Rabu, 8 Desember 2004.
Pertemuan Buntet Rekomendasikan Muktamar NU Luar BiasaCIREBON -- Sejumlah kiai sepuh Nahdlatul Ulama yang kecewa atas hasil Muktamar NU ke-31 di Boyolali, Jawa Tengah, 28 November-2 Desember lalu urung membentuk NU tandingan. Namun, mereka berniat menggelar Muktamar NU luar biasa. Keputusan itu muncul dalam pertemuan 42 kiai sepuh plus Abdurrahman Wahid di Buntet Pondok Pesantren, Cirebon, Jawa Barat, kemarin.
Menurut K.H. Ubaidillah Faqih, putra K.H. Abdullah Faqih dari Langitan, Tuban, pertemuan menghasilkan dua keputusan penting. "Pertama, rekomendasi para kiai sepuh kepada Gus Dur (sapaan Wahid) tak akan dicabut," katanya dalam keterangan pers seusai acara. Ia didampingi K.H. Muhaiminan Gunardo (Parakan, Jawa Tengah) dan K.H. Zaim Maksum (Lasem).
Rekomendasi tadi adalah meminta Wahid membentuk NU tandingan jika Hasyim Muzadi terpilih lagi sebagai Ketua Umum Pengurus Besar NU dalam muktamar ke-31. Ternyata Hasyim kembali terpilih menjadi ketua umum.
Menurut Ubaidillah, para kiai tak terburu-buru membentuk NU tandingan karena khawatir memperburuk citra NU. Maka mereka lebih dulu akan menggalang kekuatan di akar rumput. "Itu lebih penting sebelum digelar Muktamar NU luar biasa."
Ketiga kiai tadi merahasiakan waktu muktamar luar biasa. Namun, kata sumber Tempo, acara itu paling lambat dilaksanakan pada Juni 2005, setelah Musyawarah Nasional Partai Kebangkitan Bangsa.
Wahid menolak berkomentar banyak soal pertemuan. "Saya manut apa kata kiai," ujarnya. Ia lalu meninggalkan Buntet karena akan bertolak ke Australia.
Adapun keputusan kedua, Ubaidillah menjelaskan, para kiai sepuh tak mengakui muktamar Boyolali. Mereka menilai, ada indikasi politik uang yang tak mencerminkan akhlak kiai dan warga NU.
Apalagi panitia muktamar tak mengundang sejumlah kiai sepuh ketika pembukaan. "Muktamar yang dijaga oleh kirik-kirik (anak anjing) itu sudah sangat tak sesuai dan tak mencerminkan akhlak NU."
Makanya para kiai bertekad berada di luar struktur NU sekarang. "Kami akan memperlihatkan kepada Hasyim Muzadi siapa yang didukung oleh warga NU secara luas," ujarnya.
Di Pesantren Krapyak, Yogyakarta, kemarin, lima kiai sepuh dari Jawa Timur meminta bantuan pengasuh pesantren itu, K.H. Attabik Ali, untuk meredam konflik internal NU. Mereka berharap, Attabik menemui Wahid dan memintanya agar membatalkan pendirian NU tandingan. Lima kiai itu: K.H. Idris Marzuki (Lirboyo), K.H. MAS Subadar (Pasuruan), K.H. Manwar Mansyur (Jombang), dan K.H. Sadid Jauhari (Jember).
Menurut dia, mereka mengaku gelisah atas rencana Wahid mendeklarasikan NU tandingan, pertengahan Desember. Dalam keterangan pers di kantor PB NU dua hari lalu, Wahid mengatakan, "NU baru" yang bersifat rekonsiliasi akan terbentuk pada 15 Desember 2005. "Mungkin saya dipandang sebagai pihak yang netral, tak mendukung Hasyim Muzadi ataupun Gus Dur," ujarnya.
Attabik mengaku sudah berusaha memenuhi keinginan para kiai dengan menelepon Salahuddin Wahid, adik kandung Wahid. "Tapi Gus Solah mengatakan, ia tak bisa berbuat apa-apa dengan sikap Gus Dur."
Ia menjelaskan, para kiai sudah meminta Hasyim agar akomodatif dalam menyusun kepengurusan PB NU. Namun, Wahid mengajukan syarat yang sangat berat: mengharamkan 10 nama masuk ke struktur PB NU. "Bagaimana akan dipenuhi permintaan Gus Dur, kalau Hasyim termasuk orang yang dilarang menjadi pengurus PB NU," tutur Attabik.
Ketua NU Daerah Istimewa Yogyakarta Mas'oed Mahfud tak yakin Wahid benar-benar mendirikan NU tandingan. Apalagi Wahid menyatakan "NU baru" bersifat rekonsiliasi. "Beda pendapat setelah muktamar itu wajar, dalam waktu dekat selesai," katanya.
Pertemuan di Buntet diwarnai unjuk rasa dari kaum muda NU di luar pagar kediaman pemilik pesantren K.H. Abdullah Abbas. Mereka membeber kertas karton bertulisan antara lain, "Hasyim Muzadi penjual NU", "Warga Buntet menolak Hasyim", "Apa jare Gus Dur kita manut".
Ketua Ikatan Keluarga Asrama Pesantren Buntet M. Anas Azas dan bendahara Annamunazadiya M. Fariz--dua organisasi pemuda yang diakui Yayasan Buntet Pondok Pesantren--menyatakan, mereka akan turut perintah kiai sepuh. "Kami mendukung sepenuhnya apa yang dikatakan oleh kiai sepuh," ujar Anas.
Menurut Fariz, mayoritas warga NU mendukung Wahid ketimbang Hasyim. Fakta itu wajar karena Wahid cucu pendiri NU, K.H. Hasyim As'ary, dan lebih merakyat.
Adapun pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada, Riswanda Imawan, menilai, isu NU tandingan akan menurunkan citra Abdurrahman Wahid. "NU tak lagi tergantung pada personifikasi orang. Dan itu bagus," katanya setelah berbicara dalam Musyawarah Nasional II Asosiasi DPRD Kota Seluruh Indonesia di Hotel Intercontinental, Jakarta. ivansyah/syaiful amin/eworaswa
No comments:
Post a Comment