebihan terhadap kedua anaknya. Bagaimanapun anak adalah manusia dan memiliki karakter dan cita-citanya sendiri. Sebagai orang tua, sebaiknya ratna hanya mengarahkan dan memberi fasilitas. Selanjutnya, anak itulah yang menentukan.
Saya tidak setuju dengan pendapat WES bahwa orang yang berpendidikan hijrah ke Negara maju, seperti amerika, berarti akan down grade dan yang mengalami up grade adalah PRT. Mengenai kematian Bambang Welianto di KJRI, bisa saja dilatarbelakangi oleh frustasi karena susahnya mancari pekerjaan di Negara Paman Sam. Saya sendiri juga merasakan hal yang sama, apalagi pada bulan � bulan pertama saya di jerman dulu. Waktu itu bahasa jerman saya masih pas pas an. Semua acara TV sampe bioskop berbahasa jerman, dan tidak ada terjemahan dalam bahasa inggris. Dalam lingkunganuniversitas, masih besar harapan untuk ngobrol dalam bahasa inggris, di luar itu, jangan terlalu berharap (studi yang saya ambil full in English). Setelah saya lulus dengan predikat good, saya menghadapi kesulitan (lagi) mencari kerja. Apalagi di dalam kondisi jerman yang tingkat penganggurannya tinggi. Saya menghadapi kenyataan bahwa sebagai orang asing pencari kerja, kita harus benar- benar punya kelebihan yang ora!
ng lokal (orang jerman) tidak punya atau kurang.
Beruntunglah suami saya selalu giat menyemangati saya untuk melamar dan melamar lagi. Mungkin lebih dari seratus lamaran saya kirim, hingga setelah 6 bulan saya menggangur (saya sudah beberapa kali wawancara) saya diterima dengan kontrak pertama saya cuma 2 bulan. Senang dan stress datang bersamaan. Di satu sisi saya senang mendapat pekerjaan, disisi lain � kok cuma 2 bulan???, seperti main-main saja. Tapi saya langsung setuju dan dengan tenang hati saya jalani. Mungkin karena kerja saya, kontrak saya diperpanjang dan diperpanjang hingga sekarang. Lama-lama saya mengerti, yah mungkin ini cara mereka untuk menguji pekerjanya dan mungkin inilah jalan saya. Saya sangatbersyukur sekali. Disini saya menimba pengalaman sebanyak-banyaknya. Terus terang saya merasakan ter-up grade disini. Tanpa bermaksud sombong, inilah pengalaman kerja pertama dalam hidup saya.
Selain saya, banyak orang �orang lain yang merasakan up-grade di Negara maju. Contoh lainnya yaitu sepupu saya. Setelah mendapat beasiswa ke Jepang, dia memutuskan untuk bekerja dan menetap di Jepang. Begitu juga dengan suami saya, keputusannya untuk bersekolah lagi ke jerman dan akhirnya bekerja adalah keputusan yang tepat. Padahal waktu itu gaji dan kedudukannya sudah lumayan tinggi di jakarta. Kalo seandainya dia tetap pada pekerjaannya yang dulu,mungkin dia tidak akan seperti sekarang. Seperti saya, suami saya juga merasa ter up grade. Semua itu harus dijalani dengan semangat dan keteguhan hati. Harus saya akui memang, banyak kenalan saya yang pulang ke Indonesia �sebelum waktunya� dengan berbagai alasan, mulai dari ketidakteguhan hati sampai finansial. Dalam hidup, kita harus pandai memilih jalan sesuai dengan kemampuan kita dan selalu berdo�a supaya ditunjuki jalan yang sesuai olehNya. Saya dan suami selalu saling memperingati dan menyemangati. Untuk para pembaca ingat!
lah : setelah kesulitan pasti ada kemudahan, setelah usaha pasti ada keberhasilan. Salam semangat.
****** Tanggapan buat WES dan Tania di Australia (Adrian Halim-Australia)
Dear Zev,
Saya sudah tinggal di Australia selama 5,5 tahun dan sudah menjadi warga negara Australia. Membaca tulisan WES tentang hidup sebagai imigran di negara barat, saya sangat setuju. Sangat sulit untuk bisa survive di sebuah negara yang budaya dan cara berpikirnya sangat berbeda. Ini belum termasuk urusan makanan yang seringkali menjadi salah satu kendala utama (saya tidak memiliki masalah dalam hal ini karena saya sudah lama akrab dengan masakan Barat). Saya sangat beruntung bisa survive sampai saat ini. Sekarang saya sedang menyelesaikan PhD di Teknik Pertambangan di University of Queensland atas beasiswa dari pemerintah Australia (APA - Australian Postgraduate Award). Saya sangat beruntung bisa mendapatkan kesempatan ini. Banyak teman2 Indo yang sudah tinggal di sini dalam kurun waktu yang sama (bahkan ada yang lebih lama) tapi masih terkatung-katung. Memang butuh keberuntungan untuk bisa survive sebagai imigran.
Memang hidup di negara2 maju seperti di Amerika, Australia, dll itu terlihat lebih menjanjikan, apalagi di tengah situasi ekonomi yang makin tidak menentu saat ini. Makanya banyak yang terbutakan oleh pandangan ini. Seperti yang dibilang WES, ini jadi seperti dongeng saja. Saya banyak menjumpai teman2 Indo yang menganggap begitu pindah ke Amerika atau Australia, semua akan lebih mudah. Belum lama ini saya bertemu dengan teman lama di kampus. Saya kaget sekali dan bertanya apa yang dia lakukan di sini. Dia menjawab bahwa dia mau mengambil master, tapi persyaratan bahasa Inggrisnya belum mencukupi. Makanya dia lagi mengikuti ELICOS (kursus bahasa Inggris untuk persiapan IELTS). Kemudian saya bertanya mengenai rencananya ke depan. Dengan entengnya dia menjawab bahwa dia akan melamar jadi Permanent Resident dan mencoba mencari pekerjaan di Australia. Saya lantas menjelaskan bagaimana sulitnya untuk mendapatkan Permanent Resident dan mencari pekerjaan di Australia kalau modalnya !
cuma S2 dan S1nya lulusan Indo. Apalagi bidang yang ingin dia geluti adalah sosial kemasyarakatan yang tidak memiliki banyak peluang. Saya hanya cuma bisa mengelus dada dan dalam hati hanya bisa mendoakan. Banyak orang Indo yang seperti itu, dan banyak juga yang gagal kemudian depresi. Karena itulah saya tidak terkejut mendengar kasus Bambang Welianto. Jadi buat anda yang pingin mengadu nasib di negara2 maju, pikirkan matang2 seperti yang dikatakan oleh WES. It�s really really difficult to live in a western nation.
Terus mengenai perjodohan imigran Indo di Australia seperti yang diceritakan Tania. Terus terang saya merasa geli dan heran membaca cerita ini. Kalau anda sudah memutuskan untuk tinggal di Australia, ya tentu saja anda harus mengadopsi kultur Australia. Jadi biarkan anak2 anda untuk memilih jodohnya sendiri. Memang kenapa harus nikah dengan orang Indo? Kalau sudah jadi warga negara Australia, ya normal saja kalau menikah dengan sesama orang Australia, tidak peduli apapun etnis dan/atau agamanya. Di Australia itu menikah dengan lain etnis dan/atau agama itu tidak menjadi masalah besar seperti yang terjadi di Indo. Yang penting si anak bahagia bukan? Regards.
******The Joy Luck Club(Melanie Howard-Amerika)
Hallo,
Kebetulan waktu saya baca berita di KCM mengenai dua anak gadis yang dijadikan "trophy" oleh ibunya di Canada, persis sama seperti WT di Amerika, saya juga teringat satu film tersebut. Judulnya "The Joy Luck Club". Film ini based on novel karya Amy Tan; isinya kompleks, tapi specificaly ngomongin tentang hubungan mother-daughter dan masalah2x yang mereka hadapi sebagai immigrant di Amerika (San Francisco).
Di film itu ada 2 orang sahabat (ibu2x) yang punya dua anak perempuan seumur, tapi mereka selalu "bersaing", terutama dlm memamerkan kehebatan anak2xnya. Yang satu jago chess, selalu juara di Chinatown, sehingga ibunya selalu pamer sampai bawa majalah yang memuat wajah anaknya sebagai cover kemana-mana supaya orang tau. Sedangkan anak perempuan satunya lagi selalu dipaksa ibunya untuk main piano, walaupun hatinya tidak suka. Ibunya punya wish supaya anaknya bisa dibanggakan, terutama kalau dibandingkan dengan si jago chess tadi.
Memang pada akhirnya, kedua anak perempuan tadi tidak jadi jago chess atau pianist; si jago chess akhirnya jadi lawyer dan yang satunya jadi designer. Ada satu line yang sangat menyentuh saya waktu salah satu anak perempuan tsb sudah dewasa dan tanya ke ibunya... Are you ashamed of me? Because she�s always better than me?... Why do you always expect something I can�t fulfill? You know, it hurts..... because I can�t never be someone I�m not! Terus ibunya jawab... "I never expect from you... just hope!"Dan saya jadi ingat salah satu diskusi dengan teman2x saya waktu kuliah dulu di kelas (major saya dulu elementary education). Kelas ini (Diversity in Education) secara khusus ngomongin tentang perbedaan backgrounds, races, etc di antara murid2x dan apa efeknya dalam sistim belajar-mengajar. Professor saya bilang bahwa murid2x dari Asia biasanya dituntut oleh orang tuanya untuk jadi yang terbaik terutama dalam bidang akademis, khususnya bidang2x yang practical seperti engineering!
, medical, lawyer, dan sekarang mungkin Computer Science. Kalau ada orang tua yang bangga karena anaknya pintar dan menjadikan mereka "trophy", hmmm... mungkin memang iya, walaupun tidak semuanya seperti itu. Tapi yang saya tau sih, mereka cuma ingin anaknya dapat yang terbaik kalau sudah besar nanti, entah kompensasi karena dulu masa kecil si ortu nggak bisa sekolah, nggak ada duit, atau macam2x...
Mereka tidak ingin anaknya dipandang rendah hanya karena mereka golongan minority di Amerika, sehingga mereka mengajarkan anaknya bahwa sebagai golongan minority mereka harus kerja LEBIH keras untuk mendapatkan apa yang bisa didapatkan golongan majority dengan gampang. Kalau menurut pengalaman pribadi saya, menjadi golongan minority ada enak & tidak anaknya. Tidak enaknya sih sudah sering dibicarakan oleh para penulis di kolom ini ehehehe... Misalnya nih, baru ngeliat fisik kita udah dianggap tidak mampu, dianggap tidak bisa ngomong Inggris, apalagi kalau mereka tau kita dari third world country.
Tapi menurut saya sih, ini justru bisa dijadikan keuntungan buat kita. Dalam lingkungan pekerjaan, misalnya. Karena kita ini minority, mungkin boss (nggak secara terang2xan) memandang kita sebelah mata. Saat inilah kita akan terlihat "bagus" kalau kita bisa membuktikan bahwa pendapat mereka salah, kalau kita bisa prove them wrong! :)
Menurut pengalaman saya sih begitu... Jujur saja, sebetulnya kemampuan saya di tempat kerja tuh biasa aja, sama seperti teachers yang lain. Tapi pada awalnya mereka memandang saya sebelah mata saja karena mereka tau saya tidak mengenyam pendidikan K-12 di US. Tapi akhirnya mereka ngeliat saya lebih bagus, biarpun sebetulnya kemampuan saya tidak lebih dari mereka, biasa aja. Karena apa? Menurut saya sih, karena expectation mereka terhadap saya pada awalnya tidak terlalu tinggi... mereka menganggap saya anak bawang, sehingga begitu saya bisa exceed expectation mereka, kelihatannya jadi lebih bagus.
Nah ini yang ingin saya bagikan juga kepada saudara2x kita setanah-air yang bekerja di LN... memang di tempat yang sangat competitive ini, kita perlu "menjual" kemampuan kita. Tapi pada akhirnya kemampuan kerja kitalah yang membuat kita bisa bertahan di tempat tersebut, bukan kemampuan kita berkata2x indah dalam mencari kerja. Dan kita punya keuntungan lebih sebagai minority; bahwa selain bisa berbahasa Inggris, kita juga bisa berbahasa Indonesia, punya kesempatan untuk memperkenalkan budaya Indonesia, dll.
Dan seandainya dalam pekerjaanpun ternyata kemampuan kita tidak sebaik co-worker kita yg orang Amerika, kita masih punya kesempatan untuk belajar dan belajar, dan (semoga saja) mereka mengerti dan mau membantu karena kita nggak dibesarkan di Amerika. Saya nggak bilang bahwa kita mengharapkan mereka menurunkan expectationnya terhadap kita krn kita minority lohhhh.... atau cari2x excuse untuk tidak bisa sebaik mereka. Point saya nih.... kalau bisa, coba putar kelemahan kita sebagai minority ini justru sebagai keuntungan untuk kita.Eh... jadi ngelantur ya ehehehhee.... balik ke soal "mamerin anak"... memang nyebelin sih kalau dipamer-pamerin seperti itu. Sepertinya anak kurang dihormati sebagai individu bebas dan malah dijadikan pelampiasan hasrat dan obsesi orang tua. Saya rasa tulisan WT-Amerika sudah menyuarakan jeritan hati anak-anak yang dipaksa itu. Saya sendiri pernah ngalamin dulu waktu kecil... ayah saya selalu marah2x waktu saya baru belajar piano, waktu itu umur saya!
kayaknya masih 4 tahun. Setelah beberapa tahun akhirnya saya mulai ikut recital di sekolah musik saya dan mulai dapat beberapa award, mulai papa saya muji2x saya di depan teman2x kantornya sampai saya malunya minta ampun. Bahkan tiap malam saya diingatkan sama beliau supaya bangun pagi supaya bisa latian piano sebelum sekolah.
Mulai saat itu beliau nggak keberatan tidur paginya terganggu denger saya tang-ting-tung piano... padahal sebelumnya selalu marah2x. Pernah satu hari ribut besar karena hal ini dan saya bilang "Kalo papa selalu pamer di depan om2x tante2x, kenapa nggak papa aja yang belajar piano sih??..." Abis itu papa langsung diam sih... dan saya nyesel banget udah ngomong seperti itu. Setelah dipikir2x, saya ngomongnya kasar juga... tapi mau gimana lagi. Lama kelamaan saya sadar juga, bahwa pada dasarnya beliau ingin saya dapat yang terbaik dan sekarang yang memetik hasilnya kan saya juga. Pada akhirnya, rasa terima kasih saya kembalikan pada papa & mama.Kembali ke film "The Joy Luck Club" tadi... saya recommend banget untuk nonton film ini. Saya nggak tau film/novel ini sudah dijual di Indonesia atau belum... tapi kalau ada kesempatan, baca atau nonton deh. Secara keseluruhan, film ini sebetulnya menyampaikan pesan bahwa buah itu jatuh tidak akan jauh dari pohonnya. Mother and daugh!
ter itu bagaikan anak tangga: walaupun arahnya berbeda ke atas ke bawah (beda generasi), tapi anak tangga itu persis satu sama lain. Dikisahkan biarpun ibu dan anak sering bertengkar karena yang satu dibesarkan di China dan yang lainnya dibesarkan di Amerika, walaupun ortu dianggap kuno, tetap saja anak akan meniru orang tuanya.
Di film ini, anak yang cerdas dan banyak akal (lawyer) ternyata ibunya dulu juga cerdik dan bisa meloloskan diri dari arranged marriage di China yang sudah diatur oleh kedua orang tuanya dan melarikan diri ke Shanghai, lalu ke Amerika. Anak perempuan lainnya, yang terlalu patuh pada suaminya dan tidak bisa mengeluarkan pendapat, ternyata neneknya dulu di China adalah selir keempat dan dididik bahwa perempuan itu hanya pemuas laki2x dan mereka harus bersyukur karena bisa kawin, walaupun hanya sebagai istri keempat. Anyway...bukannya mau jualan buku ehehehe... tapi bener deh, buku/film ini adalah salah satu yang KUDU dibaca/ditonton, terutama oleh kita immigrant dari Asia. Walaupun ceritanya fiksi, lumayan juga untuk hiburan dan mungkin bisa membantu untuk mengerti permasalahan antar orang tua dan anak di negeri orang. Btw... novel ini salah satu bacaan novel wajib di high school loh waktu saya ngajar ehehehehe.... karena selain isi ceritanya luas dan berbobot untuk dijadikan !
bahan diskusi dan belajar, novel ini mewakili kisah para immigrant di Amerika, terutama yang dari Asia. Penulisnya, yang juga Chinese-American, juga dibesarkan dalam kedua kultur.:)
******Mau cerita si Ayu dari Jakarta Ayah, Suami & Pekerjaan Rumah Tangga (Jakarta, Perth, Blaricum)(Nana-Eropa)Dear Zeverina,Membaca 2 cerita Ayu (putri Mr. Clean), aku jadi pengin dengar banyak tentang bagaimana dia mampu menyembunyikan identitas aslinya baik di kampus maupun di masyarakat umum serta menghadapi dunia nyata di Indonesia. Aku jadi ingat waktu awal kuliah di sebuah PTN di Jawa awal dekade 90-an. Hari pertama opspek dan penataran P4, masuk aula fakultas serta merta kami dari mulut ke mulut dapet info, di jurusan kami ada 2 anak Bupati, anaknya pengusaha A,B, C, anaknya dosen D,G,F dll.Sampailah KKN-betulan, aku serumah dengan putrinya orang ORBA, dari fakultas lain, bapaknya sering muncul di berita nasional jam 7 malam. Pihak kelurahan sudah dikasih tahu oleh universitas tentang hal ini, maka kami dapat lokasi yang tidak pelosok amat. Sebagai orang biasa tentu aku excited dengan si putri ini. Dan memang istimewa. Dia tidak seglamour bayangan orang lain, pi!
ntar dan juga punya leadership. Sebelum tidur kami bertiga bisa saja cekikikan layaknya anak muda biasa di tempat tidur yang kekecilan buat bertiga. Ia jadi perhatian orang desa, juga teman-teman KKN dari desa lain intinya pengin kenal, ada yang mau lebih alias menjilat secara halus maupun vulgar.....Aku pernah diajak ke rumah dinas maupun rumah pribadinya. Biasa, banyak penghuni alias extended family layaknya budaya di Indonesia. Jangankan birokrat yg merangkap jadi pengusaha spt bapkanya si putri ini, dari cerita di rubrik ini sekitar natal "juru selamat", kita bisa simak bagaimana orang lain di sekitar kita banyak sekali "njagak-ke"/berharap-harap dari kita yang "dianggap" lebih. Saat itu, anak-anaknya orang berada di kampus jika kursus bahasa Inggris atau ambil S2 trendnya pergi ke Aussie atau Amrik. Nah, Ayu adakah waktu untuk berbagi cerita lain?.............
*******Kirim Paket ke Indonesia(Elisa-Amerika)
Hi Zeverina,
Saya ingin ikutan nimbrung berbagi pengalaman nih. To the point aja ya, biar ngga kepanjangan�
Sudah empat kali saya �menyelipkan� uang ($20 atau $50) dalam kartu ulang tahun atau kartu natal ke saudara saya di Indonesia (saya tinggal di Amerika). Dua-tiga kali mereka menerimanya. Tapi yang keempat kalinya (ini terjadi sekitar 6 bln yll), saya mengirim kartu ultah ke kakak saya dengan $50 di dalamnya (saya bungkus dengan aluminum foil), tidak sampai ke alamat. Setelah kejadian tsb, tentu saja saya tidak akan pernah mau untuk mencoba lagi. Beberapa minggu setelah itu, saya mengirim �support letter untuk pengajuan visa� ke alamat kakak saya. Biasanya surat biasa (ngga lebih dari 1 oz) dari sini ke Indo dengan perangko .80 cents akan sampai sekitar 10 hari kerja, tapi surat saya kali ini baru sampai sekitar 20 hari kerja, dan diterima dalam keadaan terbuka; tambahan: di situ ada note tertulis �surat diterima di pos Tangerang dalam keaadan terbuka� (kakak saya tinngal di Serpong-Tangerang). Coba kalau itu terjadi di sini, saya bisa jadi kaya karena sue mereka! Saya jadi i!
ngin tahu, apakah setiap surat yang masuk dari luar negri mereka buka semua, mengecheck apakah ada duitnya atau tidak, kalo ada surat masuk ke sampah & duit masuk kantong? Untuk pembaca yang pernah atau sedang bekerja di kantor pos, saya benar-benar ingin tahu jawabannya (silakan beri komentar).
Sekitar minggu terakhir bulan November (saya lupa tanggalnya, mungkin setelah Thanksgiving Day) saya mengirim paket (kado ulang tahun) berupa mainan anak2 ke keponakan saya (anak kakak saya), kali ini saya kirim ke alamat kantor kakak saya di Jakarta (dengan maksud agar mereka tidak berani mengotak atik), lewat udara sekitar $75 ongkosnya, tertulis 10-14 hari kerja. Ternyata sampai tanggal 28 December di mana keponakan saya berulang tahun, dia masih belum memeperoleh kadonya. Dan sayangnya, saya tidak tahu di mana resi/receiptnya, mungkin sudah saya buang. Akhirnya dengan modal nekat, pada tanggal 30 December kakak saya dengan ditemani seorang teman yang mengerti mengenai pengiriman, pergi ke kantor pos pusat Jakarta tanpa surat resi. Ternyata nasib baik berpihak pada kakak saya (meski menunggu cukup lama), paket akhirnya ditemukan, dan tertulis sampai pada tanggal 9 December. Tetapi mereka mengirimkan surat pemberitahuan pengambilan paket (SPPP) pada tanggal 26 December.
Kakak saya menanyakan mengapa mereka tidak mengirim surat pemberitahuan pada saat itu juga, mereka jawab seenaknya �sibuk�. Usut punya usut, ternyata dalam SPPP tertulis kurang lebih (saya tidak tahu persis bagaimana kata2nya, ini berdasarkan cerita kakak saya) �kalau dalam waktu 14 hari paket tidak diambil akan menjadi milik kantor pos�. Jadi, begitu itu tho maksudnya (korupsi tersembunyi, eh?)? Kemudian kakak saya disuruh membayar Rp. 7.000; karena saat itu kakak saya tidak mempunyai receh, dia memberikan Rp. 20.000. Aneh bin ajaib, petugasnya tidak menyadari kalau itu perlu dikembalikan; pertama kali kakak saya dengan lembut bertanya (meski pun dia sudah kesal setengah mati karena paket sudah tertahan sekian lama, itu kan hak penerima untuk menerima paket), �Mana kembaliannya, Pak?� Pura2 tidak mendengar, kedua kalinya kakak saya bertanya lebih keras, masih (pura2) tuli juga; akhirnya saking kesalnya kakak saya sedikit membentak. Pura2 kaget, �Oh, iya, uangnya tadi Rp. 20!
.000 ya�� dan baru mengembalikannya. Kata teman kakak saya, ini masih mending/masih lucky bahwa kakak saya bisa memperoleh paket tersebut (lho kok?). Sering, kata dia, mereka menandatangani SPPP seolah2 barang sudah diterima oleh alamat yang tertera di situ, padahal mereka mengambilnya; biasanya paket dari luar negri. Saya tidak tahu apakah ini benar atau tidak. Sekali lagi saya ingin tahu jawabannya juga.
Thanks buat Zeverina atas dimuatnya surat ini. Mohon dirahasiakan alamat email saya. Regards, Elisa
*****Prosedur untuk studi di Australia(G-Perth)Dear Zeverina dan para pembaca KCM,Surat ini untuk menjawab pertanyaan beberapa pembaca KCM tentang bagaimana prosedur untuk studi di Australia.Pertama-tama, visit www.immi.gov.au Klik pada "Studying in Australia" untuk memilih-milih institusi mana yang mempunyai program studi yang menjadi minat anda. Di website masing-masing "study provider" ada page "Prospective Student". Klik pada "International/Overseas Student". Kalau anda ada pertanyaan-pertanyaan yang tidak "terjawab" setelah mempelajari informasi di website, kirim email dan tanyakan pada pihak universitas tersebut. Mereka selalu memiliki email address untuk anda "berkorespondensi/berkomunikasi" dengan mereka. Untuk persyaratan dan prosedur visa, klik pada "Student/study visa" pada website www.immi.gov.auKalau anda ingin "tahunya beres", anda bisa berkonsultasi dengan IDP Education Australia. Mereka punya cabang-cabang di kota-kota besar di Indonesia. Tentu saja ada biaya!
"ekstra" untuk jasa mereka. Visit www.idp.comKalau anda tidak keberatan sedikit capai, anda bisa mengurus sendiri segalanya. Keuntungannya, biaya bisa "ditekan", dan pada akhir proses, anda mengerti dan mempunyai pengetahuan luas tentang segala prosedur itu. Ini akan sangat berguna kalau anda lulus dari universitas di Australia, anda berminat apply for permanent residency sebagai skilled migrant, anda setidaknya sudah punya pengalaman mengurus segala persyaratan sendiri.Secara garis besar, yang harus anda siapkan adalah:
1. Terjemahan ijasah dan transkrip nilai dari Indonesia ke dalam bahasa Inggris. Penerjemahan dilakukan oleh penerjemah resmi (mereka mempunyai cap atau surat pernyataan tentang keabsahan dokumen yang diterjemahkan dan hasil terjemahannya legal secara hukum). Dokumen-dokumen anda akan di-assess oleh pihak university yang anda lamar. Ijasah sarjana Indonesia pada umumnya disetarakan dengan "bachelor" di Australia. Saya katakan "pada umumnya", sebab ada pula universitas-universitas swasta (gurem) di Indonesia yang tidak ada dalam daftar yang dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan disini. Untuk kasus begini, S1 anda di Indonesia "tidak diakui", alias dianggap tak pernah ada.2. Melakukan tes IELTS. Hasil tes ini hanya berlaku 12 bulan saja. Pada umumnya minimal IELTS untuk masuk universitas di Australia adalah 6.5 untuk semua aspek (Reading, Listening, Speaking, Writing). Ada pula universitas atau bidang-bidang tertentu yang mensyaratkan skor 7.0 atau 7.5. Anda harus mengetahui !
syarat ini lebih dulu dari universitas atau program studi yang akan anda masuki. Kalau skor anda di bawah syarat minimal, anda diharuskan ikut dan lulus "Bridging English" dulu (berarti ada extra waktu dan biaya yang harus di-cover). Lamanya "bridging" tergantung skor IELTS anda. Bisa 3 bulan sampai 12 bulan, misalnya. Ada pula bidang tertentu yang mengharuskan overseas student ambil dan lulus "Bridging Course" dulu, lamanya 6-12 bulan. 3. Siapkan dana di rekening. Untuk post-graduate anda harus mendemonstrasikan setidaknya ada Rp.350 juta (kalau ada perubahan, bisa ditanyakan nanti kepada petugas Kedutaan Australia yang menangani visa anda), untuk kebutuhan biaya kuliah dan hidup selama setahun. Anda pun harus memperlihatkan kemampuan finansial bagaimana anda mensupport studi dan biaya hidup anda tahun-tahun berikutnya di Australia (bila study anda membutuhkan waktu 2 tahun, misalnya). Kalau visa application anda lengkap, proses pengabulan visa paling lama 2 minggu saja. 4!
. Kalau anda punya family di Australia, family anda bisa melam!
pirkan s
urat pernyataan pendukung misalnya bahwa applicant akan tinggal di rumah family tersebut, dan mereka akan ikut bertanggung jawab atas diri anda sampai studi anda selesai, dll apapun support yang bisa diberikan. Ini memang tidak menjadi faktor penentu dikabulkannya visa anda, tapi memberi anda tambahan kepercayaan saja.Untuk informasi beasiswa, visit www.dfat.gov.au Klik "AusAid". Pada website-website university pun mereka mempublikasikan beasiswa-beasiswa yang ditawarkan. Klik saja pada "Scholarship". Demikian, semoga berguna, dan selamat belajar dan berjuang. Salam. G di Australia.
*****************************
Catatan:
Bagi pembaca rubrik Kesehatan KCM , silakan berbagi pengalaman seputar kehidupan Anda sehari-hari. Kirimkan via email ke: zeverina@kompas.com.
No comments:
Post a Comment