Cari Berita berita lama

KoranTempo - Dilema Aparat Keamanan

Kamis, 13 Pebruari 2003.
Dilema Aparat KeamananDalam sebulan terakhir ini, aksi unjuk rasa berbagai elemen masyarakat kembali marak, terutama kalangan mahasiswa serta mereka yang mengaku sebagai wakil komunitas rakyat miskin. Semula, aksi para demonstran berlangsung tertib dan melibatkan sedikit massa mahasiswa. Isu yang diusung mereka pun relatif terfokus pada penolakan kebijakan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak, tarif listrik dan telepon.

Aksi ini kemudian membesar dan melibatkan berbagai elemen masyarakat, akibat pernyataan pemerintah yang tidak akan mencabut keputusannya. Tuntutan yang mereka kumandangkan pun terus melebar hingga meminta Megawati dan Hamzah Haz mundur dari jabatan mereka.

Aksi-aksi unjuk rasa ini pun tak luput dari tindakan anarkistis. Di sejumlah daerah dilaporkan beberapa patung rekaan dan foto Megawati dan Hamzah dibakar massa, adanya insiden pendudukan gedung pemerintah, perusakan fasilitas umum. Bahkan, belakangan aksi-aksi unjuk rasa sering menimbulkan bentrokan fisik dengan aparat keamanan. Akibatnya, kerugian material dan korban cedera sulit dihindarkan.

Menghadapi aksi ribuan pengunjuk rasa itu, aparat kepolisian sering kerepotan, tersudut, dan menghadapi dilema besar. Bertindak tegas salah, tidak bertindak tegas sesuai dengan ketentuan juga salah.

Bahkan sikap tegas aparat kepolisian tempo hari yang melarang aksi unjuk rasa sekelompok masyarakat yang sebelumnya tidak memberitahukan kepada pihak berwajib, dituduh diskriminatif dan mengingkari kebebasan mengeluarkan pikiran dan ekspresi.

Demikian juga tindakan pihak berwajib yang menangkap dan memeriksa beberapa pengunjuk rasa, dituduh sebagai antidemokrasi dan bersikap represif. Sekalipun puluhan mahasiswa yang ditangkap kemudian dibebaskan.

Sebenarnya, posisi pihak kepolisian yang serba dilematis itu tidak perlu terjadi. Demikian juga aksi unjuk rasa yang cenderung anarkistis atau berakhir dengan bentrokan fisik dengan aparat keamanan, tidak seharusnya terjadi. Sebab, sudah ada aturan main mengenai bagaimana unjuk rasa dilakukan dan bagaimana pula sikap serta kewajiban pihak kepolisian menanganinya. Hal itu diatur dalam UU Nomor 9/1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.

Yang pasti, akibat maraknya aksi unjuk rasa yang bersifat anarkistis, selain menimbulkan kerugian materi dan fisik, juga menimbulkan efek domino yang sangat luas di bidang sosial, politik, ekonomi, dan keamanan di dalam negeri.

Arief Rachman
Jalan Rasamala No. 28, Menteng Dalam
Jakarta Selatan

Langit Biru Indonesia

Kalau boleh diibaratkan, meskipun terkesan utopis, program Langit Biru Menteri Pertambangan dan Energi Baihaqi Hakim untuk memproduksi bensin nontimbal (Pb) mampu memberikan kesegaran optimisme sugestif, menunjukkan betapa hal tersebut sangat diidamkan setiap makhluk yang masih bernapas. Namun, sesungguhnya langit Indonesia telah digelap-pekat-sesakkan oleh celoteh-celoteh kaum politikus yang mengaku paling demokrat dan berjuang untuk kepentingan rakyat.

Tua muda, laki-laki perempuan, ataupun kaya miskin, tidak terkecuali pejabat pemerintah, anggota parlemen, pejabat militer, kehakiman, kejaksaan, LSM, mahasiswa, sampai tukang becak, begitu mulai bersuara menyangkut kekuasaan atas nama rakyat justru mengakibatkan lemasnya rakyat kecil yang hanya berusaha merajut hari demi hari buat esok. Mereka menderita sesak napas akibat hiruk-pikuk suara-suara kaum politikus yang memenuhi atmosfer Indonesia itu.

Misalnya, ketika pemerintah menuduh kegiatan aksi unjuk rasa mahasiswa akibat provokasi segelintir orang, sang tertuduh serta-merta mengatakan bahwa justru kebijakan pemerintah yang provokatif. Pada kesempatan lain mahasiswa menyatakan bahwa memang ada upaya provokasi terhadap dirinya dan seterusnya.

Wah, tolong, apa pun yang Bapak-bapak dan Saudara-saudara ributkan hanya menambah pekatnya langit Indonesia. Karena, ketika semuanya berusaha menjadi pahlawan, yang lahir hanyalah pecundang. Bahkan kemudian sulit membedakan mana pecundang dan mana pahlawan, yang jelas penderitaan rakyat tampak kian menjadi-jadi.

Para orangtua sudah selayaknya merasa gagal dan mundur. Tidak usah merajuk-rajuk, biarkanlah para mahasiswa melangkahkan kaki mereka dengan baik dan benar.

Ibarat memproduk bensin nontimbal, yang tentu harus diikuti oleh inovasi dalam hal teknologi karburasi dalam mesin, sudah saatnya Indonesia menemukan sebuah sistem sehingga mampu memproduksi mahasiswa-mahasiswa calon pemimpin bangsa yang tidak mengandung gas racun dalam otaknya, bukan pecundang yang dengan sangat cerdasnya berteriak atas nama rakyat. Namun, seseorang yang berwawasan luas serta sangat menjunjung tinggi etika moral dalam setiap perilakunya.

Maka, seandainya setiap daerah di Indonesia terdapat 10 saja mahasiswa luhur semacam itu, dijamin langit Indonesia akan menjadi biru cerah, secerah hari depan bangsa Indonesia.

Ciptaningsari
Jalan Purbaya III/15
Pasar Minggu, Jakarta Selatan

No comments:

Post a Comment