Kamis, 31 Juli 2003.
MPR Perlu Belajar SejarahAsvi Warman AdamSEJARAWAN LIPI
Judul tulisan ini adalah ucapan yang dilontarkan oleh Ketua MPR M. Amien Rais secara afirmatif. "Kambing congek saja tidak akan membenturkan kepalanya dua kali. Kalau kita belum bisa mengambil pelajaran dari dua peristiwa bersejarah tersebut, ya kita lebih bodoh dari kambing." Demikian pernyataan tambahan Amien Rais ketika menerima beberapa kelompok Islam seperti Majelis Mujahidin Indonesia dan Lasykar Ababil seperti diberitakan Koran Tempo edisi 25 Juli 2003. Menurut Amien Rais, Badan Pekerja MPR menyepakati tidak akan mencabut Tap XXV/MPRS/1966 yang melarang PKI dan penyebarluasan ajaran komunisme/Marxisme/Leninisme.
Saya sangat setuju bahwa "MPR harus belajar sejarah", termasuk ketuanya sendiri. Tetapi, tentunya belajar sejarah yang benar, bukan sejarah yang diputarbalikkan semasa Orde Baru. Kalau dianggap bahwa PKI telah melakukan pemberontakan dua kali pada 1948 dan 1965, jelaslah hitungan itu tidak fair.
Kenapa tidak disebut pemberontakan PKI pada 1926/1927 di Banten dan Silungkang, Sumatra Barat. Pemberontakan dipadamkan dan ribuan orang dikirim ke Digul, di ujung Pulau Papua yang termasuk wilayah Hindia Belanda. Mereka dibuang ke suatu tempat yang sangat terpencil di tengah hutan yang merupakan sarang nyamuk malaria. Ketika Jepang menyerbu Indonesia pada 1942, para tahanan diungsikan ke Australia, dan mereka baru dikembalikan ke Tanah Air setelah Indonesia merdeka. Jadi, sebetulnya orang-orang PKI itulah yang merupakan golongan pahlawan yang pertama pada awal abad XX ini.
Peristiwa Madiun 1948
Dalam buku pelajaran sejarah Indonesia, peristiwa Madiun 1948 dicatat sebagai pemberontakan kaum komunis untuk merebut kekuasaan dari tangan Soekarno-Hatta. Selanjutnya, Indonesia akan dijadikan negara komunis yang bernaung di bawah Uni Soviet. Yang dijadikan sebagai bukti adalah tokoh penting dalam peristiwa itu, yakni Musso, kader PKI yang baru pulang dari Moskow. Kini sejarah resmi itu ditinjau kembali.
Pada 2002 lalu terbit buku Hersri Setiawan, Negara Madiun? (Kesaksian Soemarsono Pelaku Perjuangan). Menurut Soemarsono yang pernah menjadi gubernur militer saat itu, peristiwa Madiun merupakan persengketaan antara TNI dan laskar-laskar revolusi lainnya yang berkelanjutan dengan saling menculik. Namun, peristiwa ini dimanipulasi oleh kelompok antikomunis dan didukung oleh pihak Barat, agar kaum komunis bisa ditumpas dan dibersihkan dari gerakan revolusi kemerdekaan Indonesia.
Anthony Reid (Revolusi Nasional Indonesia, 1996) mengatakan bahwa respons pemerintah terhadap peristiwa Madiun tidak sulit dimengerti. Negosiasi seperti yang diusulkan Sudirman mungkin dapat menyelamatkan banyak nyawa, tetapi dengan ongkos keberhasilan propaganda Belanda bahwa Republik Indonesia tidak berdaya terhadap komunis dan memastikan dukungan AS bagi Belanda untuk melakukan intervensi. Soekarno-Hatta memilih bertindak tegas terhadap kelompok oposisi kiri tersebut.
Masih menurut Reid, peristiwa Madiun penting bukan hanya karena jumlah korban yang besar (konon 8.000 orang PKI dibunuh oleh TNI menurut tuduhan pihak Belanda di Perserikatan Bangsa-Bangsa), tapi karena warisan kebencian yang ditinggalkan antara kelompok kanan (santri) dan kiri (abangan).
Perspektif baru yang dirumuskan oleh Hersri adalah peristiwa Madiun itu bukanlah coup d'etat, melainkan coup de ville, bukanlah usaha perebutan kekuasaan secara nasional, melainkan pergolakan pada tingkat kota. Itu pun terjadi karena posisi yang terjepit. Selain ditulis dengan perspektif baru, buku ini juga menampilkan beberapa arsip Amerika Serikat seperti telegram antara Merle Cohran (Jakarta) dan George Catlett Marshal (Washington).
Jawaban telegram Marshal bertanggal 9 September 1948: "Anda boleh dengan hati-hati memberi tahu Hatta sebagai berikut: pemerintah AS dengan segala cara yang praktis akan membantu pemerintah Indonesia yang demokratis nonkomunis agar berhasil menahan tirani komunisme." Kehadiran arsip Amerika Serikat itu memperlihatkan keterlibatan negara adidaya itu dalam masalah dalam negeri Indonesia.
Satu hal lagi dapat ditambahkan bahwa dalam sejarah resmi hanya tercantum soal pembunuhan terhadap banyak kiai di daerah Madiun dan sekitarnya. Tapi sebetulnya kekejaman dilakukan oleh kedua belah pihak. Roeslan Abdulgani masih mempunyai ingatan mengerikan tentang peristiwa Madiun (Casper Schuuring, Roeslan Abdulgani Tokoh Segala Zaman, 2002). "Di sebuah gedung sekolah ditawan 43 orang komunis dan diputuskan siapa di antara mereka yang akan dihukum mati. Seorang letnan memohon kesediaan saya untuk hadir dalam pelaksanaan tembak mati tersebut. Dari jumlah 43 itu, 15 orang dihukum mati dan lima di antaranya benar-benar ditembak di depan liang kubur yang sudah tersedia.... Ketika malam harinya kembali ke Madiun, saya menangis. Saya tidak pernah menangis begitu keras."
Hal yang sama juga menimpa Amir Sjarifuddin dan 10 pemimpin teras kelompok komunis pada 19 Desember 1948 tengah malam di Desa Ngaliyan, Solo. Sebanyak 20 orang penduduk desa disuruh tentara menggali lubang sedalam 1,7 meter. Amir--berpiyama putih-biru, celana panjang warna hijau, dan membawa buntelan sarung--bertanya kepada kapten TNI yang ada di situ, "Saya ini mau diapakan?" Sang kapten menjawab, "Saya tentara, tunduk perintah atasan."
Perintah itu berasal dari Gubernur Militer Kolonel Gatot Subroto. Sebelas orang itu menyanyikan lagu Indonesia Raya dan Internationale. Selesai menyanyi Amir berseru, "Bersatulah kaum buruh seluruh dunia! Aku mati untukmu!" Semuanya lalu ditembak satu per satu. Amir Sjarifuddin Harahap adalah mantan Perdana Menteri Republik Indonesia yang dieksekusi oleh bangsanya sendiri tanpa pengusutan dan keputusan pengadilan. Revolusi telah memakan anak-anaknya sendiri.
Gerakan 30 September 1965
Menurut versi resmi Orde Baru, PKI adalah dalang peristiwa tersebut. Namun, belakangan ini masyarakat sudah mulai terbuka matanya dengan kehadiran versi lain seperti (1) bukan PKI sebagai partai, namun hanya elitenya yang terlibat, (2) peristiwa itu merupakan perseteruan intern AD, (3) keterlibatan asing seperti CIA, badan rahasia Inggris dan Australia, (4) Soekarno, (5) Soeharto (kudeta merangkak). Malahan yang terakhir ini yang cukup hangat sekarang. Tulisan ini tidak menguraikan lagi berbagai versi tersebut. Yang jelas, PKI sebagai sebuah organisasi kian diragukan keterlibatannya dalam peristiwa G-30-S/1965.
Perlu ditambahkan pula, sebetulnya lebih banyak pemberontakan yang memakai label Islam atau memanfaatkan simbol agama tersebut, misalnya, DI/TII yang pecah di Jawa Barat, Aceh, dan Sulawesi Selatan. Pada 1951 meletus gerakan AUI (Angkatan Umat Islam) di Kebumen, Jawa Tengah. Pemberontakan PRRI sendiri didukung oleh partai Islam Masyumi. Meskipun demikian, tidak berarti bahwa seyogianya partai yang berlabel atau berbendera Islam dilarang di Tanah Air. Demikian pula dengan berbagai pemberontakan yang terjadi di Indonesia, sejak Indonesia merdeka sangat banyak tentara pada pucuk pimpinannya terlibat. Namun, itu tidak berarti bahwa kita mesti membubarkan TNI.
Pemahaman sejarah yang berkembang seperti di atas perlu disosialisasikan ke tengah masyarakat, juga di kalangan para politikus. Saya setuju dengan pendapat Amien Rais bahwa "MPR perlu belajar sejarah," termasuk ketuanya.
No comments:
Post a Comment