Sabtu, 19 Januari 2002.
Kelangkaan BerasAda tiga karakter beras yang menyebabkan komoditas ini menjadi penting dalam tataran makro sosial-ekonomi politik kita. Pertama, beras adalah komoditas kuasi publik dan komoditas politik. Inilah penyebab mekanisme alokasi dan distribusi beras tidak bisa dibiarkan begitu saja melalui mekanisme alamiah pergerakan suplai dan permintaan di pasar (laissez fair).
Di satu sisi, beras memang bisa berposisi sebagai komoditas privat dan komersial pada tataran tertentu yang tecermin oleh level harganya di pasar, yang masih bisa diterima baik oleh petani maupun oleh konsumen (rakyat pada umumnya). Dalam bahasa ekonominya dikatakan ketika permintaan beras relatif bisa dipenuhi oleh suplainya.
Namun, yang membedakan beras dengan komoditas privat/komersial lainnya adalah ketika kelangkaannya berdampak keresahan publik. Bandingkan dengan kelangkaan durian, tidak ada orang yang resah apalagi "turun ke jalan" minta harga durian diturunkan. Ini menunjukkan beras merupakan komoditas kuasi publik (komoditas publik yang semu).
Di lain sisi, jika terjadi kelangkaan beras di pasar, yang ditunjukkan dengan naiknya harga beras secara signifikan, maka akan berpengaruh pula pada "pasar politik". Artinya, pada saat itu kelangkaan beras menjadi sinyal pula akan langkanya "kepercayaan" publik terhadap pemerintah, yang bisa menjadi faktor pemicu dicabutnya "kontrak politik" antara keduanya, seperti yang telah dialami oleh dua presiden penguasa Orde lama dan Orde Baru. Inilah penjelasan bahwa beras adalah komoditas politik.
Kedua, secara alamiah mekanisme cocoknya antara permintaan dan pasokan beras sulit terjadi. Karena fitrah beras sebagai komoditas pertanian adalah mengikuti pola musim tertentu, yakni akan terjadi excess supply (kelebihan pasokan) pada musim panen, dan excess demand (kelebihan permintaan masyarakat) dalam musim paceklik. Ini artinya tanpa ada bantuan dari luar mekanisme alamiah ini, maka antara pasokan dan permintaan sulit untuk bertemu.
Ketiga, ada dua struktur pasar yang mengatur mekanisme distribusi beras, mulai dari produsen sampai ke konsumen akhir.
(1) Struktur pasar gabah. Coba perhatikan struktur pasar gabah dalam cakupan desa. Di desa ada beberapa pedagang pengumpul yang berperan sebagai pembeli gabah dan berpuluh bahkan beratus petani yang berposisi sebagai penjual (produsen). Struktur pasar yang demikian ini kita katakan sebagai pasar oligopsoni, karena hanya ada beberapa pembeli sedangkan penjualnya sangat banyak. Dalam struktur pasar ini posisi penjual (petani) amat lemah di mana secara institusional tengkulak adalah price maker yang bisa menekan harga gabah di tingkat petani.
(2) Struktur pasar beras. Struktur pasar inilah yang kita lihat di pasar-pasar induk dan grosir, di mana ada ratusan bahkan ribuan pedagang besar (pemasok) dan puluhan juta orang yang berposisi sebagai konsumen. Struktur pasar yang demikian ini kita katakan pasar oligopoli, karena hanya ada sedikit penjual jika di bandingkan dengan pembelinya. Dalam struktur pasar ini, posisi konsumen (rakyat pada umumnya) lemah, karena lagi-lagi para pedagang besar relatif berposisi sebagai price maker dan rakyat umumnya hanya sebagai penerima harga (price taker). Ini berarti pula para pedagang perantara bisa memainkan harga di tingkat konsumen.
Karakter ketiga beras (struktur pasar) menjadi faktor kunci penjelas mengapa pada waktu tertentu, akibat faktor kejutan eksternal, harga beras akan melonjak drastis. Hal ini karena struktur pasar gabah-beras sangat rentan terhadap perilaku rent seeking dan spekulatif ketika ada faktor-faktor kejutan eksternal (shock variable) seperti isu akan naiknya harga bahan bakar minyak (BBM).
Perilaku ini umum dilakukan oleh para pedagang perantara dalam bentuk sebagai berikut: (1) Isu kenaikan harga BBM yang sebelumnya diikuti dengan naiknya permintaan bahan pokok pada hari besar Idul Fitri, Natal, dan Tahun Baru, yang memberikan justifikasi psikologi pasar bagi kenaikan harga barang kebutuhan pokok setelah hari-hari besar tersebut.
(2) Kondisi paceklik (Januari sampai Maret) bisa memacu sejumlah pedagang perantara untuk melakukan penimbunan untuk mendapatkan super profit (keuntungan di luar batas wajar). Akibatnya, akan terjadi kenaikan harga beras yang signifikan. Ini akan semakin parah jika para konsumen pun terimbas melakukan tindakan spekulatif pula dalam bentuk "memborong" dalam jumlah yang cukup besar untuk "penyelamatan diri", seperti yang kita lihat menjelang lengsernya Presiden Soeharto.
Tiga karakter beras di atas menjadikan tidak realistis kalau kita mengharapkan harga beras dapat stabil sepanjang tahun bila kita serahkan sepenuhnya pada mekanisme alamiah pasarnya (laissez fair). Jika kita masih mengharapkan harga yang stabil dan bisa dijangkau daya beli masyarakat, pemerintah harus turun tangan.
Tapi hal itu sulit dilakukan secara all out seperti di era Orba karena tekanan IMF, yakni memangkas tugas dan fungsi Bulog sebagai badan yang menangani stabilisasi harga dan distribusi pangan. IMF menilai badan ini melakukan monopoli impor dengan berbagai fasilitas dan kemudahan negara. Di samping itu, lembaga ini memang mengalami delegitimasi publik yang luar biasa dengan sejumlah kasus KKN yang memakai label Bulog (antara lain Buloggate I dan II).
Tulisan ini bukan untuk melegitimasi institusi Bulog ala Orba harus ada. Tapi yang kita peduli adalah adanya fungsi dan peran penyeimbang logistik beras antara musim paceklik dan panen kalau memang kita ingin kasus-kasus kelangkaan beras yang meresahkan tidak terjadi di masa mendatang.
Sebenarnya sebagian fungsi mekanisme penyeimbang logistik antarmusim ini dapat diserahkan ke masyarakat melalui lembaga logistik tradisional yang di kenal dengan nama "lumbung desa". Lembaga logistik tradisional ini terpinggirkan karena adanya intervensi kelembagaan "modern" yang diakselerasi keberadaannya oleh pemerintah seperti Bulog dan KUD. Padahal, institusi ini merupakan institusi lokal yang dulu cukup efektif dalam menjaga ketahanan pangan masyarakat secara swadaya.
Sebagaimana kita ketahui, sebagian besar masyarakat kita bermukim di desa dan berprofesi sebagai petani. Nah, keberadaan lumbung-lumbung desa ini akan merelakan tugas dan dana yang harus dikeluarkan pemerintah ketika terjadi kelangkaan beras. Karena peran utama lumbung desa ini di sejumlah daerah seperti Sumatra Barat, Jawa barat, dan sebagian Kalimantan adalah untuk mengatasi kerawanan musim paceklik. Atau dengan kata lain, lumbung desa ini bisa dikembangkan menjadi penyangga ketahanan pangan (buffer stock) masyarakat.
Tentu saja peran buffer stock dari lumbung desa hanya bisa tercapai jika didukung dan diakselerasi kuantitas dan kualitasnya oleh pemerintah. Sekali lagi, dalam hal ini pun pemerintah tidak dapat bersikap laissez fair (menyerahkan pengembangan dan perkembangan "lumbung desa" pada kesiapan masyarakat).
Selanjutnya, lumbung-lumbung desa yang ada perlu dibina kualitas pengelolaannya seperti (1) Peningkatan kemampuan penguasaan teknologi pascapanen dan penyimpanan gabah/beras; (2) Pelatihan manajemen usaha yang sesuai dengan perkembangan lumbung desa tersebut; (3) Memperkuat akses pasar dan modal sesuai dengan kebutuhannya; dan (4) Memberi peluang untuk menjadi counterpart (mitra usaha) pemerintah atau swasta lainnya dalam program dan proyek pembangunan pertanian di desa.
No comments:
Post a Comment