Minggu, 13 Juli 2003.
Drama di Rumah Sakit RafflesSopir taksi Citicab di jalanan Singapura itu menolak pembayaran 3,4 dolar atas jasanya mengantarkan Koran Tempo, Selasa (8/7) lalu. Itu bagian dari simpatinya untuk pasangan Ladan-Laleh Bijani yang akhirnya menemui maut di meja operasi. "Kamu tak usah bayar karena sudah memberitakan tentang mereka. Sampaikan salam saya kepada keluarganya," kata dia penuh simpati.
Sepanjang pekan lalum RS Raffles yang terletak di Jalan New Bridge itu seperti menyuguhkan drama kemanusiaan yang membetot simpati siapa saja. Upaya pemisahan Ladan-Laleh sejak semula diketahui berisiko maut. Tetapi keteguhan si kembar dalam menghadapinya telah menyentuh sanubari setiap orang.
Saat operasi tengah berlangsung, sekitar 20-an rangkaian kembang--sebagian besar mawar, lili, dan melati--memenuhi lobi Rumah Sakit. "Thanks To Dr. Keith Goh, From Iranian Community, Singapore", begitu bunyi pada pita yang melingkar pada rangkaian lili putih. Rangkaian lain menyertakan hiasan dua boneka Teddy Bear kembar. Kesannya cukup semarak.
Tetapi keceriaan itu mendadak sontak pupus begitu rumah sakit mengumumkan si kembar meninggal dunia, Rabu (9/7). Sekitar 40 wartawan dari berbagai negeri yang memenuhi lobi Rumah Sakit terdiam. Beberapa tak kuasa menahan tangis. Dengan serta-merta lobi penuh sesak oleh para pengunjung. Di trotoar Jalan Victoria, tepat di depan Rumah Sakit, kerumunan orang menunjukkan simpati.
Hingga pukul 10 malam itu, gelombang pengunjung silih berganti mendatangi lobi. Ibu-ibu berjilbab hitam asal Singapura tak henti sesenggukan. Beberapa Bapak warga Iran yang sempat bertemu almarhumah sebelum operasi tak kuasa membendung tangis. Mereka berusaha tabah kendati air mata membasahi pipi. Mohammad Sjarief masih ingat si kembar tak henti-hentinya meminta doa. "Insya Allah, ini akan berhasil. Tolong doakan ya," pinta Ladan dan Laleh padanya kala itu.
Takdir memang tak bisa ditawar, bahkan oleh optimisme sebesar apa pun. Saat operasi tengah berlangsung, juru bicara rumah sakit Dr. Prem Kumar Nair sempat berbicara kepada wartawan. Katanya saat itu, kondisi si kembar baik dan tim dokter telah berhasil memisahkan tulang kepala mereka.
Selanjutnya tim dokter akan melakukan operasi pemisahan saraf. Pada tahap terakhir akan dilakukan bedah plastik yang menutup otak keduanya dengan otot dan kulit yang diambil dari paha kanan. "Jika semua ini lancar, si kembar akan dibawa ke ruang ICU dan menjalani perawatan pemulihan selama dua minggu," katanya. Kembali dikatakannya, keduanya dalam kondisi stabil. Meski ia tak bisa menjamin situasi ini akan bertahan.
Sekitar 1,5 jam kemudian, Dr. Nair turun ke lobi dan berbicara lagi pada wartawan. Katanya, kedua kembar telah terpisah namun kondisinya masih kritis karena kehilangan banyak darah. "Khususnya Ladan. Tolong doakan mereka, ya." Pada saat ini isyarat jelek seperti tengah dikirimkan.
Lalu kabar buruk itu datang. Pada pukul 3.30 waktu setempat, Dr. Nair kembali muncul. Wajahnya terlihat berkabut. Kesedihan tampak jelas membayang di raut mukanya. Para wartawan mafhum, sesuatu yang buruk telah terjadi. "Saya harus menyampaikan kabar buruk. Rumah Sakit Raffles sangat menyesal mengumumkan bahwa Ladan Bijani meninggal dunia."
Pelan sekali suara itu, tapi efeknya besar. Lobi serentak hening. Suasana langsung berubah menjadi duka. Lalu pecah oleh isak tangis dari salah satu sudut. Tak penting lagi siapa yang menangis, karena kedukaan itu memang milik semua.
Lalu datang penjelasan Nair. Dalam kenyataannya, kedua kembar memang sempat terpisah selama 90 menit. "Kedua kembar banyak kehilangan darah ketika operasi memasuki tahap kedua--yaitu pemisahan neurosurgical dari jaringan otak yang menyatu-- hampir selesai. Usaha dokter menstabilkan mereka sia-sia. Kondisi kian melemah. Setelah tim dokter melakukan usaha terbaik mereka, Ladan meninggal pada pukul 14.30 dan Laleh menyusul pukul 16.00."
Direktur Eksekutif Raffles Medical Group Loo Choon Yong mengatakan, dokter menemukan pembuluh baru yang mereka buat untuk otak Ladan--dengan mencangkok dari paha kirinya--ternyata tersumbat. Tim dokter lalu mempertimbangkan kembali beberapa pilihan. Pertama, menghentikan operasi, menaruh si kembar dalam ruang perawatan intensif, menghentikan pembiusan dan merencanakan langkah berikutnya dengan risiko infeksi dan kematian. Atau, kedua melanjutkan tahap berikutnya dari operasi pemisahan dengan risiko yang sangat tinggi.
Menghadapi situasi ini para dokter pun berbicara pada sahabat si kembar. "Mereka bilang keinginan terbesar si kembar adalah hidup terpisah, apa pun risikonya," ujar Dr. Loo. Keadaan sempat membaik saat kedua kembar telah terpisah. Namun, ketika operasi berlanjut, sirkulasi darah Ladan tersumbat dan dia meninggal.
Dokter Keith Goh dalam konferensi pers singkat setelah operasi mengatakan, baginya sebuah keputusan sulit untuk melanjutkan operasi. Namun, melihat dan memahami penderitaan dua gadis selama 29 tahun, dia dan tim ahli berbagai negara memutuskan untuk terus. "Untuk menyumbangkan waktu dan keahlian kami mencoba memberikan kehidupan baru yang normal untuk gadis ini."
Ia juga mengatakan, si kembar kehilangan darah dalam jumlah sangat banyak pada tahap akhir operasi. "Perubahan dalam pola aliran darah kerap terjadi pada pasien mana pun dan operasi apa pun. Kadang-kadang, reaksi tubuh manusia terhadap sebuah operasi tak bisa diprediksi sepenuhnya," katanya menanggapi pertanyaan wartawan apakah ia tidak mengantisipasi soal ini sebelumnya.
Hanya kenangan manis yang tersisa dari kepergian si kembar. Najad Alattas, 26 tahun, putri Syed Hassan Alattas, Imam Masjid Ba'alwi tempat si kembar disalatkan, mengatakan bahwa almarhumah adalah sosok yang ramah dan ceria. "Jika kami sudah sehat setelah operasi, kota yang akan kami datangi adalah Mekkah, lalu Madinah," kata Najad mengutip si kembar.
Kesedihan terus berlanjut saat kedua jenazah disalatkan di Masjid Ba'alwi. Tak kurang dari 1.000 pelayat memadati masjid sampai ke pekarangan.
Najad dan Uda, adik perempuannya, berjilbab hitam-hitam menyambut setiap pelayat. Semua yang datang diminta mengisi buku tamu. Kurma yang dihidangkan dalam baki pun dibagikan.
Suasana seperti itu, menurut Hamzah Din, salah seorang jemaah, belum pernah terjadi. Biasanya, kalau ada salat jenazah, paling-paling hanya dihadiri 100 atau 200 orang.
Bahkan tak cuma kaum muslimin yang datang, tetapi juga kalangan agama lain. Di antara para pelayat terlihat seorang pendeta Buddha dengan jubah oranye. Tiga orang suster Katolik tampak juga datang melayat.
Masjid Ba'alwi bergetar oleh lantunan kalimatullah "Laa ilaaha ilallah, laa ilaaha ilallah...," yang meruap ke seluruh ruangan masjid. Di luar, puluhan rangkaian bunga menumpuk. Salah satunya bertulisan: "We share in your sorrow on the demise of Ladan and Laleh Bijani." Duka ini memang milik semua. andari karina anom (singapura)
No comments:
Post a Comment