Kamis, 19 September 2002.
Kecewa dengan Kiprah PDI PerjuanganLengkaplah sudah tanda-tanda keberpihakan Fraksi PDI Perjuangan DPR pada kekuasaan semata dan memasabodohkan berbagai aspirasi konstituen maupun masyarakat luas pada umumnya. Mereka tidak berani memaksa Akbar Tandjung mundur atau menonaktifkan diri dulu karena statusnya yang telah dinyatakan bersalah dan divonis 3 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Bahkan Fraksi PDI Perjuangan tanpa malu-malu mengatakan tetap mendukung posisi Akbar sebagai Ketua DPR. Padahal, berbagai tuntutan publik, jajak pendapat, penilaian para ahli hukum, etika, maupun keseluruhan menyatakan bagaimana mungkin lembaga tinggi dan sangat terhormat ini dipimpin oleh seorang terpidana?
Saya sebagai simpatisan PDI Perjuangan yang pada pemilu lalu mencoblos tanda gambarnya sangat menyesal dengan kiprah PDIP. PDI Perjuangan makin jauh dari harapan publik untuk dapat menjadi teladan dalam memberantas korupsi. Kini, yang terjadi PDI Perjuangan bukannya memberi sanksi kepada Akbar, tapi malah melindunginya.
Kekecewaan saya terhadap Partai Banteng ini amat bertubi-tubi, mulai dari penolakan Panitia Khusus Skandal Bulog II, pengusutan kasus 27 Juli 1996 yang angin-anginan, dukungan kepada Sutiyoso sebagai Gubernur DKI Jakarta periode 2002-2007, dan Ketua Umum PDIP/Presiden yang bukannya bersimpati secara serius terhadap tenaga kerja Indonesia di Nunukan, tetapi malah nglencer ke luar negeri. Tak pelak segala kiprah PDI Perjuangan yang menyakitkan itu akan menjungkirbalikkan perolehan suara mereka pada Pemilu 2004 nanti.
Menyikapi kengototan Akbar untuk bertahan di posisinya, saya berharap para wakil rakyat di DPR menggunakan akal sehat, nurani yang bersih. Selain itu, para wakil rakyat juga harus berupaya maksimum melengserkan Akbar secepatnya dengan memboikot semua sidang dan acara DPR lain yang dipimpin oleh Akbar. Ini agar citra DPR tidak makin memudar.
Wisdarmanto Gs.
Pasar Minggu, Jakarta Selatan
Duet Fuad-Tamzil Memecah-belah KAHMI
Fuad Bawazier dan Tamsil Linrung, dengan berbagai upaya--termasuk uang--berhasil mengatasnamakan Musyawarah Nasional Luar Biasa Keluarga Alumnus HMI (KAHMI) Yogyakarta. Musyawarah Nasional Luar Biasa KAHMI itu memang berhasil menasbihkan Fuad menjadi ketua umum KAHMI. Namun, itu membuat organisasi alumni HMI tersebut terbelah. Para alumni HMI yang masih memiliki idealisme untuk mempertahankan KAHMI sebagai forum alumni, mendeklarasikan Forum Alumni HMI (FAHMI).
Barangkali ada pertanyaan yang signifikan untuk dikemukakan. Ini menjadi pertanyaan silent majority anggota KAHMI. Mengapa forum korps alumni seperti KAHMI bisa terpecah? Jawabannya, anggota Presidium KAHMI di Majelis Nasional memiliki kepentingan politik tertentu terhadap forum alumni yang sangat strategis ini.
Menurut saya, Fuad Bawazier merasa menjadi "pemilik" KAHMI karena donasinya, karena itu dia merasa berhak mengarahkan KAHMI untuk berorientasi politik. Sasaran strategisnya adalah 2004 nanti. Maka, terang-terangan ia berkoalisi dengan Tamsil Linrung--rekan separtainya di Partai Amanat Nasional. Sementara itu, anggota Presidium Majelis Nasional KAHMI lainnya masih ingin mempertahankan independensi KAHMI, sehingga tetap dapat berfungsi sebagai kelompok penekan terhadap kelompok dan kepentingan politik mana pun.
KAHMI di bawah Fuad, sudah jelas "roh"-nya. Betapa tidak, Fuad dekat dengan Soeharto, sedangkan Tamsil sangat diragukan. Di Partai Amanat Nasional ia dinonaktifkan dari jabatan bendahara karena sejumlah rumor miring. Belum lagi, ia dituduh terkait dengan jaringan terorisme internasional.
Dus, duet Fuad-Tamsil adalah sumber pemecah-belah KAHMI.
Nudirwan
Joglo, Jakarta Barat
No comments:
Post a Comment