Cari Berita berita lama

Melangit di Jalur Khusus

Senin, 23 Juni 2003.
Melangit di Jalur KhususJakarta, 23 Juni 2003 01:00Menjadi mahasiswa Universitas Indonesia (UI) sudah lama diidamkan Kikit Putriani Rizki. Lulusan Sekolah Menengah Umum II Bukittinggi, Sumatera Barat, tahun 2003 ini pun rela meninggalkan kampung halamannya menuju Jakarta guna mengadu nasib masuk ke kampus para "Yellow Jackets". ''Kualitasnya bagus, dan susana kampusnya pun nyaman,'' kata gadis manis berusia 18 tahun ini ketika ditemui di Kampus UI, Depok, Jawa Barat, Sabtu pekan lalu.

Kiki mendaftar ke UI lewat jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) yang secara nasional dibuka serentak Rabu pekan lalu hingga 28 Juli mendatang. Ia memilih Jurusan Teknik Industri sebagai pilihan pertama. Segala persiapan menghadapi jelimetnya soal ujian sudah Kiki jalani, termasuk engikuti bimbingan tes. Toh ia masih was-was soal ongkos kuliah yang melangit.

Saat ini UI terkenal sebagai kampus papan atas dalam urusan biaya kuliah. Perguruan tinggi yang berdiri sejak 2 Februari 1950 ini mematok biaya pendidikan per semester Rp 1,25 juta untuk program S1 jurusan-jurusan sosial dan Rp 1,5 juta bagi eksakta. Bandingkan dengan Universitas Gadjah Mada yang memungut Rp 500 ribu dan Rp 750 ribu untuk sosial dan eksakta.

Biaya semakin "gila" jika calon mahasiswa masuk lewat jalur Program Prestasi Minat Mandiri (PPMM), Pintu khusus ini disediakan kepada pelamar yang tak lolos SPMB, tapi sanggup menyetor uang sumbangan sebesar Rp 25 juta hingga Rp 75 juta. ''Wah, Kami tak sanggup. Itu kelewat mahal ,'' kata Kiki. Ia berharap diterima lewat jalur SPMB. Jika tidak, ia lebih memilih sekolah swasta atau berburu bea siswa ke Jepang.

Jalur khusus berembel-embel uang sumbangan memang jadi tren Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dalam menerima mahasiswa barunya. Tradisi anyar ini dimulai Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta lewat Ujian Masuk mandiri, April silam. Lantas Institut Teknologi Bandung (ITB) mengikutinya dengan menggelar penelusuran Minat, Bakat dan Potensi (PMBP) pada Juni lalu.

Polah tiga PTN yang sudah berstatus Badan Hukum Milik Negera ini menjadi ilham bagi kampus plat merah biasa lain. Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Solo, dan Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, berancang-ancang menerapkan jurus serupa. ''Kami melakukan seleksi jalur khusus ini setelah ada hasil SPMB,'' kata Drs. MPd., Ketua SPMB UNS. Mereka menamakan jalur ini dengan nama SPMB Swadana.

Selain namanya beragam, cara seleksi dan jumlah mahasiswa yang diterima lewat jalur ini pun berlainan. UGM dan ITB, misalnya, sama-sama melakukan ujian tertulis di luar SPMB. Namun, alokasi kursi berbeda. UGM meyiapkan 4.500 kursi dari 6000 yang tersedia. Sedangkan ITB hanya menyediakan 500 bangku, di luar jalur SPMB yang tahun ini dijatah 1930 orang.

Lain halnya dengan UI. Mereka sama sekali tak mengadakan seleksi tertulis khusus. Penyaringan dilakukan, salah satunya dengan memanfaatkan hasil SPMB. Misalnya, Jurusan Hubungan Internasional menerima 50 siswa melalui SPMB, Jatah ini diajangkan untuk calon yang nilainya menduduki urutan 1 hingga 50. Nah jalur PPMM akan diberikan kepada kandidat urutan 51 sampai 75..

Pertimbangan lainnya, prestasi akademik di Sekolah Menengah Umum. ''Nilai rata-rata apot kelas tiganya harus tujuh atau lebih. Kalau kurang dari itu, ya mohon maaf,'' kata Drs. Arie S. Soesilo, MS., Wakil Rektor III UI Bidang Kemahasiswaan. Seperti halnya ITB, jalur khusus di UI ini tak mengganggu jatah bangku yang diperebutkan lewat SPMB. Tersedia 600 bangku untuk pintu khusus, dan 3.500 lewat SPMB. ''Jadi jangan salah mengerti dengan program ini. Jatah untuk SPMB masih tetap, tak dikurangi,'' kata Arie kepada Astari Yuniarti dari Gatra.

Yang ditempuh UNS beda lagi . Mereka melakukan dua pola. Ada beberapa program studi yang kembali melakukan ujian tersendiri, yakni Fisip, Ekonomi, Hukum, dan Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan. Sedangkan yang berdasarkan skor SPMB adalah Fakultas Kedokteran, Pertanian, Sastra dan Teknik. Adapun Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam menjadi satu-satunya fakultas di UNS yang belum siap menerima mahasiswa lewat jalur khusus. ''Direncanakan baru mulai tahun depan,'' kata Soekirno. Untuk SPMB Swadana ini, tersedia sekitar seribu kursi.

Jalan pintas dilakukan oleh Unair. Pintu khusus bernama program Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK) Jalur D ini merupakan jelmaan program ekstension kemitraan umum yang sudah ada. Selama ini, pesertanya memang dari kalangan berduit. Selain Jalur D, masih ada Jalur A (PMDK prestasi), Jalur B (PMDK jalur alih jenjang), dan Jalur C (jalur kemitraan daerah). Jumlah mahasiswa yang ditampung lewat keempat jalur ini mencapai 50 % dari 4.500-an bangku yang tersedia.

Berapa jatah Jalur D? ''Nanti ditetapkan secara fleksibel,'' kata Prof. Dr. H.Fasich Apt., Pembantu Rektor I Unair, kepada Mujib Rahman dari Gatra. Yang kini jadi sorotan, pembukaan jalur khusus ini diikuti oleh aksi jor-joran dalam mematok duit sumbangan. Sebelumnya, UGM hanya menyebut minimal Rp 5 Juta untuk semua bidang studi. Kemudian disalip oleh ITB yang mematok angka Rp 45 juta.

Lantas UI mematok kisaran Rp 25 juta hingga Rp 75 juta, disesuaikan bidang studinya. Sumbangan terendah ditempati Fakultas Ilmu Bahasa sebesar Rp 25 juta, kemudian Fisip Rp 50 - 60 juta, dan Fakultas Kedokteran Gigi bertengger di puncak dengan Rp 75 juta. Patokan tertinggi versi UI ini diikuti UNS, Unair dan Undip. Mereka sama-sama menyebut Rp 75 juta untuk sumbangan masuk Fakultas Kedokteran Umum.

Dalam prakteknya, batasan ini bisa saja terlampaui. Berkembang kabar, di beberapa perguruan tinggi ada orang tua yang sanggup menyediakan Rp 150 juta guna menyekolahkan anaknya di Fakultas Kedokteran. Bahkan di ITB lebih gila lagi. Ceritanya macam-macam, dari ada yang siap merogoh kocek ratusan juta hingga Rp 1 milyar.

Dr. Ismunandar, Sekretaris Jurusan Kimia Fakultas MIPA ITB, mengaku mendengar ada yang siap Rp 1 milyar untuk menyekolahkan dua anak kembarnya. Anak yang satu sebesar Rp 550 juta, sedangkan saudaranya Rp 450 juta. Namun tak jelas, ke fakultas mana saja tujuan mereka. Identitas dan akurasi dari kabar ini pun sulit diuji, karena jalur khusus ini bersifat rahasia. Apalagi kalau sampai menyangkut besarnya sumbangan.

Pihak rektorat sendiri, lewat Adang Surahman, Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan ITB, memastikan kabar itu tidak benar. Sejauh ini, menurut dia, paling tinggi hanya berkisar seratusan juta. Itu pun jumlahnya di bawah 10 orang. ''Kebanyakan, ya Rp 45 juta lebih dikit-dikit,'' kata Adang kepada Ida Farida dari GATRA.

Terhadap aksi jor-joran tersebut, Menteri Pendidikan Nasional, Prof. Drs. Abdul Malik Fadjar, mengaku bisa memahami.. Menurutnya, untuk menggapai mutu yang baik, dunia pendidikan memang masih butuh dana banyak. Ia menyebut, cita-citanya anggaran pendidikan yang disiapkan pemerintah adalah 20 % dari total Anggaran Pembangunan dan Belanja Negara. Namun dalam kenyataannya, baru 4 hingga 9 persen saja.

Dari anggaran yang terbatas ini pun, menurut Malik, setiap tahunnya pemerintah harus mensubsidi Rp 10 juta hingga Rp 15 juta per mahasiswa jurusan sosial, dan Rp 15 juta hingga Rp 25 juta per untuk eksakta. Ironisnya, subsidi itu diterima mahasiswa secara rata. Tak memandang latar bekalang kehidupan ekonomi keluarganya. Anak konglomerat maupun anak petanim sama saja.

''Itu kan tidak adil,'' kata Malik. Padahal anak orang kaya itu, dengan SPP sama seperti yang dibayarkan anak orang susah, datang ke kampus menunggang mobil mewah. Nah, jalur khusus yang ditawarkan PTN. menurut Malik, salah satunya ditujukan untuk mengatasi kesenjangan tersebut. "Biar terjadi subsidi silang di antara peserta didik," kata mantan Rektor Universitas Muhamadyah, Malang tersebut.

Yang kini jadi perhatian pemerintah, penggunaan sumbangan itu harus transparan dan bisa dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) Departemen Pendidikan Nasional melayangkan surat edaran kepada para rektor, Rabu pekan lalu. Intinya, pemerintah akan menindak PTN yang melanggar kepatutan dalam penerimaan sumbangan ini. Tak dirinci berapa sumbangan yang masih dianggap patut dan berapa yang dianggap melampaui kewajaran.

Menurut Dirjen Dikti Prof. Dr. Satryo Soemantri Brodjonegoro, pemerintah akan terus memantau pelaksaanaan seleksi. Sekiranya nanti ditemukan penyimpangan, misalnya besarnya sumbangan mengorbankan nilai akademik, pemerintah tak segan-segan menjatuhkan sanksi.

Begitu juga setelah mahasiswa lewat jalur khusus mengikuti kuliah, harus diperlakukan sama dengan yang lewat jalur biasa. Jika di tengah jalan prestasinya amburadul dan harus drop out, maka vonis itu tetap harus dileksekusi. ''Kalau tidak, berarti terjadi penyimpangan,'' kata Satryo kepada Alfian dari GATRA.

Penggunaan uang pun, menurut Satryo, tak boleh digunakan untuk kepentingan macam-macam. "Sepenuhnya untuk pendidikan,"katanya. Bentuknya bisa berupa perbaikan fasilitas laboratorium, kelengkapan buku di perpustakaan, keteraturan dan ketertiban kuliah. "Biar mutu terdongkrak," kata Satriyo.

Masalah peningkatan mutu ini, menurut Satryo, pernah dilontarkan kepada PTN bergengsi, misalnya UGM, ITB, dan UI. Kini untuk tingkat Asia saja, peringkatnya sungguh memperihatinkan. Berada di nomor buncit. UGM, misalnya, tahun 1996 masih bisa bertengger di urutan 36 dari daftar 77 universitas bergengsi di kancah Asia. Namun tahun ini, poisisinya terjun bebas hingga ke urutan 68.

Begitu pula ITB yang bertengger di posisi 15 dalam bidang sains dan teknologi pada 1999, setahun berikutnya anjlok ke urutan 21 dari 39 perguruan tinggi yang dinilai. Menurut Prof. Dr. Anwar Arifin, Ketua sub Bidang Pendidikan Komisi VI DPR, buruknya kualitas ini akibat PTN berlomba meningkatkan kuota penerimaan mahasiswa barunya.

Buntutnya, "proses belajar berlangsung massal karena dana pendidikan yang sedikit dibagi untuk orang banyak,'' kata Anwar. Untuk mengerek mutu, Ia menyarankan jumlah mahasiswa dipangkas a. ''Atau cari cara yang cerdas untuk mendapatkan dana, bukan dengan menjual kursi,'' kata Anwar yang merangkap Wakil Ketua Komisi VI ini. Ia berharap, PTN bisa membuat dan menjual produk ilmu dan keterampilan yang dimilikinya.

Anwar mencontohkan Institut Pertanian Bogor yang punya keahlian di bidang pertanian. Seharusnya, kata Anwar, mahasiswa IPB bisa memanfaatkan lahan tidur yang berlimpah atau membantu petani dengan sistem bagi hasil. ''Masa kita tak bisa menghasilkan durian Bogor yang lebih baik dari durian Bangkok," katanya. "Padahal dulu, orang Thailand itu belajarnya di IPB,'' Anwar menambahkan..

Bisa jadi, Anwar benar. PTN sampai sekarang masih belum mengoptimalkan kemampuannya untuk meendapatkan dana pendidikan. Pemasukan masih didomonasi dari uang kuliah. Sedangkan uang yang mengalir dari kegiatan keilmuan, sepert penelitian dan riset, serta usaha lainnya, porsinya sangat kecil (lihat tabel). Sebagai contoh, dari dana masyarakat Rp 236 miliar yang masuk ke kantong UI tahun 2003, Rp 217 miliar disumbangkan dari SPP mahasiswa.

Itu pun sebagian besar, yakni Rp 188 milyar berasal dari SPP non reguler atau dari siswa di luar SPMB. Di sini berkumpul mahasiswa S2, S3, program megister, manajemen, dan mahasiswa program ekstension. Sedangkan pemasukan dari kegiatan riset dan hasil kerjasama UI dengan pihak ketiga, sebesar Rp 21 miliar. ''Hanya delapan persen saja,'' kata Darminto, Wakil Rektor II Bidang Keuangan dan SDM UI.

Neraca jomplang itulah yang dikritik Anwar. ''Apakah tak ada cara lain yang lebih produktif dan canggih,'' katanya. Untuk itulah, menurutnya, Komisi VI DPR memanggil para rektor dan Dirjen Dikti untuk menjelaskan kebijakan ini di Gedung DOR, Rabu pekan ini.

PTN, termasuk yang berstatus BHMN, kata Anwar tidak bisa sewenang-wenang menaikkan atau menetapkan biaya pendidikan. Kebijakan itu pada akhirnya akan diskriminatif. "Peluang itu hanya bisa dinikmati orang berkantong tebal," kata Anwar. Padahal, setiap tahunnya pemerintah menggelontorkan subsidi yang berasal dari uang rakyat. ''Secara Pribadi, saya mengecam kebijakan itu,'' katanya. Apa boleh buat, duit memang gampang menimbulkan salah faham.

Hidayat Gunadi, Hendri Firzani, Sujoko (Yogyakarta), dan Joko Syahban (Solo).
[Laporan Utama, GATRA, Nomor 32 Beredar Senin 23 Juni 2003]

No comments:

Post a Comment