Senin, 1 Juli 2002.
Cuci Otak, Penghapusan Memori, Pemberanian, atau ApaJakarta, 1 Juli 2002 00:50MAYLING Oey Gardiner tak mau ingat lagi pada lembaga pelatihan yang satu ini. "Saya tidak suka ikut AsiaWorks," kata guru besar Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, itu kepada GATRA, Kamis pekan lalu. Lho, apa pasal? "Saya tidak merasa perlu dibentak-bentak untuk mendapatkan kepercayaan diri," katanya.
Tampaknya, Mayling, 61 tahun, bersama suaminya, Dr. Peter Gardiner, berusaha keras menghapus memorinya tentang AsiaWorks Indonesia (AWI), sebuah lembaga pelatihan kepribadian yang berlokasi di belakang Pertokoan Sarinah, Jalan KH Agus Salim 60A, Jakarta Pusat. Pasangan Peter-Mayling ikut pelatihan AWI untuk tingkat basic training, awal 1999. Rupanya, Mayling, yang waktu itu berusia 58 tahun, tak bisa menerima cara yang diberlakukan oleh instruktur.
Meski tak setuju dengan metode yang dipakai, pasangan itu merampungkan pelatihan selama lima hari, dengan biaya Rp 2 juta per orang. Rupanya, yang kecewa bukan hanya mereka. Sejak sebulan terakhir ini, misalnya, dunia maya diramaikan berita miring tentang aktivitas AWI, yang berkiblat ke pusat AsiaWorks di Hong Kong itu. Selain di Hong Kong, dan Jakarta, AsiaWorks juga bergerak di Malaysia, Singapura, dan Taiwan.
Cerita miring yang menyebar di jaringan internet itu lebih sebagai peringatan, agar masyarakat Indonesia berhati-hati dengan aktivitas AWI. Menurut berita itu, AWI menggunakan metode "cuci otak", dan membuat pesertanya mengalami stres, dari yang ringan sampai yang berat, alias rada tak waras.
Karena munculnya di dunia maya, dengan cepat informasi itu merasuk ke berbagai penjuru, termasuk ke para psikolog, lembaga-lembaga pelatihan, dan kelompok-kelompok meditasi di republik yang belum sembuh dari krisis ekonomi yang menjerat rakyat ini.
AWI memang berbeda dengan lembaga pendidikan konvensional. Ia mengunakan metode yang disebut experience learning (EL). Bedanya dengan transformasi konvensional, di AWI tak dikenal materi tertulis, atau referensi tertentu. Semuanya disampaikan trainer berdasarkan penggalian pengalaman pribadi peserta. "Tidak ada kegiatan mencatat," kata Country Manager AWI, Agustina Hadju, yang akrab disapa Tini, kepada GATRA.
Dalam melakukan pelatihannya, ada tiga jenjang: basic training, advance training, dan leadership program orientation (LPO) (baca: Warisan Keprihatinan Gentry). Untuk tingkat basic dan advanced, semua sesi dilakukan di dalam kelas, tanpa alat peraga. Sedangkan untuk LPO, ada latihan secara praktis menghilangkan rasa takut. Antara lain, peserta diajak main paralayang, panjat tebing, dan panjat pohon.
Perekrutan peserta lebih banyak dilakukan melalui pertemanan, atau atasan yang memerintahkan bawahan. Mirip-mirip gaya multilevel marketing (MLM). Adapun metode yang dilakukan, seperti dituturkan Tini, para trainer berusaha "membongkar" masa lalu peserta. Memori buruk akan diungkap untuk dicarikan solusinya. "Agar orang bisa efektif, ia harus dihilangkan dari sejarah-sejarah yang tidak berjalan dengan baik," tutur Tini.
"Melalui latihan, peserta akan dibawa ke masa lalu. Tapi, ini bukan meditasi karena dilakukan secara sadar," Tini menambahkan. Tentu, tak semua peserta dengan mudah mau diajak terbuka mengungkap rahasia pribadinya. "Kalau peserta merasa tersudut bila mengungkap sejarah buruknya, ia boleh out," kata Tini. Itu sebabnya, dalam setiap angkatan, terutama di tingkat basic dan advanced, ada saja yang keluar karena tak sependapat. Ada pula yang "terpaksa" ikut karena ingin tahu. Tapi, tak sedikit yang malah menikmatinya.
Ambil contoh Sari, karyawati satu perusahaan multinasional yang kini berusia 40 tahun. Pada awal 1999, ia dikirim kantornya untuk mengikuti pelatihan AWI, dari basic sampai advanced. Apa yang ia dapatkan? "Masak kami disuruh membongkar habis semua memori?" katanya, mengawali perbicangan dengan GATRA, Selasa pekan lalu.
Sari mengikut pelatihan tingkat dasar dan lanjutan itu atas biaya dari kantor sepenuhnya. Waktu itu, Sari ikut bersama dua rekan kerjanya. Dari tiga orang itu, satu orang hanya ikut pada tingkat dasar. Ketika ada tawaran untuk ikut advanced, Sari tak ikut. Hanya Johan --sebut saja begitu-- yang ikut. "Teman saya yang satunya sudah tak mau lagi ikut," tutur Sari.
Setelah Johan ikut di advanced, perangainya menjadi lain. Disiplinnya meningkat, tapi penampilannya berubah. Kalau dulu si Johan ini ramah dan apresiatif terhadap pendapat teman kerja, kali ini ia jadi mendominasi dan otoriter. "Kalau rapat, semua pendapat orang disalahkan. Hanya pendapatnya sendiri yang benar dan harus dilaksanakan," kata Sari. "Ini yang membuat saya penasaran, ada apa di tingkat advanced itu," katanya. Itu sebabnya, ia pun ikut ke tingkat advanced.
Di tingkat lanjut itulah Sari baru tahu. "Di tingkat basic, instrukturnya masih ramah, tapi di tingkat advanced kondisinya lain," katanya. "Instrukturnya keras, peserta dibentak-bentak." Perbedaan lain terletak pada cara "mengeluarkan" memori. Di tingkat basic, memori dikeluarkan kepada pasangan antarpeserta. "Di tingkat advanced, seseorang harus mengeluarkannya di depan peserta," Sari mengenang pengalaman tiga tahun lalu itu. "Di sana pula peserta dituduh pembohong, dibentak-bentak."
Selain itu, masih kata Sari, ada semacam doktrin: "Saya mau, saya bisa." Rupanya, doktrin itulah yang membuat Johan berubah. Sari pun menganalisis, "Barangkali, dengan doktrin 'saya mau, saya bisa' itulah Johan jadi otoriter," ujarnya. Pada perkembangan berikutnya, Johan memang sangat fanatik terhadap AWI. Sedangkan Sari berusaha melupakan apa yang ia dapatkan di lembaga itu. "Setiap kali saya mengingat AWI, ada semacam trauma pada diri saya," katanya.
Trauma yang dimaksud adalah ketika ia diharuskan membongkar semua memorinya di depan kelas, dimarah-marahi instruktur yang orang bule --seakan ditempatkan dalam posisi "terdakwa". Tapi, pengalaman Zinnia Zubaida, 23 tahun, lain lagi. Gadis cantik yang akrab dipanggil "Sisi" itu kini menjadi fashion stylist di sebuah majalah mode di Jakarta. Alumnus jurusan fashion design di Sekolah Mode ESMOB, Cipete, Jakarta Selatan, itu mengaku, keberaniannya meniti perjuangan hidup jadi bangkit justru setelah mengikuti semua program AWI.
Sisi, setelah mengikuti program AWI pada akhir 1999, merasa punya prinsip hidup yang jelas. Simaklah pengakuannya: "Apa yang akan terjadi, itu terserah saya!" Beda, kan, dengan pengalaman Sari? Yang jelas, biaya yang lumayan tinggi untuk bergabung dengan program AWI cenderung menyebabkan, hanya mereka yang mampu secara finansial yang bisa ikut. Atau mereka yang dibiayai perusahaan tempatnya bekerja.
Karena itu, jangan heran kalau di antara peserta, atau alumni AWI, tercatat sejumlah nama beken. Pakar kepribadian Mien R. Uno, presenter Dewi Hughes, penyanyi Marini dan putrinya, Shelomita, dan model Lulu Dewayanti hanyalah sebagian nama yang pernah ikut pelatihan AWI. Bahkan, menurut sumber GATRA, bintang sinetron Jihan Fahira kini sedang mengikuti program di AWI. Sedangkan di tingkat perusahaan, bisa disebut nama-nama besar seperti Unilever, Cathay Pacific, Astra International, American Express, dan Bank Mandiri. Bahkan, Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan juga menggalang kerja sama dengan AWI.
Tapi, menurut Indira Ratna, Manajer Personalia PT Astra International, pihaknya tidak mengkhususkan karyawannya ikut pelatihan AWI. "Ada 500 karyawan yang ikut berbagai pelatihan, 20% di antaranya ikut di luar," katanya. Adapun yang mengikuti program AWI, katanya, jumlahnya 20-30 orang, dan baru dilaksanakan sejak dua tahun terakhir.
Dalam penilain Ratna, mereka yang ikut pelatihan itu dasarnya sudah bagus. "Pelatihan itu untuk menutupi apa yang kurang saja," ujarnya. Lalu, yang memilih AWI, masih kata Ratna, karena mereka lebih membutuhkan pengembangan pribadi. "Supaya lebih percaya diri dan bisa menghadapi orang," ia menjelaskan. Adakah korelasi sebelum dan sesudah mengikuti pelatihan di AWI dengan kinerja seseorang? "Dampak untuk perusahaan sulit diukur," kata Ratna. "Kalau dampak terhadap kinerja, yang tahu persis adalah atasan langsung," ia menambahkan.
Bagaimana dengan para pesohor --yang biasa disebut "selebriti"? Sejauh ini, kalangan pesohor yang mengikuti program AWI berpandangan positif. Lulu Dewayanti, misalnya. Menurut Presiden Direktur Look Model Inc ini, yang diajarkan di AWI adalah kebaikan. "Misalnya, untuk meraih sukses, kita diarahkan untuk tidak menempuh cara saling sikut," tutur Lulu kepada Nyala Dwis Merthania dari GATRA. "Juga diajarkan disiplin. Tapi, terkadang ada saja yang menerimanya dengan sikap berbeda," katanya.
Dewi Hughes juga menyimpan kesan positif. "Training itu banyak manfaatnya buat gue," kata Hughes kepada Oke Indrayana Trianto dari GATRA. "Dulu gue tidak se-pede sekarang," kata Hughes, yang ikut pelatihan pada 1998. Tapi, Hughes juga punya masukan kepada AWI. "Dalam hal kecerdasan emosional dan kecerdasan intelektualnya cukup bagus," tuturnya. "Kekurangannya hanya pada sentuhan kecerdasan spiritualnya," ia menambahkan. "Kalau kecerdasan spiritualnya ada, ia akan makin baik," kata presenter bertubuh subur itu.
Lain lagi komentar Mien R. Uno. Menurut instruktur di Sekolah Kepribadian John Robert Power ini, di AWI diajarkan bagaimana caranya berekspresi secara bebas. "Karena itu, orang yang labil sebaiknya tidak masuk ke sana," kata Mien, yang bersama anaknya ikut tingkat basic pada 2000, kepada Asmayani Kusrini dari GATRA. Yang jelas, kata kuncinya adalah metode mengeluarkan memori, dan mengisinya dengan "nilai-nilai baru" yang menonjolkan aspek percaya diri.
"Membuang memori itu adalah bagian dari proses cuci otak," tutur Hamdi Muluk, psikolog dari Universitas Indonesia. Hal itu biasa dilakukan seorang ahli terhadap seorang pasien. "Sifatnya individual dan terukur. Tapi, kalau dilakukan secara massal, hasilnya akan lain," Hamdi menjelaskan. Anand Krishna sependapat dengan Hamdi. "Harus diawasi secara ketat sebab, kalau tidak, sasarannya tak bakal tercapai," ujar tokoh meditasi itu.
Dalam pandangan Anand, bila memori seseorang diangkat habis, dan tidak ada pembinaan lanjutan yang intensif, yang bersangkutan bisa menjadi labil. "Dan itu efeknya bisa macam-macam," ia menjelaskan. Antara lain, orang bisa bingung, stres, bahkan lebih dari itu. Jadi, menurut Anand, persoalannya adalah, apakah kita mau membuang semua memori itu, atau mengobati yang sakit saja. "Dan penyembuhannya tak bisa instan," kata penulis 49 buku yang berkaitan dengan meditasi itu.
Tentang orang yang datang kepadanya setelah merasakan akibat pelatihan-pelatihan yang menggunakan metode cuci otak itu Anand mengakuinya. "Ada beberapa, dan kami tangani secara khusus," katanya. "Yang ditangani secara khusus itu adalah mereka yang mau menjelaskan sebelumnya. Kalau tidak menceritakan latar belakangnya, ya ditangani secara umum," kata Anand.
Lain lagi pendapat A.B. Susanto. Menurut pendiri Jakarta Consulting Group ini, Indonesia menjadi ajang pemasaran untuk kegiatan yang sifatnya spekulasi. "Ini karena orang Indonesia itu latah," kata Susanto kepada GATRA. Menurut Susanto, trend pelatihan dengan cara mirip-mirip cuci otak itu sebentar lagi akan berakhir. "Dalam istilah marketing, itu hanya fads. Cepat menimbulkan orang keranjingan, tetapi cepat pula menghilang," katanya. "Ini menjadi klop dengan pemasarannya yang mirip MLM, yang mengesankan tidak adanya transparansi."
Susanto prihatin terhadap masih adanya pelatihan-pelatihan dengan metode cuci otak itu. Menurut dia, sudah banyak informasi miring mengenai pelatihan jenis ini, terutama efek negatifnya secara psikologis. "Saya mendengar, beberapa peserta mengalami displacement," kata Susanto. Bahkan, masih menurut dia, tidak sedikit yang mengingatkan bahayanya bagi iman umat beragama. "Karena di sana terdapat penyangkalan terhadap hal-hal yang tidak logis, yang dapat bertentangan dengan ajaran agama kita," katanya. "Saya menduga, pelatihan ini berinduk pada lifespring, yang dapat saya kategorikan sebagai white collar cults," ia menambahkan.
Karena menyangkut masa depan peserta, Hamdi Muluk mengimbau agar berhasil-tidaknya sebuah pelatihan jangan diukur secara statistik. "Satu saja yang menjadi masalah, itu sudah menyangkut masa depan seseorang," ia menutup keterangan.
[Herry Mohammad, G.A. Guritno, Heni Kurniasih, dan Mujib Rahman]
[Laporan Utama, GATRA, Nomor 33 Beredar Senin 1 Juli 2002]
No comments:
Post a Comment