Cari Berita berita lama

KoranTempo - Mengais Kehidupan di Bantaran Rel

Minggu, 1 Mei 2005.
Mengais Kehidupan di Bantaran RelMalam itu Murni, 47 tahun, memutuskan tidak mengencani pria mana pun. Dia hanya ingin menanti mimpi di pondoknya. Dia begitu lelah hingga terjaga sesaat setelah pagi mulai mengintai.

Wanita asal Rejomulyo, Semarang, ini tak kuasa menahan kakinya melangkah ke luar rumah. Waktu itu, kendati jarum jam sudah menunjuk angka 01.30, bukan waktu yang tidak tepat menuju tempat kerjanya di rel kereta api, yang hanya sepelemparan batu dari pondoknya.

Murni bukan petugas pintu perlintasan kereta, tapi dia penjaja seks. Kali itu dia hanya ingin sekadar menghirup udara sambil melihat kehidupan yang digelutinya selama ini.

Sesaat berada di luar rumah, warga Kampung Gunung Antang, Jakarta Timur, ini tercengang. Di hadapannya, banyak orang lari tunggang-langgang menghindari kereta api tujuan Stasiun Manggarai yang sedang mengamuk. Tidak melewati rel kanan seperti biasa, kali itu lewat jalur kiri.

Pada kejadian 19 Maret itu, enam orang meninggal dan sembilan masuk rumah sakit. Argo Muria menerabas belasan orang yang duduk sambil bercengkerama di rel, lokasi tempat Murni, ibu empat anak ini, mencari nafkah.

Murni bercerita, klakson peringatan kereta waktu itu berbunyi justru setelah melabrak tongkrongan di atas rel. Sejumlah orang sempat pindah ke bantaran rel sebelah kanan, sayang, masih banyak yang tidak sempat.

Sebanyak enam korban meninggal, semuanya wanita. Dari sembilan korban luka parah, hanya enam yang pria. Bantaran rel kereta di Gunung Antang memang ajang bertemunya penjaja kenikmatan dengan para hidung belang.

Ketika Tempo berkunjung ke perkampungan tersebut, tiga malam silam, kehidupan sudah berjalan seperti biasa. Suasana kemeriahan diskotek atau hiburan malam tetap terasa.

Hampir di sepanjang rel, para penjaja seks, sebagiannya waria, menghampiri lelaki yang lewat. Mereka menawarkan sebuah kenikmatan.

Sambutan dari lelakinya, "Bisa dipakai?" Nah, negosiasi terjadi. Harga awal dari penjaja seks biasanya Rp 50 ribu termasuk kamar. Jika harga cocok, mereka langsung menuju pondok dengan kamar seukuran satu kali dua meter. Sewanya Rp 5.000 sekali pakai, dengan fasilitas alas tidur dari papan dan bak mandi kecil.

Ada juga yang polanya tidak langsung seperti itu. Dari pengamatan Tempo, bisa saja para "jejaka" yang rata-rata berusia 20-30 tahun itu sambil menyeruput kopi di pondok yang hanya dua meter dari rel memperhatikan calon pemuas nafsu. Atau, kalau iseng, bisa sambil tanya waktu kepada para penjaja. Setelah itu, ya tawar-menawar harga.

Kalau bosan di rel, wanita penghibur bisa singgah di pondok berukuran 4 x 6 meter sambil menikmati lagu-lagu dangdut. Berjoget atau berkaraoke juga bisa. Hanya pondok di sebelah kanan bantaran rel menyediakan fasilitas ini, karena di sebelah kiri yang jumlahnya tak lebih dari 20 pondok sunyi.

Tidak ada yang tahu secara pasti kapan tepatnya pondok-pondok itu berdiri. Bahkan Banot, Ketua RW 09 Pal Meriam, Matraman, yang tinggal di kawasan itu sejak 1976 tidak punya catatan.

Menurut pria 60 tahun ini, sebenarnya kawasan tersebut tidak bebas dari penertiban. Hampir seminggu sekali selalu digelar pihak pemda. Tapi kehidupan di sana tetap berlangsung dengan lakon dan pelaku sama.

Simak cerita Murni ini. "Dulu saya pernah terjaring razia. Tapi karena saya punya KTP dan waktu itu saya mengaku sebagai pembantu di pondok, saya dilepaskan. Teman saya yang tidak punya KTP diminta membayar Rp 90 ribu. Setelah itu, ia dilepaskan." Kini, kata dia, justru lebih aman lantaran setoran dari pekerja seks dan pondokan kepada "para penguasa".

Bantaran rel yang menjanjikan kenikmatan kehidupan malam bukan hanya milik Kampung Gunung Antang. Cobalah jalan-jalan di peron arah Manggarai, perlintasan kereta api di Jalan Latuharhari, Jakarta Pusat.

Pekikan house music ikut mengisi malam, menemani wanita-wanita penghibur yang menanti tamu di pinggir sungai, persis di samping lintasan kereta.

Ada yang berbeda sedikit dengan pola di Kampung Gunung Antang. Para penjaja seks tidak agresif menjajakan layanan secara langsung kepada orang yang lewat. Mereka hanya menyorot tajam.

Para tamu pun seolah mafhum, kebanyakan duduk-duduk di warung, mengobrol. Padahal suara musik menelan suara mereka. Di sinilah, transaksi seks dimulai.

Warung remang-remang dekat Stasiun Sudirman terlihat lebih eksklusif. "Yang di situ semua siap, Om," kata seorang pria yang ngotot dipanggil Agus Bule.

Calo berperawakan gempal ini mengatakan, transaksi biasa dilakukan di warung-warung ini. Jika ingin lebih dari sekadar kencan, bisa menyewa kamar "Hotel Ganyong" seharga Rp 3.000. Tentu sekali pakai. Menurut dia, ada belasan kamar di hotel yang lokasinya dirahasiakan itu.

Tak ada yang khawatir dengan kehadiran kereta di jalur ini, walau setiap sekitar 20 menit sekali. Seperti kata Buyung, pemilik warung remang-remang, "Di sini kan dekat stasiun dan pintu keretanya juga dekat-dekat. Kalau ada kereta lewat, ya terdengar."

Begitu juga dengan masyarakat di bantaran rel Stasiun Senen. Seperti dituturkan Yanto, 50 tahun, kehidupan di situ sudah ada sejak 1960. Ketika itu, Senen terkenal sebagai Kawasan Planet Senen, tempat berkumpul preman, penjahat, dan pekerja seks komersial.

Akhirnya mereka kembali. "Tahun 1990-an sudah marak lagi," katanya.

Penghuninya bisa saja bersilih ganti. Sebab, gubuk-gubuk berukuran 4 x 6 meter di sana bisa dipindahtangankan seharga Rp 1 juta.

Para penghuni gubuk yang sebagian besar berprofesi sebagai pemulung. Sade, 32 tahun, salah satunya. Dia tinggal di situ sejak 1976. "Ini lapak orang tua saya," ujar ibu empat anak ini.

Pihak PT Kereta Api tak bisa berbuat banyak terhadap para penghuni liar di sekitar rel. "Tidak ada tenaga," kata Kepala Divisi Jabotabek PT Kereta Api Rachmadi kepada Tempo.

Dia mengakui bahwa seluruh bangunan yang ada di sekitar bantaran rel kereta api di sebut liar. "Kami sudah membangun pagar, tapi kadang-kadang masyarakat menggunakan bantaran rel dengan merusak pagar, kemudian membangun rumah."

Bagi pemanfaat bantaran rel, tragedi di kilometer 1-4/5, Jakarta Timur, adalah konsekuensi yang setiap saat bisa mereka terima. Dan di malam kunjungan Tempo itu, Murni sudah menjajakan kembali kenikmatan seks yang bisa ditawarkan. Sebagai pemanasan, basa-basi tawaran minum biasa disodorkan. "Bir juga ada lo," tuturnya. yohanes adi wiyanto/evy flamboyan/oktamanjaya wiguna

No comments:

Post a Comment